Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka.
Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens.
Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja.
Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Penyesalan akan selalu datang terlambat.
***
"George, anakku. Kemarilah, Nak," panggil Joly, ibu dari anak laki-laki yang tengah asyik bermain scrabble sendirian. Wanita berambut cokelat panjang sepinggang itu menyembunyikan beberapa kotak benda di belakangnya.
Hari itu, kebetulan Joly mendapat cuti dari perusahaan tempatnya bekerja. Itu pun cuti selama beberapa jam saja untuk satu hari itu. Benar-benar menggambarkan kepadatannya selama tak berada di rumah. Dia adalah seorang wanita karier yang sibuk, sama halnya dengan suaminya, Erick Owens.
Mereka adalah pasangan suami istri yang pekerja keras, bahkan mereka selalu bekerja walau di akhir pekan sekalipun. Karenanya, mereka berdua sama-sama tak punya waktu untuk mengawasi setiap apa yang George kecil lakukan selama mereka pergi bekerja.
George yang dipanggil pun menoleh cepat ke arah wanita yang telah melahirkannya. Ia yang masih berumur lima tahun kala itu pun dengan cepat bangkit dari duduknya dan langsung berlari kecil menghampiri sang ibu. Joly dengan sigap menggendong putra kesayangannya dan membawanya ke atas pangkuannya. Joly lantas memeluk George mesra.
"Ada apa, Ma?" tanya George dengan suaranya yang kecil, hampir terdengar seperti bisikan. Pupil matanya membesar, menunjukkan rasa ingin tahu yang juga sama besarnya.
"Mama punya kabar bagus buat George!" Joly mengembangkan senyum dan melanjutkan perkataannya, "Coba kau tebak apa itu?"
George memandang wajah ibunya, kemudian menggeleng tidak tahu. "George tak tahu, Ma," balasnya lirih. Entah mengapa ia menjadi tak bersemangat hari itu, padahal biasanya George adalah anak yang periang.
Joly tertawa kecil. Tak menyadari perubahan anak laki-lakinya. "Mama dan Papa membelikan George banyak sekali mainan baru! Hmm, melihat kau yang senang dengan permainan yang mengandalkan daya pikir dan juga konsentrasi, kami berdua memilih permainan-permainan ini untuk kau mainkan!" ucap wanita itu kegirangan.
"Kami harap George kelak menjadi seorang yang hebat, ya, Sayang?" Joly lalu mengusap surai-surai lembut George yang serupa dengan miliknya. Betapa beruntungnya anak laki-lakinya ini terlahir di keluarga mereka.
George hanya mengangguk patuh, tak terlalu tampak apa dia merasa senang atau tidak dengan hadiah yang ibunya perlihatkan. Karena George adalah seorang anak yang jarang sekali memperlihatkan ekspresinya yang sebenarnya. Terkadang dia akan ceria, terkadang akan murung tanpa sebab. Namun, meski begitu, tangan mungilnya langsung meraih permainan puzzle dan menanyakan apa nama dan kegunaan dari permainan itu kepada sang ibu.
Benda itu belum pernah dimainkan olehnya, dan itu adalah pertama kalinya George melihat benda di tangannya. Tampilannya cukup menarik di mata George karena bergambar tokoh kartun kesukaannya, Mickey Mouse.
Sang ibu tersenyum manis dan menjawab pertanyaan putranya itu dengan senyum lebar di wajah. "Puzzle itu adalah mainan menyusun gambar, Sayang," jawab Joly sambil menunjukkan cara mainnya. "Gambar-gambar itu akan diacak terlebih dahulu sebelum siap kau mainkan. Jadi, di saat kamu akan mencoba menyusunnya di dalam bingkai dengan menghubungkan semua potongan-potongan kecil itu di kotaknya, nanti setelah selesai dia akan menjadi gambar yang utuh."
George yang semula tak menyunggingkan seulas garis pun di wajahnya, mulai terlihat menaikkan sudut bibirnya sedikit. Sampai akhirnya, anak itu tersenyum sekali lagi ketika mendengarkan penjelasan sang ibu. Dia cukup mengerti apa yang telah ibunya jelaskan, karena sebelumnya dia pernah diajarkan seseorang cara bermain ini. Walau saat itu, dia tak bisa memahaminya sama sekali.
Tak perlu waktu lama bagi George kecil untuk menguasai permainan-permainan yang sudah dibelikan oleh kedua orang tuanya. Dalam beberapa minggu saja, ia sudah sangat lihai memainkannya. Tentu semua berkat usaha dan kerja keras George yang sangat ingin menyamai kakak itu.
Dan yang membuat kedua orang tua George, bahkan semua tetangga di sekitar rumahnya terkejut adalah George yang baru berusia lima tahun mampu menyelesaikan Irregural Rubik's Cube.
Di mana rubik ini berbentuk 3D tak beraturan, yang kemudian akan diubah menjadi sebuah kubus persegi biasa. Bagi orang dewasa tentu pastilah mudah memainkannya dalam beberapa kali percobaan, meski ada juga orang-orang yang tidak bisa memainkannya. Akan tetapi, karena yang menyelesaikan permainan kubus ini adalah seorang anak kecil berusia kurang dari enam tahun, tentu saja hal ini sangat mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya.
"George anak yang pintar, ya? Dia hebat sekali memainkan kubus yang rumit itu," puji salah seorang tetangga ketika mereka sengaja datang ke rumah George demi melihat anak laki-laki itu bermain.
"Ah, tentu saja. George adalah anak yang sangat genius," sahut Joly dengan nada bangga. Betapa senangnya dia saat melihat ada orang lain yang memuji anak laki-lakinya. Itu berarti dia berhasil mencetak generasi keluarga Owens yang kelak akan menjadi orang yang sangat terkenal.
Membayangkan kelak akan ada banyak sekali piagam dan piala di rumahnya membuat wanita itu menjadi besar kepala. Dia akan membuat George menjadi seorang ilmuwan, dokter atau apa pun yang kelak akan dikenang oleh banyak orang.
Semua yang pernah meremehkan keluarga mereka kelak akan menyesal saat melihat keberhasilan putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens yang sedang bermain sendirian di halaman belakang itu.
"Apa kalian yang mengajarkan George bermain permainan sulit itu?" tanya Meggan, tetangga sebelah rumah keluarga Owens. Joly menggeleng.
"Tidak, kami tak pernah mengajarkannya apa-apa. Dia adalah anak yang murni lahir dengan bakat dan potensi. Seorang genius nomor satu di kota ini!" Joly benar-benar membanggakan anak satu-satunya itu, sampai mengundang decak kagum dari para tetangga yang senang sekali membicarakan keburukan seseorang.
"Apa kalian tahu?" Joly memancing keingintahuan orang-orang haus topik hangat ini. "George juga sudah pernah menerapkan Blindfolded Solving, atau cara menyelesaikan rubik dengan mata tertutup."
Dua orang wanita dewasa yang mendengarkan penjelasan sang nyonya besar keluarga Owens langsung berdecak kagum. Merasa takjub dengan keterangan yang baru saja Joly berikan kepada mereka. "Bukankah itu metode yang sulit? Anak saya bahkan belum bisa bermain rubik! Apalagi bermain dengan mata tertutup dan mendapatkan hasil yang memuaskan."
Joly tergelak pelan. Wanita itu merasa puas sekali. "Ya, yang kau katakan itu benar. Bagi sebagian orang di dunia ini, bermain rubik dengan mata tertutup mungkin akan sulit pada awalnya. Namun, anakku George ini sama sekali tak mengalami kesulitan saat memainkannya."
Lagi dan lagi, kedua wanita itu berdecak kagum atas prestasi anak tetangganya. "Dia anak yang hebat sekali, Anda beruntung memiliki seorang anak yang pandai seperti George."
Joly tersenyum malu, dalam hati dia bersorak kegirangan karena mendapat pengakuan dari orang-orang bermulut besar ini. "Tentu saja, anak genius ini adalah didikan dari keluarga besar kami. Keluarga Owens yang sangat terpandang ...."
Sayangnya, Joly tak tahu bahwa George lebih istimewa dari apa yang bisa ia ketahui tentang anak laki-lakinya itu.
Ini banyak direvisi ya
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum
"George, kau mau ikut ke rumah Aggis?" Max bertanya pada putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens. George yang sedang membaca buku membalas tanpa memandang sang penanya. "Untuk apa?" tanyanya balik. Dengan santainya, George membalik halaman buku. "Sebentar lagi Halloween, dan kita harus menyiapkan kejutan yang besar, George!" Oakey menyahuti, gadis kecil yang merupakan adik kembar Max pun mengganggu George yang sedang membaca buku William Shakespeare. "Oh, kenapa buku yang kau baca tebal sekali?" George menutup bukunya dan memandang ke arah Oakey. George tak perlu menyelipkan pembatas halaman, sebab dia masih mengingat jelas halaman yang ia baca sebelum kedatangan dua kakak-beradik kembar ini. "Tentu saja, Romeo dan Juliet adalah favoritku," ucap George. "Wah, sungguh? Coba katakan pada kami, sesuatu yang dikatakan orang itu dalam salah satu bukunya," tantang Max kepada George. A