Share

02. His Words

    Jika anak-anak Elementary School senang dengan karakter pahlawan seperti Superman, Spiderman atau tokoh-tokoh berkekuatan super dari Marvel, maka George berbeda. Dia tak seperti anak-anak lain yang senang menjadi sosok yang tak mempunyai kelemahan.

    "Apa bagusnya pahlawan yang menggunakan pakaian ketat? Memangnya mereka bintang film dewasa?" Salah satu komentar George yang mempertanyakan kesukaan teman-temannya. Saat itu anak-anak sedang berkumpul membahas perilisan film Legacy Man : Super Spider.

    Sebuah film yang menunjukkan aktor berkostum Spiderman dan Superman yang bersatu melawan anti-hero berkekuatan luar biasa.

    "Kau belum menontonnya, George? Aksi dua pahlawan super abad ini benar-benar luar biasa!" sahut Nick, anak berkawat gigi yang selalu tertarik dengan hal baru.

    George merotasikan mata dan melewati perkumpulan anak-anak lelaki di kelasnya tanpa minat. Dia bukan golongan anak-anak itu.

    Dia tak senang jika menjadi salah satu tokoh dan dielu-elukan sebagai pahlawan, hanya karena pahlawan itu lebih kuat dan bisa mengalahkan penjahat.

    Bagaimana jika penjahatnya jauh lebih kuat? Apa pahlawan itu akan kalah dan membuat sebagian penggemarnya menghilang karena kecewa tidak melihat aksi yang menegangkan?

    George tak suka pemikiran harus membantu orang lain hanya karena dia lebih mampu melakukannya dibandingkan anak-anak yang lain. Dia tak senang menjadi pahlawan yang menanggung beban para masyarakat yang terlalu mengharapkan sebuah keadilan dalam hidup mereka.

    Itu terlalu berat bagi anak kelas tiga. Keadilan tak tercipta jika tak ada kehancuran. Kehancuran tidak akan ada jika keadilan ditegakkan. Mereka saling melengkapi satu sama lain.

    Bagai keseimbangan yang disebut Yin dan Yang dalam pemahaman rakyat China. Ada hal baik dan jahat. Ada hitam dan putih. Semua saling melengkapi dan berpasang-pasangan.

    Ada perbedaan, tapi tak langsung membuatnya dibenci. Kejahatan ada agar kebaikan bisa menumpasnya, sebaliknya kebaikan ada untuk mencegah munculnya kejahatan. Semua ada hubungannya, tak ada yang tak memiliki keterkaitan. Bahkan noda pada baju sekalipun.

    Itulah fungsinya deterjen pembersih noda pada pakaian kotor.

    Lupakanlah keadilan, karena George tak memedulikan itu semua. Menurut pandangan George, keadilan sama saja dengan kejahatan, Baginya, tak ada satupun keadilan dengan energi baik yang murni di dunia atau keadilan sejati setelah melakukan aksi heroik yang hampir merenggut nyawa demi menolong orang lain.

    Bisa saja di balik itu semua ada perasaan bangga yang membuatnya sombong. Memangnya ada orang baik yang rela mati tanpa memikirkan keadaannya sendiri? Pasti ada, dan George menganggap mereka hanya orang-orang konyol yang mencari perhatian.

    Kenapa bukan orang yang ditolong itulah yang menyelamatkan dirinya sendiri? Kenapa justru menunggu bantuan orang lain. George tak mengerti kebajikan manusia, tak ada yang benar-benar sejati, tulus dan murni di dalamnya.

    "Semua hal baik yang dilakukan sang pahlawan akan sia-sia jika pahlawan itu tidak bisa mengalahkan si penjahat," komentar George sambil menunjuk Peter Parker yang menjadi pahlawan berkostum dengan laba-laba di dadanya—Spiderman.

    Saking menyukai para pahlawan, teman-teman George sampai membawa poster film Spiderman Vs Batman ke sekolah. "Masyarakat akan menyalahkan kegagalan sang pahlawan dalam menumpas kejahatan. Menurut kalian itu adil?" George menambahkan.

    Hening, teman-teman sekelas George tak ada yang berani buka suara.

    "Kalian tidak tahu beban berat saat menjadi seorang pahlawan, 'kan?" George memandang wajah lugu teman-temannya, dan Kembali meneruskan, "Kalian hanya tahu mereka melakukan hal baik. Bagi kalian, itu sangat keren bahkan kalian ingin mencontohnya."

    "Sekarang aku tanya pada kalian ...," ucap George menggantung perkataannya. Teman-temannya diam dan menunggu George melanjutkan, "apa kalian kesal jika pahlawan kesukaan kalian gagal menyelamatkan seseorang dalam film yang kalian lihat?"

    David angkat tangan, dan George mempersilakan anak itu menjawab. "Kami akan sangat kesal, mereka harus berhasil apa pun yang terjadi," jawabnya serius, mewakili teman-temannya yang lain.

    George tersenyum lebar, seakan menjadi pembawa acara motivasi nomor satu di Eropa. "Benar, kalian pasti kesal jika mendapati mereka dikalahkan penjahat atau gagal melakukan aksi heroik. Kalian berpendapat bahwa para pahlawan harus bisa menang apa pun yang terjadi, kan?"

    "Meski mereka harus terluka, kehilangan kesadaran, tidak bisa berjalan atau bahkan mati demi menyelamatkan banyak orang, bagi kalian—pahlawan harus tetap menang. Itu mutlak, jika gagal film itu akan kehilangan keuntungan. Aku benar?"

    Keheningan menyelimuti seisi kelas yang mendadak sepi. Semua mata tertuju pada George yang mengeluarkan pendapatnya tentang teman-temanya dan pahlawan fiksi yang mereka senangi. Hanya George seorang lah yang diberi kesempatan untuk berbicara secara terus-menerus, karena anak itu adalah jiwa inti dalam kelas.

    Isi dari sebuah wadah kosong yang mencari pembenaran.

    "Ada orang-orang yang mendadak ingin jadi pahlawan. Demi mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar, mereka melakukan apa saja agar bisa disebut pahlawan. Menurut kalian itu keren? Bagiku mereka hanyalah orang serakah yang menyedihkan."

    "Kalian tahu kenapa? Karena Tuhan sudah berbaik hati memberikan mereka nyawa, tapi mereka permainkan itu dengan cara melakukan tindakan yang nyaris selalu membuat mereka di ambang kematian."

    George lalu menceritakan seorang pria yang nekat menerobos rumah yang kebakaran demi menyelamatkan penghuni rumah, padahal petugas pemadam telah memperingatkan pria itu agar tidak bertindak gegabah.

    "Tapi pria itu tak peduli dan tetap menerjang masuk. Alhasil, tak beberapa lama setelah dia masuk, sebuah ledakan besar terjadi dan pondasi rumah itu ambruk. Pria yang nekat tadi ditemukan tewas dalam keadaan menyedihkan."

    Nikki—gadis kecil dengan rambut diikat seperti ekor kuda berkomentar, "Bukankah dia seorang pahlawan, George? Dia melakukan hal yang benar!"

    George langsung mencibir komentar itu. "Pahlawan? Ya, mungkin saja dia seorang pahlawan jika sejak awal mendengarkan kata-kata petugas pemadam kebakaran untuk tidak masuk sembarangan. Asal kalian tahu saja, rumah yang kebakaran itu adalah rumah kosong. Tak ada seorang pun yang menempatinya, rumah itu kosong karena akan dijual."

    Semua teman George menjadi gelisah dan membahas nasib pria malang itu.

    "Bagiku dia tetap pahlawan! Dia masuk ke dalam karena ingin memastikan keadaan!" Johnny—teman George yang lain mengucap pembelaan.

    George merasa miris dengan pemikiran anak yang bahkan belum bisa kencing dengan benar. "Ya, dia pahlawan yang baik hati. Sayangnya, DIA BODOH karena tidak memperhitungkan bahwa dia memiliki anak yang masih balita dan istri yang sedang mengandung."

    Suasana mendadak heboh. George kembali meneruskan, "Apa bagusnya mempertaruhkan nyawa demi orang lain? Hanya karena ingin dianggap baik? Ada banyak cara agar jadi orang baik, tidak dengan menerjang api dan membuang nyawa sendiri, menjadikan anak terlantar dan istri yang hamil menjadi janda."

    George membuka pandangan semua anak laki-laki di kelasnya yang ingin menjadi sosok pahlawan berkekuatan super. Anak-anak perempuan sampai terkagum-kagum dan ingin mengikuti jejak yang lain. Hari itu juga, mereka membuang semua poster film dan tak lagi mengidolakan menjadi sosok yang tidak masuk akal.

    "Mengorbankan diri sendiri sampai mati adalah kematian paling konyol, apalagi jika orang itu masih mempunyai keluarga yang harus diberi makan. Faktanya, menjadi seorang pahlawan tak sama dengan mereka yang muncul di film superhero kebanyakan."

    Tepuk tangan membahana di kelas A3, bahkan menarik perhatian anak-anak kelas lain juga guru-guru yang kebetulan lewat.

    "George, kau keren!"

    "George lah pahlawan kami!"

    Dan itulah George, anak kelas tiga Elementary School ketika berhasil menyampaikan pendapatnya kepada teman-teman sekelasnya.

    ***

    George semakin dipuji kepintarannya setelah anak-anak kelas A3 bercerita kepada orang tua mereka.

    "Kau memang anak yang hebat, George."

    "Ya, sangat pandai. Kau benar-benar genius."

    George kemudian menjelaskan bahwa dia lebih senang menjadikan tokoh fiksi sebuah buku cerita menjadi role model hidupnya. Bukan buku sembarangan, melainkan novel yang dibacanya diam-diam sebelum tidur.

    Buku berjudul Syira : The Last Judgement adalah karya besutan Psychopath Tender, penulis yang

    Syirra selalu mengejar orang-orang aneh. Mereka adalah favoritnya. Ia menginginkan orang yang akan melawan, dan orang yang tidak akan takut pada awalnya; atau, lebih baik lagi, orang-orang yang yakin mereka bisa menang.

    Manusia langka dengan keberanian dan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga mereka benar-benar percaya mereka bisa mengalahkannya entah bagaimana caranya. Itu selalu yang paling menyenangkan untuk dibunuh.

    Ia senang menyaksikan kehidupan memudar dari mata mereka yang menantang saat itu perlahan-lahan mencabik-cabik mereka; menonton sebagai kesadaran bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya menyadarinya.

    Selama berabad-abad, makhluk purba ini telah memburu manusia; baik untuk kesenangan, olah raga, atau karena didorong oleh naluri, ia berkembang pesat saat kematian umat manusia. Namun, ia sudah lama bosan dengan jeritan ketakutan dan ratapan penderitaan yang sering menyertai berbagai kampanyenya.

    Dengan demikian, ia telah memilih untuk mengubah demografis mangsanya menjadi manusia yang lebih menarik yang mungkin ditemukan di antara massa. Bagaimanapun, Bumi sekarang memiliki lebih dari tujuh miliar manusia yang memenuhi permukaannya; pasti beberapa dari mereka akan menawarkan perburuan yang lebih unik dan mengasyikkan daripada ribuan Syirra yang telah dimusnahkan sebelumnya.

    Konon, menemukan manusia yang kurang dapat diprediksi di antara jutaan rekan mereka yang lebih membosankan seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.

    Sejak Syirra mengubah modus operandinya, Syirra menjadi frustrasi dengan peningkatan jumlah kill yang lebih lambat. Ia tidak tahu mana yang lebih buruk: membunuh manusia yang tidak berharga, sebab mereka terlalu membosankan karena datang berbondong-bondong, atau menghabiskan berminggu-minggu waktunya untuk melacak mereka yang berpotensi menarik perhatian orang-orang, terkadang hanya untuk mengetahui bahwa mereka bereaksi satu sama lain jelas membuatnya berakhir mengecewakan yang lainnya.

    Lalu, Syirra bertemu dengan Mark Cullen.

    Itu jelas sebuah cerita yang menarik, menginspirasi. Tidak semua orang menyukai superhero yang memiliki kekuatan di luar nalar. George justru senang dengan tokoh yang realistis, kuat tapi memiliki kelemahan.

    Benar-benar menunjukkan manusia yang apa adanya. Manusia yang memiliki motif. Ada yang baik dan buruk.

    "Tak apa menjadikan tokoh fiksi sebagai role model kehidupan, selama tidak mengusik orang lain," adalah kutipan yang selalu dipegang teguh oleh George, anak laki-laki kelas tiga Elementary School.

    ***

    Beberapa tahun kemudian, setelah tumbuh semakin besar, George kembali dihadapkan dengan pertanyaan yang sama. Namun, di kesempatan kali ini dia bisa menjawabnya dengan baik karena waktu istirahat makan siang di sekolah mereka masih sangat panjang; sekitar lima belas menit lagi.

    "Apa rahasiamu, George? Katakan pada kami!"

    "Apa kau mengikuti kursus yang sangat banyak?"

    "Apa kau punya guru terbaik sedunia?!"

    Berbagai pertanyaan pun berdatangan kepada George.

    Remaja empat belas tahun itu masih tetap mempertahankan senyum tipis di wajahnya ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan serupa dari teman-temannya yang antusias ingin mengetahui caranya belajar dan memahami selama ini.

    "Hmm, mudah saja. Sejak kecil, aku selalu bermain permainan puzzle, tic tac toe, flow free, kubus rubik, menebak teka-teki sulit bahkan catur di waktu senggangku," jawab George dengan tenang, yang membuat semua teman-temannya langsung terpukau.

    Wajar saja anak-anak itu takjub, sebab George tak terpukau dengan permainan zaman sekarang yang hampir selalu membuat anak-anak lupa waktu.

    "Lalu selain itu?" tanya mereka lagi. Setelah ini, mereka akan mempraktikkannya di rumah. Siapa yang tak ingin mendapat nilai bagus dan menjadi juara?! Tentu semua orang akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berteriak bahwa mereka sangat ingin mendapat nilai bagus di sekolah.

    Hening sejenak, George tampak mematung di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian, ia pun tersenyum. "Aku juga sangat menyukai mainan bongkar pasang. Permainan itu benar-benar melatihku selama ini," ucap George diakhiri dengan senyuman yang semakin lebar.

Psychopath Tender

Ini juga bagian dari revisi ya

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status