Share

Uangku Yang Dijatah

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2021-09-29 18:25:09

"Maaaak! Makiin sakiit," teriakku. Aku sudah tak tahan lagi saat sakit di perutku berubah panas. 

 

"Udah, Mak. Kasihan," ucap Rika, tapi tak digubris sang wonderwoman. 

 

"Kata sandi?" cetus Emak. Aku tak mengerti ucapan wanita yang semakin mengeraskan cubitannya demi membela perempuan lain yang baru hadir dalam kehidupanku. Entah akan seperti apa nasibku, bila dia benar-benar menguasai hati Emak. 

 

"Maafkan aku, Rikaaaaaaaa!" seruku, setelah bersusah payah mengingat masa kecilku. Jika aku salah, hukuman akan dihentikan seusai minta maaf. Ini sangat memalukan sekali. Emak sudah mencabik-cabik harga diri yang kujaga di depan istriku. Dia harus segan dan hormat kepadaku sebelum sikapnya ngelunjak. 

 

'Jangan pernah tampakkan rasa cintamu pada seorang wanita, kalau tak ingin diinjak-injaknya.' Itulah prinsipku dalam mencintai pasangan.

 

"Mak! Kasihan Bang Hadi. Ini hanya salah faham," ujar Rika, berusaha menjangkau perutku. Aku menepisnya pelan dengan alasan ada Emak. Kalau kukasari, Emak bisa bertindak lebih ganas. 

 

"Kalian berdua, duduklah!" titah perempuan dengan rambut dua warna itu. Beberapa rambut putih menyelinap di antara rambut hitam yang lebih sering disanggulnya.

 

Aku kembali duduk dan terus mengusap-usap perutku. Aku tak bisa mengintimidasi Rika lewat pandangan, karena mata Emak menyoroti kami berdua. Hanya ada satu jalan, yaitu menyepak kaki istriku. Dia tak boleh membeberkan sikapku selama ini padanya. 

 

Kuayunkan kaki pelan untuk mengetes kaki siapa yang kutendang. Berhasil, Rika menatapku saat sepakan pertama. Kuayunkan sekali lagi kakiku dengan gerakan yang cukup kuat. 

 

"Aaaah. Kakimu terbuat dari besi?" hardikku, lalu melongok ke bawah meja. Astaga, aku salah sasaran.

 

"Ngapain kamu nyepak kaki Emak, hah? Mau kakimu dipatahin?" bentak Emak. Sejak kapan gelas keramik yang tadinya di atas meja berpindah ke bawah? Karena terlalu fokus pada Rika, kuabaikan gerakan tangan yang lihai itu. Emak mengayunkan gelas itu ke betisku. Sakit bercampur malu membuatku semakin terpojok.

 

"Katakan semua kelakuan buruk anak Emak padamu, Rika! Kamu menantu dan juga anak emak. Suatu saat, jika tubuh tua ini tak lagi sekuat sekarang, ingatan tak lagi baik, kamulah harapan emak. Emak akan lebih suka bersama anak lelaki daripada anak perempuan. Diana, adiknya Hadi, sering meminta emak tinggal bersamanya, tapi emak menolak," ujar perempuan paruh baya itu dengan mata basah. Bulir bening di sudut mata Emak seolah bagai magnet yang membuat air mataku keluar juga. 

 

Rika menggeser kursi dan merangkul mertuanya. Usapan lembut di bahu perempuan tersayangku mampu membuatnya sesenggukan. Dua wanita beda generasi itu saling berpelukan dengan mata berembun. 

 

"Mak! Aku ini istrinya Bang Hadi. Seorang istri adalah pakaian bagi suaminya, begitu juga sebaliknya. Kami harus bisa saling menutupi aib pasangan," sahut Rika yang menusuk ke dalam hatiku. Dia sudah ada pembela, tapi tak mau membeberkan sikapku yang selalu pelit dan kasar padanya, sebagai pelampiasan kegagalan rumah tanggaku dulu. 

 

"Sayang! Kamu memang perempuan paling sempurna bagi Hadi. Semoga anak itu segera jatuh cinta pada bidadari berwujud manusia ini," balas Emak semringah. Tadi baru saja nangis, sekarang sudah senyum. Perasaan wanita memang mudah berubah-ubah. 

 

Andai aku bisa melihat telinga Rika, pasti sudah mengembamg karena pujian Emak yang berlebihan.

 

"Salah satu tujuan dibuat rumah berdinding adalah untuk menjaga masalah dalam keluarga diketahui orang luar. Tapi Emak adalah orang tuamu juga. Bukan mau turut campur, tapi jika ada masalah yang membuatmu tak bisa mennggung sendiri, katakan pada Emak, ya!" titah Emak, membuat perempuan di depannya mengangguk bahagia. 

 

Aku berjinjit untuk meninggalkan kedua orang yang berkonspirasi mau melawanku, sebelum bencana yang lebih besar menimpa. Aku sudah meraih knop pintu kamar dengan aman. Tinggal selangkah lagi bebaslah aku dari keduanya. 

 

"Hadiiii! Mau kemana? Emak belum bicara padamu. Cepat kemari!" seru Emak. Oh Tuhan, ini lebih menegangkan daripada sidang perceraian.

 

Aku menyeret kaki, berjalan gontai dan duduk di kursi yang kududuki tadi. 

 

"Asal kamu tahu, uang satu setengah juta hanya lima puluh ribu per hari. Itupun kalau harinya 30, kalau yang 31?"

 

Aku menunduk dalam mendengar penuturan Emak. Rika sering mengeluhkan ini, tapi selalu kuabaikan. 

 

"Setiap hari, Rika selalu memasak makanan enak untukku dan dia hanya makan olahan tahu tempe. Kamu tahu dia jawab apa saat kutanya? Dia bilang kalau doyan makanan merakyat itu. Setiap Emak ajak jalan-jalan, dia juga tak pernah menolak. Ternyata Rika menutup kesalahanmu. Dia tak mau kalau Emak tahu uangnya tidak cukup," jelas Emak. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku memang jarang makan bersama keduanya karena lebih sering singgah di warung Neng Mawar. 

 

"Sudahlah, Mak. Aku akan tambahin besok. Hadi kira itu sudah cukup kalau tidak memikirkan tagihan listrik," balasku. Sungguh aku malu mendengar semua kesalahanku. Mana kutahu kalau Emak selalu dimanjakan istriku, toh dia tak pernah cerita. 

 

"Kamu sudah simpan uang ke bank?" tanya Emak. Aku mengangguk. Setiap panen, aku akan menyimpan uang ke bank agar alan , setelah membayar semua gaji pekerja. Aku juga telah menyisakan jatah belanja Rika dan uang peganganku dengan jumlah yang sama. Kalau uangku kurang, bisa kuambil ke anjungan tunai mandiri. 

 

"Coba bawakan kemari buku tabungan sama ATM!" titah Emak. Tak biasanya orangtuaku satu-satunya ini meminta kedua benda yang tak ia mengerti itu. Walau bingung, aku ambilkan juga. 

 

"Ini, Mak. Kalau Emak mau tahu isi saldonya, Hadi akan bacakan," tawarku. Emak menggeleng, lalu mengambil kedua benda berharga itu. 

 

"Yang uang tunai, simpan saja. Dan ini ... Rika yang nyimpan," ucap Emak yang membuat duniaku runtuh. Yang benar saja, aku yang bekerja, Rika yang menyimpan semua hasil keringatku. 

 

"Enggak usah, Mak! Aku tak bisa menyimpannya," tolak Rika. Halah, pasti hanya berpura-pura tak mau, padahal sudah bersorak dalam hati. 

 

"Rika! Emak ini juga pernah jadi seorang istri. Bapaknya Hadi selalu memberikan seluruh uangnya padaku. Kata mendiang Bapak, istrinya adalah bendahara sekaligus menteri keuangan dalam rumah tangga. Itu amanah, dan emak berhasil mengelolanya dengan baik. Ini juga berlaku padamu, Ri. Ini amanah dan tugas untukmu. Jangan sia-siakan kepercayaan emak."

 

Ah! Emak, ngapain sih ngungkit tentang Bapak? Hadi jadi kangen. 

 

Rika menerima buku tabungan dan ATM milikku sengan linangan air mata. Dia pasti tak pernah melihat nominal yang tertera di buku tabungan. Kini, uangku lah yang dijatah. Sedangkan Rika, dia bisa menggunakan uangku semaunya. 

 

"Pin-nya berapa, Bang? Biar besok Rika belanja bulanan," ujar Rika. Ah! Kukira dia tak bisa menggunakan benda tipis itu. Ternyata .... Dengan terpaksa, kutuliskan enam angka rahasiaku. Tanggal pernikahanku dan Rika. Semoga saja dia tak sadar, kalau dia sebenarnya berharga bagiku. 

 

"Besok kita ke pelaza lagi, ya, Ri! Emak mau beli baju," ujar Emak bersemangat. Bukannya kata Emak, baju seharga dua ratus itu untuknya? 

 

"Apa Emak tak suka bajunya?" tanya Rika khawatir. 

 

"Suka kok, Nak. Sangat cocok dengan usia emak. Sederhana tapi terlihat mewah. Tapi, Emak mau belikan baju ka-ka-kapel, biar kalian berdua kompak dan serasi," ujar Emak yang membuat jantungku hampir copot. Astaga! Aku  bisa diledek teman-temanku. Biasanya aku menertawakan mereka yang terpaksa harus seragaman dengan istri. Dan sekarang, aku harus menjalaninya dengan keterpaksaan juga. 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Riri Rere
lucu banget
goodnovel comment avatar
LauraBintang
alurnya kok diulang² si??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status