Share

Istriku Makin Mempesona

"Emak bilang undangannya besok. Tak usah beli baju untukku, Mak! Aku sibuk," ujarku, berusaha menyelamatkan diri. Emak mendelik lalu menjewer telingaku. 

 

"Maak! Emakku yang paling cantik. Hadi bukan anak kecil lagi. Jangan main jewer dong, Mak!" rengekku menahan sakit. Percuma melawannya, lebih baik memuji perempuan ini. Emak malah menampar bibirku dengan pelan. 

 

"Hush! Kamu tetap anak kecil bagi emak. Buktinya, masih suka melakukan kesalahan," ucapnya yang membuatku ingin menciut sebesar semut. Rika tersenyum simpul melihat tontonan gratis di depan matanya. 

 

"Apa kamu tak bilang kalau Hadi harus ikut, Ri?" tanya Emak, memandang menantu satu-satunya. 

 

"Sudah, Mak. Tapi, Bang Hadi tak bisa ikut," balas istriku. Kali ini ia berkata jujur. Aku malas ke kampungnya.

 

"Kamu harus ikut, Di. Ini pesta pernikahan sepupunya Rika." Perintah yang tak akan bisa kutolak. Aku sebenarnya malas ke kampungnya Rika karena keluarga sepupunya sangat sombong. Hari itu, kami memang menikah tanpa mengadakan pesta di sana, karena pernikahan kami tanpa cinta. Emak yang memaksa dan menyetujui persyaratanku kalau hanya kenduri kecil-kecilan. 

 

Bibi dan sepupunya terus mencela penampilan kami yang sederhana, bahkan terlihat miskin. Aku dan Emak sepakat berpakaian sederhana saat melamar Rika hari itu. Semuanya, demi melihat ketulusan calon istri dan keluarganya. 

 

"Orang miskin mah cocok dengan orang miskin."

 

"Masih syukur si Rika ada yang mau. Lakinya tampan juga sih, badan tegap, tapi kere. Dia juga tak pernah senyum. Nyesel pastinya punya menantu miskin, padahal dia sendiri miskin."

 

Hinaan itu terngiang di telingaku. Keluarga Rika tetap bergembira, sedangkan semua orang mencemooh. Aku tak tahan kalau melihat mereka merendahkan istriku kali ini. Tapi, kalau aku membela Rika, dia akan besar kepala.  

 

"Tapi ...."

 

"Tak ada tapi-tapian. Besok kita ke pelaza, beli baju untuk kalian, baru berangkat ke kampung istrimu. Ayo pijitin emak sebentar, Ri! Dan kamu Hadi, sholat dan segera tidur. Kita akan cepat berangkat, besok," titah Emak. Mereka berdua berjalan ke kamar Emak, meninggalkanku yang hidup dalam tekanan para wanita. 

***

 

"Mak! Kita naik angkot lagi, kan? Aku belum telpon Mang Kusri untuk jemput kita," ucapku sambil mengutak-ngatik benda pintarku. Mang Kusri adalah orang yang membawa angkot milikku, mencari rejeki untuk keluarganya. Kadang, Emak suka bepergian dengan angkot daripada mobil pribadi, termasuk saat melamar dan acara pernikahanku dengan Rika. 

 

"Emak mau naik mobil," sahut perempuan bergamis motif janda bolong itu. Tubuhnya tinggi semampai dan proporsional, tapi wajah dan tangannya yang sedikit berkeriput. Aku takut kalau Emak digoda anak muda saat melihat dari belakang. Pantas saja kalau mendiang Bapak sering bercerita kalau Emak adalah kembang desa yang bersusah payah ditaklukkannya. 

 

Sikap tegas dan cerewetnya tidak pernah berubah. Bahkan saat sakit pun, perintahnya tetap keputusan final. Dia mendominasi keluarga kami, tapi tetap menghormati kepala keluarga. Dialah sosok panutanku sejak kecil. Jika Emak sudah tak mau bicara padaku, itulah tandanya kalau aku akan menjalani hidup dalam kehampaan. 

 

"Andai dulu Emak tinggal serumah denganku dan mantan istri, mungkin perpisahan tak akan pernah terjadi," gumamku.

 

"Heh! Kamu masih memikirkan perempuan itu? Jangan sampai Rika mendengar kamu mengungkit wanita itu!" bentak Emak. Aku hanya bergumam, tapi Emak mendengarnya. 

 

"Cepat panaskan mobilnya!" titah Emak. Aku memajukan bibirku dan meraih kunci. 

 

"Apa butuh korek untuk memanaskan mobilnya, Bang?" celetuk Rika dengan menenteng tas besar. Emak tertawa mendengar perkataan konyol menantunya. 

 

"Kalau pakai korek, meledak dong, stupid!" makiku. Rika mencebik. 

 

"Nama panggilan kamu, stupid, Ri?" tanya Emak heran.

 

"Enggak, Mak. Stupid itu bodoh. Aku tadi hanya bercanda, anak Emak malah mengataiku. Rika memang gak punya mobil, tapi Rika tahu kalau mesinnya harus dipanaskan dulu. Sama seperti mau lomba lari, harus pemanasan juga," ucap Rika. Berlebihan sekali. 

 

"Apa? Kamu bukan saja menghina Rika, tapi juga menganggap mak ini tidak mengerti bahasa asing." Emak mengambil sapu dan mengejarku.  Oh Tuhan, gerakan mulut dan tindakanku diawasi pihak yang sangat ketat. Semuanya harus sesuai dengan aturan yang Emak buat dan bisa berubah sewaktu-waktu. 

***

 

Kulajukan kenderaan dengan lambat, saat memasuki jalan berbatu menuju kampung istriku. Aku berkali-kali melirik Rika yang sedang tertidur. Dia terlihat menarik dengan baju gamis pilihan Emak. Tatanan jilbab dan riasan wajahnya juga sempat diperbaiki seorang wanita. Selain penjual pakaian, dia juga ahli dalam penampilan. Alhasil, upik abu itu terlihat mempesona. Aku sama sekali tak malu berdiri di sampingnya dan mengaku sebagai suami dari seorang perempuan bernama Rika Yunita. 

 

"Lihat ke depan! Jangan sibuk mencuri pandang pada menantuku!" sindir Emak. Astaga! Tadi kulihat Emak masih molor dengan posisi telentang di kursi belakang. Aku tak tahu kalau Emak sudah duduk dan menjawil pipiku. 

 

"Kita udah sampai, Bang?" Rika mengerjap dan membuka matanya perlahan. Semoga dia tak mendengar ucapan mertuanya. Aku bisa malu, euuy. 

 

"Kita parkir di sini saja, Mak! Nanti mobilnya kotor. Beberapa meter di sana ada jalanan yang sering tergenang air. Nanti Bang Hadi mengomel kalau mobilnya kena percikan air berlumpur," ujar Rika.

 

"Crazy! Mobil bisa dicuci, tapi kalau bajuku kotor, akan sangat memalukan," umpatku. Sebenarnya sih, aku marah karena takut melihatnya yang jarang cantik berubah jelek lagi karena terkena lumpur. 

 

"Mak! Bang Hadi bilang aku gak waras." Rika mengadu lagi. Apa dia hapal semua umpatan dalam bahasa inggris. Sepertinya Rika bukan orang bodoh, walau berasal dari keluarga tak mampu. 

 

Kini cubitan Emak mendarat di pinggangku yang membuat mereka tertawa. Kutarik nafas dalam dan membuangnya perlahan. Tahan, Hadi! Jangan sampai memperlihatkan kebahagiaanmu saat melihat tawa lepas di bibir kedua orang yang kini spesial di hidupmu. 

 

Aku memarkirkan mobil tak jauh dari keramaian. Beberapa anak-anak berlari melihat kenderaan mulus dan kinclong yang jarang masuk ke desa ini. Aku heran, bagaimana bisa Emak menemukan Rika sampai ke tempat ini. Setahuku, tak ada keluarga kami di sini dan Emak langsung menjodohkanku dengan Rika yang baru kukenal saat lamaran. 

 

"Awas! Minggir kalian! Nanti mobil mahalnya rusak. Ini pasti keluarga menantuku," ujar seorang wanita paruh baya. Dia adalah kakaknya Bapak mertua, yang suka menghina keluarga istriku. Sepertinya aku harus bersikap baik pada Rika, agar wanita itu tak terlalu sombong. 

 

Aku meminta Rika tetap di dalam dan keluar duluan. Kubantu duluan sang nyonya besar keluar, baru membukakan pintu untuk istriku. 

 

"Silakan keluar, permaisuriku! Hati-hati! Barang bawaanya, aku saja yang bawa," ujarku sambil mengedipkan mata. Kamu jangan sampai besar kepala Rika! Ini hanya untuk membungkam mulut busuk bibimu. 

 

Rika meletakkan tangannya di atas tanganku dan membimbingnya keluar hingga berdiri sempurna. Matanya melotot dengan mulut menganga. 

 

"Apa Abang kesurupan?" bisiknya. "Ini hanya untuk memberikan pelajaran pada keluarga bibimu!" balasku berbisik. 

 

"Hei! Cukup di rumah saja kalian bermesraan! Dasar pasangan baru nikah, bawaanya pingin berduaan terus," ujar Emak, lalu menyalami Bi Dija. Wajah bahagianya berubah masam, lalu melengos dan meninggalkan kami yang salah tingkah. Jangan sampai juga Emak tahu kalau aku sudah terjerat menantunya. Bisa-bisa, aku akan diledek sampai berminggu-minggu. 

 

 

 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Riri Rere
.........mantap
goodnovel comment avatar
Imas Djuhaeti
nah,,,sama mau nanya gtu...knp paragrafnya diulang2 terus kan jd agak cape bacanya...
goodnovel comment avatar
Nafee Si Pemberani
knp diulang2 terus yaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status