Share

01. His Hobby

    Terkenal sudah genius sejak kecil, George Owens memandangi piagam serta piala penghargaan yang sudah ia peroleh sejak berumur tujuh tahun.

    Kebanyakan dari penghargaan yang telah ia dapatkan itu berasal dari keikutsertaannya dalam lomba-lomba ilmu pengetahuan dan juga berbagai acara debat seminar yang dilakukan di berbagai tempat di kota tempat tinggalnya berada.

    "Oh, minggu depan ada pertandingan baseball." George bergumam seraya melihat jadwal kegiatannya di kalender.

    Jadwalnya memang padat, tapi George selalu meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan di sekolahnya.

    Belum lagi dengan banyaknya kemenangan yang ia peroleh dalam turnamen olahraga yang sering dilaksanakan di sekolah. George juga aktif dalam organisasi penting yang ada di sekolah.

    Dan hampir semua kegiatan yang ia lakukan, George selalu terdepan karena mendapat amanat langsung dari guru-gurunya. Meski mengikuti banyak kegiatan di luar rumah, George tetap bisa mengatur jadwalnya sehari-hari. Baik itu jadwal untuk belajar, ataupun untuk bersosialisasi bersama teman-teman sebaya.

Dering notifikasi berbunyi, George melihat ke ponselnya, "Ulang Tahun Jimmy," gumam George melihat pengingat dari F******k. Jimmy adalah teman yang dikenalnya di gereja. Mereka saling menambahkan teman di F******k.

    "Huh, tak penting."

    George bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, baginya sekolah dan perpustakaan itu adalah rumah tetap. Tak ada tempat untuk kembali pulang selain berada di tempat yang dipenuhi dengan lautan buku-buku.

    Toh, tak akan ada orang yang akan mencarinya jika ia tak ada di rumah. Sebab, orang tuanya hanya tahu jika ia berada di perkumpulan orang-orang yang suka dengan buku-buku.

    "Ma, Pa, George pergi dulu," ucap George Owens, anak laki-laki berusia tujuh tahun dan duduk di kelas tiga Elementary School. Putra pasangan Joly dan Erick dari keluarga Owens yang terkenal di bisnis perhiasan dan properti.

    "Sayang, ini masih pukul setengah enam pagi, dan kamu sudah mau berangkat ke sekolah?" tanya Joly keheranan, anak tunggalnya mengangguk pelan dan berbalik badan menuju pintu keluar. "George, tunggu! Papa akan mengantarmu ke sekolah—"

    "Tidak usah, Ma, Pa. George akan pergi sendiri," potong George sambil tersenyum manis kepada orang tuanya. Anak laki-laki itu pun keluar dari rumah seorang diri, tanpa ditemani kedua orang tuanya. George tumbuh dewasa seperti itu.

    Rutinitas anak laki-laki itu setiap harinya adalah berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang di sore hari yang begitu larut.

    Apakah itu wajar untuk seorang anak kelas tiga sekolah dasar? Tentu saja, karena yang sedang dibicarakan ini adalah George Owens, sang genius kecil yang dipenuhi bakat dan kemampuan yang melimpah.

    "Aku bangga sekali melihat George. Oh, anakku memang pintar," ucap Joly sambil melepas kepergian anak semata wayangnya.

    "Anak kita." Erick mempertegas. Keduanya lantas bertukar pandang dan saling melempar senyum tipis.

    Sejak memasuki usia tiga tahun, George sudah mulai menunjukkan ketertarikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan alam. George bahkan mulai sering mengembangkan serta mengolah suatu benda dari hasil pemikirannya, meski dibuat dengan cara yang teramat sederhana.

    Dibantu oleh sang ayah yang memberikan banyak uang, dia bisa membuat berbagai macam peralatan yang bisa membantu aktivitas sehari-harinya dari modal yang banyak.

    Tidak hanya berbakat, dia melakukan setiap pekerjaannya seorang diri.

    George menamakan penemuan pertamanya dengan "George's 3000", itu adalah alat pemecah kacang tanah yang terbuat dari kaleng soda yang diisi air. Untuk menghindari kerusakan, George melapisinya dengan cat khusus yang bisa membuat bagian luar kaleng itu menjadi kuat.

    Ide pembuatannya itu adalah saat di mana George sedang gemar-gemarnya memakan kacang yang dibelikan bibinya, tapi kala itu dia kesusahan dengan kulit kacang yang sulit dibuka.

    "Aduh, kacangnya tak mau keluar," gerutunya suatu hari, sambil mencoba membelah kulit kacang dari luar. George bahkan harus menggigit pinggirnya dulu sebelum bisa membuka kacang tersebut dan memakan isinya.

    "Mau makan kacang saja harus repot dulu. Apa ada cara untuk membukanya tanpa harus menggunakan tangan dan gigi, ya?"

    Pertanyaan itulah yang menimbulkan ide pembuatan alat pemecah kulit kacang yang sederhana ini.

    Caranya adalah dengan menempatkan kaleng soda yang diisi air (bisa juga kosong) di atas penyangga yang dihubungkan dengan tali panjang. Tali itu terhubung dengan roda dan juga sebuah pijakan. Pijakan itu berguna untuk menyalurkan energi roda kepada tali yang terhubung pada kaleng yang diposisikan di atas layaknya palu yang hendak memukul paku.

    Alat itu tidak terlalu besar dan sistemnya mirip dengan mesin jahit kuno yang harus diinjak ketika diperlukan.

    Selain alat itu, ada juga penemuan George lainnya yang tak kalah menarik. Alat itu adalah penyemprot tanaman otomatis yang dihubungkan dengan selang yang dipasangi pembangkit listrik bertenaga air. Penggeraknya menggunakan kincir air mini yang terletak di samping rumah keluarga Owens.

    Walau sederhana dan hanya dipakai oleh keluarganya sendiri, tapi George sudah merasa puas dengan hasil karya tangannya. Karena ciptaannya yang sederhana ini akan berubah menjadi penemuan luar biasa di masa depan.

    George menyeringai. "Semoga saja," gumamnya dalam perjalanannya ke sekolah.

    **

    "Bu Guru! George membawa benda aneh lagi ke sekolah!" teriak salah seorang teman George ketika anak itu melihat putra keluarga Owens membawa penemuan kecilnya yang berbentuk kotak, tapi seukuran bola sepak.

    George menatap gurunya yang tercengang di tempat melihat apa yang ia bawa. "Ini kubuat untuk Ibu Guru, tempat penyimpanan uang. Fungsinya sama seperti brankas, tapi bisa disimpan di mana saja karena tak akan ada yang mengira ini adalah brangkas uang."

    Anak itu tersenyum tipis dan memberikannya kepada sang guru yang menerimanya dengan senang hati. Kotak itu mempunyai pola seperti catur warna-warni, inspirasinya adalah rubrik yang biasa George mainkan.

    "Ini luar biasa!" seru Miss Violette sambil mengangkat tinggi-tinggi penemuan George dengan mata berkaca-kaca. Dengan hati-hati, wanita itu menaruh kotak itu di atas meja dan kembali mendekati George.

    "Terima kasih hadiahnya, George. Kau anak yang baik hati," ucapnya tulus seraya mengusap kepala sang anak didik. George tersenyum malu-malu, terlihat manis sekali.

    Wanita berkacamata itu lalu berbalik dan mendatangi Nathan, dialah anak yang tadi mengadukan perihal George yang membawa barang aneh ke sekolah padanya.

    "Nathan," panggilnya seraya berjongkok dan matanya sejajar dengan anak yang mengenakan kawat gigi. "Yang George bawa itu bukanlah sesuatu aneh, ini adalah penemuan George kita yang berharga."

    "Jadi, jangan nakal-nakal dengan Genius Kecil kita ini, ya? Karena sekolah merasa beruntung memilikinya di sini."

    Semua teman-teman sekelas George yang duduk di bangku masing-masing bertepuk tangan dengan meriah. Mereka menyoraki nama putra pasangan Joly dan Erick Owens itu dengan penuh semangat. Setelah kehebohan itu berlalu, terciptalah sebuah panggilan khusus dari teman-teman George untuk anak laki-laki itu.

    "Sang Genius Owens." Begitulah mereka menyebutnya. Tidak hanya satu panggilan, George terkenal karena mempunyai dua panggilan istimewa.

    George yang selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kecintaannya terhadap suatu hal yang baru, ia pun dijuluki Ilmuwan Kecil oleh teman-temannya di sekolah, padahal dia baru kelas tiga sekolah dasar.

    Memang, bakat seseorang itu telah ada sejak lahir dan berkembang seiring berjalannya waktu.

    Sudah jadi rahasia umum, para ilmuwan paling genius dunia adalah sekelompok "orang aneh". Mungkin keanehan itulah yang membuat mereka menghasilkan karya dan gagasan yang sama sekali tak terpikir oleh orang kebanyakan. Namun, George kecil berbeda.

    Meski mencintai sains sampai ke tahap candu, ia tidak pernah sekalipun melakukan tindakan aneh di depan teman-temannya. George tetap anak laki-laki yang tak banyak bicara, tapi sekali mengeluarkan kalimat maka semua mata tertuju padanya. Tak heran, ia semakin terkenal di kalangan teman-teman dan guru-guru di sekolah.

    **

    Pernah suatu ketika, salah seorang teman bertanya kepada George.

    "George, kenapa kau bisa sepintar ini? Kau 'kan baru kelas tiga!" tanya Emily, anak gadis berkacamata pink dengan gaya rambut seperti Elsa "Frozen" yang tampil rapi.

    George tak terlalu memperhatikan anak perempuan, dia memilih diam.

    "Apa rahasiamu, George? Kenapa kau begitu pintar?" tanya Nathan, sebelumnya pernah meremehkan George dan temuannya, tetapi kini memberondongi George dengan pertanyaan. "Ibuku selalu berkata agar aku pintar sepertimu! Kasih tahu rahasiamu padaku!"

    "Kata kakakku, orang pintar itu suka minum air yang dicampur abu buku pelajaran yang dibakar. Dan setelah minum jadi pintar."

    "Bohong! Yang ada malah jadi kotoran tau."

    Anak-anak kelas A3 berdebat tentang cara menjadi orang pintar.

    George tersenyum tipis melihat pertikaian kecil teman-temannya. "Hm, ya ...." George menggantungkan kalimatnya sebentar, sebelum melanjutkan, "itu semua karena aku sudah mengasah kemampuanku ini sejak umur tiga tahun. Aku memainkan permainan yang memerlukan ketelitian, kecerdikan dan juga konsentrasi untuk otak," jawabnya tenang.

    George berbicara tidak seperti anak kelas tiga sekolah dasar pada umumnya, ia melebihi anak-anak itu. Teman-temannya berhenti bertengkar dan kembali mengerubungi George bagai lalat.

    "Contohnya apa?" tanya temannya. "Kami ingin sepertimu. Kau bisa bermain apa saja, tanpa kehilangan minat terhadap belajar."

    Anak-anak lain ikut menimpali. "Ya, George, katakan pada kami! Kami juga ingin jadi anak pintar yang bisa dibanggakan!"

    "Kami ingin belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar!"

    "Kami sangat ingin tahu bagaimana caramu belajar. Katakanlah pada kami!"

    Suasana kelas mendadak ricuh, anak-anak banyak yang berkumpul di sekitar meja putra pasangan Owens dan mencoba menarik perhatian si Ilmuwan Kecil. Mereka penasaran dengan rahasia kepintaran teman sekelas mereka yang selalu dibanggakan oleh para guru dan menjadi patokan prestasi belajar para orang tua.

    George menjadi panutan teman-temannya.

    Jelas saja dia bangga karena itu berarti teman-temannya akan ikut bermain bersamanya. Dulu saat kecil, dia dijauhi anak-anak komplek tempat tinggalnya hanya karena membawa mainan kesayangannya saat pertemuan.

    George hendak menjawab rasa ingin tahu teman-temannya, tapi ia tidak sempat menjawab pertanyaan mereka karena bel masuk telah berdentang tiga kali. Tanda pelajaran akan segera dimulai.

    Suara bel itu begitu nyaring, membuat George dan teman-temannya kaget dan langsung duduk di kursi masing-masing.

    George merapikan penampilan dan mengeluarkan peralatan belajarnya. Begitu menaruh buku paket, pensil, bulpoin dan buku tulis di atas meja, George langsung menyusunnya dengan rapi.

    "Kebiasaan baik dimulai dari sesuatu yang terlihat bersih," gumam George sambil tersenyum tipis.

    "Hei, George! Psttt! George!"

    Seseorang memanggil, suaranya berasal dari belakang, membuat George berbalik dan menatap sang pemanggil. "Nanti ceritakan rahasia kepintaranmu, ya!" ucap David sambil mengedipkan mata.

    "Aku tak jadi memberitahukannya. Rahasia tidak bisa disebut lagi rahasia jika diberitahukan kepada banyak orang."

    "Yah ...." David terlihat kecewa.

    George tak merasa bersalah karena urung memberitahu teman-temannya tentang metode belajarnya yang unik. Teman-temannya hanya boleh tahu awalannya dan hanya sampai di situ saja.

    Selebihnya adalah rahasia yang ingin George simpan seorang.

Psychopath Tender

Ini sudah direvisi ya

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status