Share

Catch Me If You Can
Catch Me If You Can
Penulis: Psychopath Tender

Prolog

Satu minggu yang lalu....

"George Owens, pelaku pembunuhan keji dari 23 warga sipil tak berdosa, dengan ini dinyatakan bersalah. Atas kejahatan yang telah dilakukannya, pengadilan menjatuhkannya hukuman pancung sebagai eksekusi kematiannya."

~~~~~

    George Owens, mantan detektif yang masuk penjara ketika berusia 63 tahun. Didakwa atas tuduhan pembunuhan karena telah meledakkan sebuah bangunan dan menewaskan banyak orang tak bersalah.

    "Ho ... jadi itu kau? Ck, ck, ck. Hei, Pak Tua. Hiduplah dengan benar." Seorang sipir yang berdiri di depan sel sambil membaca sebuah koran mengawasi pria tua di balik sel yang ia jaga.

    George mendesis.

    Masih terngiang jelas dalam benak pria itu, suara berat hakim saat membacakan surat keputusan dari pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukannya. Semua masih terngiang jelas, seolah hakim bernama Simmons sengaja memutar kenangan buruk dalam hidupnya.

    "Kau tak perlu berkomentar," decak George sambil menghindar dari tatapan mengejek sipir yang bahkan umurnya tak sampai setengah dari usianya.

    George geram, ia harus berurusan dengan pihak kepolisian ketika semua bukti mengarah padanya yang sedang menikmati masa pensiun di kota masa kecilnya, dan dia sama sekali tak bisa mengelak dari hukuman itu karena barang bukti. Walau tak merasa adil dengan situasi, George mengikuti kemauan hukum yang menyeretnya.

    Tiba-tiba pria setengah abad lebih itu merasa marah, ia menggertakkan gigi palsunya seraya menyumpah, "Hakim sialan! Mati saja kau!"

    Apa salahnya jika dia sedikit bersenang-senang dan bermain-main dengan para manusia sampah itu? Toh, dia hanya membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk yang hanya menganggu keseimbangan perekonomian negara.

Dengan matinya orang-orang seperti itu, ia berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan lowongan pekerjaan ataupun sarana transportasi untuk mereka nantinya.

    "Lagipula, aku hanya membunuh mereka yang bersalah, tapi pada akhirnya tetap akulah yang disalahkan, ya?"

    Jelas-jelas apa yang sudah dia lakukan itu adalah sebuah kebaikan yang tersirat.

    Seharusnya walikota tempat itu memberikannya penghargaan atas kemurahan hatinya dalam mengenyahkan orang-orang yang tidak penting dan tak seharusnya memasukkannya ke dalam penjara yang dingin, sempit, dan kotor, serta menjatuhkan dia hukuman mati penggal kepala.

    Untuk apa dia berjasa dalam menumpas kejahatan jika pada akhirnya menjadi seorang penjahat? Dunialah yang salah, bukan dirinya.

    "Ketika tak ada manusia yang peduli, bahkan tikus menjijikkan pun tak mau mendekat."

    George mendongak, dan memandang langit-langit sel tempatnya dipenjara, pria itu lalu meraba dinding ruangan berwarna hitam yang menjadi tempat tinggalnya sejak beberapa hari yang lalu. Ditatapnya selama beberapa saat dinding selnya yang dingin dan kotor, dipenuhi jamur dan ada bekas noda kehitaman di dindingnya.

    Mungkin, seperti itulah perumpamaan dirinya dulu dan sekarang.

    Dingin dan senang bermain kotor adalah kegemarannya dulu ketika masih muda.

    George kemudian menyeringai lebar. Jika boleh jujur, sebenarnya tempat ini sangat cocok untuknya daripada harus tinggal di luar sana. Jika boleh memilih, tentu ia ingin mendekam lama dipenjara. Sayangnya, dia sudah mendapat hukuman yang berat.

Apa yang lebih merepotkan dibandingkan hukuman mati? Padahal ia senang berada di penjara yang tenang ini.

    Tak ada masalah, tak ada keributan sama sekali.

    "Benar-benar nyaman," gumam George.

    Ia tidak perlu lagi repot-repot berurusan dengan para tetangga di rumah lamanya yang menyebalkan. Mereka itu gemar sekali mengomentari aroma tidak sedap yang berasal dari rumahnya dan itulah yang membuat George sangat tidak tahan ingin segera membungkam mulut mereka.

    Jika saja dia tidak ditangkap, dan dimasukkan ke dalam penjara oleh para polisi yang keparat itu, mungkin saja ia sekarang sedang bermain-main dengan jasad mereka, begitu pikirnya.

    George kembali menyeringai sehingga tampak deretan gigi putihnya yang rapi.

    Namun sayangnya, George lupa satu hal. Para tetangga menyebalkan yang berada di sekitar rumahnya itu, semua telah mati di tangannya, tanpa sisa. Mereka mati, jauh sebelum para polisi itu meringkusnya di kediamannya.

    Ternyata memang semudah itu melupakan sesuatu yang tidak terlalu penting dalam ingatan seseorang. Lagipula, bagi George kematian orang-orang itu sama sekali tidak berkesan untuknya. Kecuali fakta di mana ia bisa mencoba peralatan dan penemuan barunya.

    Laki-laki berusia 63 tahun itu lalu membaringkan tubuh tingginya di ruangan sempit yang bahkan tidak cukup untuk sekadar meluruskan kakinya saat tidur. Ia ditempatkan dalam penjara khusus oleh kepolisian untuk sementara waktu.

    Akan tetapi, meski begitu, ia sama sekali tidak ingin mempersalahkannya lebih lanjut. Yang penting adalah, dia tidak harus berinteraksi dengan orang-orang yang kebetulan satu sel dengannya. Yah, setidaknya untuk satu hari saja, karena besok dia tidak akan berada di tempat sempit itu lagi.

    Dia akan dipindahkan ke sel yang sama dengan orang-orang yang melakukan kejahatan serupa.

    George masih mempunyai batas waktu selama beberapa bulan sebelum tanggal eksekusi kematiannya tiba. Besok adalah hari di mana dia akan dipindahkan ke dalam sel dan tinggal bersama narapidana lainnya.

    Walau ada perasaan tak suka ketika harus memikirkan dirinya berbaur dengan orang lain, tetapi jauh di lubuk hatinya, George merasa gembira sekali. Bisa saja nanti dia akan bermain-main sedikit dengan para penjahat itu.

    Lamunan George buyar saat mendengar suara dari luar sel sempitnya.

    Ding dong... Ding dong

    Bunyi bel yang nyaring itu seakan-akan menggema di setiap telinga para tahanan sel. Bahkan gemanya pun terasa di dinding besi yang dingin. Bel itu seperti mengisyaratkan kepada semua orang, bahwa telah tiba waktunya bagi para penghuni penjara untuk tidur.

    "Tidur kalian, sialan!"

    Para sipir melewati tiap sel seraya memukul batang jeruji besi dengan tongkatnya, menimbulkan bunyi berisik yang menganggu para tahanan yang bersiap untuk tidur.

    George lagi-lagi memperbaiki posisinya yang terasa tidak nyaman karena kaki panjangnya tidak bisa diluruskan di dalam sana. Setelah cukup nyaman, ia pun mulai memejamkan mata, bersiap memasuki alam bawah sadarnya secara perlahan dan menuju alam mimpi.

    "Selamat malam, mimpi buruk. Semoga besok mendung."

    Tak butuh waktu yang lama, ia pun sudah tertidur pulas.

**

    Tampak sebuah keluarga kecil sedang duduk beralaskan kain besar berwarna merah hati yang dihampar di atas rerumputan taman. Senyum dan gelak tawa bahagia terukir jelas di wajah mereka. Pagi Minggu memang merupakan waktu yang sangat pas untuk berpiknik bersama orang terkasih di luar rumah.

    "Papa! Mama! Kakak!" Seruan riang seorang anak laki-laki terdengar begitu nyaring di pagi hari yang terasa cukup panas. Meski begitu, sang anak seolah tak peduli dengan hal itu. "Aku membeli es krim!"

    Anak perempuan dari keluarga yang tengah bersantai itu kemudian melambai penuh semangat kepada sang anak lelaki yang berada di seberang jalan. Sepertinya, dia adalah kakak dari anak laki-laki yang kedua tangannya penuh dengan dua buah mangkok es krim.

    "Hati-hati jatuh, Michael!" seru sang kakak memperingatkan.

    Tak jauh dari Michael—anak laki-laki yang tengah berlari menghampiri keluarganya di taman—tampaklah seorang remaja laki-laki yang sepertinya sedang kesal karena mobilnya yang tiba-tiba saja mogok di pinggir jalan. Padahal ada hal penting yang harus dia lakukan segera.

    Garis wajahnya tampak kokoh, dengan surai berwarna cokelat yang terlihat bersinar terkena paparan cahaya matahari. Satu kata untuk parasnya, rupawan.

    "Bagaimana aku memperbaiki mobil jelek ini?"

    Dia adalah George, anak laki-laki tunggal dari keluarga Owens yang terkenal kaya raya di kota itu. Hidupnya bergelimang harta dan juga kemewahan. Namun, di balik keluarganya yang kaya raya, dia justru terkenal karena pandai dan sangat berbakat di sekolahnya.

    George sering memperoleh kemenangan dalam setiap lomba sains yang ia ikuti. Tak terhitung banyaknya jumlah keberhasilan yang George dapatkan dalam mengharumkan nama sekolahnya.

    Tampaknya, saat ini ia sedang kebingungan dengan cara apa ia akan pergi ke sekolah, sedangkan ia sekarang sedang berkutat dengan mesin mobil yang mengeluarkan asap. Meski ia pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi ia cukup lemah terhadap hal yang tak terduga seperti saat ini.

    "Astaga, aku harus menghubungi Ayah."

    Di tengah kegelisahannya, Michael, si anak kecil yang berlari dengan penuh semangat tanpa sengaja menubruk George dari arah depan, saat remaja itu hendak berbalik pergi mengambil minumnya yang ada di dalam mobil.

    "AWAS!"

    Tanpa sempat menghindar, tabrakan pun terjadi. Akibatnya, dua buah es krim masing-masing rasa vanila dan cokelat itu sukses mendarat di seragam George. Diikuti dengan anak kecil yang menabraknya dengan cukup keras. Keduanya pun jatuh, didahului oleh punggung George yang bersentuhan dengan aspal jalanan yang kotor.

    "Michael!"

    Derap langkah kaki yang terburu-buru pun terdengar menghampiri, membuat George yang hampir meledakkan amarahnya, urung memarahi sang anak kecil yang tadi membuatnya terjatuh ke jalanan yang penuh debu dan kotoran. Padahal ia sudah menyiapkan kata-kata makian di dalam kepalanya untuk sang anak. Karena ulah anak itu, penampilannya mendadak berantakan.

    "Nak! Apa kau baik-baik saja?" Suara lembut dan terdengar cukup tegas mengalun masuk ke telinga kiri George, diiringi dengan pertanyaan serupa dari pria dewasa di sampingnya yang langsung membantu George berdiri tegak.

    Sementara anak laki-laki yang tadi menabraknya, telah dibantu oleh seorang anak perempuan yang kemungkinan adalah saudaranya. Itulah yang bisa George simpulkan ketika melihat si gadis kecil.

    "Terima kasih banyak, Paman!" ucap George sambil tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Saya tak apa-apa!"

    George kemudian melirik sekilas pada anak yang telah membuatnya jatuh ke jalanan beraspal. Lalu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada keluarga kecil yang sedang mengerumuni dirinya dengan berbagai ekspresi yang tidak terlalu dihiraukan oleh remaja tanggung itu.

    "Astaga! Bajumu jadi kotor, Nak."

    George seketika langsung melihat seragam sekolahnya yang tadi ditubruk oleh sang anak. Seragam putihnya kotor, terkena noda es krim. Padahal ia adalah tipe orang yang sangat benci penampilannya terlihat berantakan. Diam-diam, ia mengumpat dalam hati.

    "Ahh, tidak apa-apa. Dia tadi tidak sengaja kok," balas George ramah, ia kembali tersenyum lebar.

    George kemudian menghampiri anak kecil yang tadi menabraknya, menundukkan badannya sedikit agar tingginya sejajar, lalu berbicara dengan nada yang lembut. "Lain kali hati-hati ya, adik kecil," ucap putra pasangan Owens itu sambil mengelus puncak kepala Michael beberapa kali.

    "Iya, Kak!" jawab Michael dengan riang.

    George kemudian mengubah posisinya kembali, masih dengan senyum di wajahnya, George memandang keluarga kecil di depannya.

    Keluarga harmonis ini tampak bahagia di matanya, sama sekali tak ada cela untuk membuat mereka retak. George tak suka melihatnya. Hanya dia saja yang tidak dalam kondisi hati yang baik.

    "Sialan," gumam George lembut.

**

    "Sedang apa kau, Sialan! Pergi dari sini!" George menatap tajam sosok di depannya. Pisau panjang kesayangannya ia arahkan tepat di depan wajah setengah rusak yang mengeluarkan aroma busuk milik sosok yang tadi mendadak muncul saat ia sedang ingin bersantai di dekat jendela.

    Sekujur badan sosok itu tampak hitam melepuh, kulitnya mengelupas dari raganya yang mungil. Namun, kengerian itu tak sedikit pun membuat George merasa gentar. Untuk apa takut dengan mereka yang sudah mati?

    Bukankah mati itu menandakan mereka tak lagi punya kuasa di dunia ini? Sialan! Mustahil George takut dengan orang yang sudah mati! Hantu? Pfft, omong kosong!

    George menyeringai, menurutnya ini cukup menyenangkan. Meladeni arwah penasaran yang berniat balas dendam padanya? Ide bagus.

    Tanpa bisa diperkirakan oleh George, sosok itu mendekat secara tiba-tiba, dan membuat George yang terkejut pun mundur dengan cepat, menghindar darinya. Namun sayangnya, ia malah tersandung kakinya sendiri dan membuatnya pun jatuh terduduk di lantai, dengan pisau yang terlepas dari tangannya.

    "Sial!" umpat George kesal. Ia pandangi pisau sepanjang 15cm itu dan ia berniat mengambilnya sebelum didahului oleh sosok asing.

    Namun, secara tidak disangka-sangka, sosok mengerikan itu malah menerjang, dan mencekik leher George dengan jari-jari tangannya yang sudah tidak utuh. Jarinya seperti sengaja di potong. Cekikan sosok itu begitu kuat dan terasa menyakitkan, hingga membuat George mulai kehabisan napas secara perlahan.

    Pandangannya mulai berkunang-kunang. Apalagi sosok itu menekan leher George hampir dekat dengan jakun, titik vital yang berbahaya.

    "Kau sudah menghancurkan hidupku, Kak ...." Sosok itu berucap pelan dengan suara yang menyedihkan. Suaranya terdengar samar-samar di kedua telinga George yang wajahnya mulai membiru karena pasokan oksigen di paru-parunya secara perlahan menipis.

    Ia butuh udara untuk bernapas sekarang juga.

    "Jadi sekarang ... MATILAH!"

    "TIDAKKK!" teriak George histeris setelah bangun dari tidur. "Haahhhhh, hhhh, hhh ... mi-mimpi apa itu tadi? Hahhhh."

    Buru-buru lelaki itu mengambil posisi duduk dan dengan cepat meraba lehernya. Memeriksa dengan saksama, apakah tak ada bekas cekikan atau apa pun yang tertinggal di sana. Peluh sebesar biji jagung pun mengalir turun dari pelipisnya yang basah karena keringat dingin.

    Kemudian George menyunggingkan senyum lebar. Oh, tadi itu hanya mimpi, ya?

 George memeriksa keadaannya kembali. Ternyata ia tadi hanya bermimpi buruk. Tak ada yang perlu DIRISAUKAN.

    Sebab, semuanya hanyalah bunga tidur.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Charlotte Lee
menarik ceritanya.. boleh tau akun medsosnya gaa biar bisa aku follow?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status