Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam.
Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran.
Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu.
Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya.
"Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?"
Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi ciri khas seorang George Owens.
"Ya, Paman. Hari ini aku tak ingin naik mobil, jadi aku jalan kaki saja."
Eddy tertawa. Pria berusia 40 tahunan itu mempunyai kebiasaan mengangkat topinya tinggi-tinggi saat mendengar sesuatu yang menggelitik. "Kau benar-benar bersemangat. Apa yang ingin kau lakukan terhadap kaki-kaki kecil itu?" tanyanya, sambil menuding kedua kaki George.
George mengendikkan bahu dan memperhatikan kakinya baik-baik. "Entahlah, aku hanya ingin menguatkan otot-otot kaki ini saja," jawabnya tak acuh. Sesaat kemudian ia mengedipkan sebelah mata menggoda. "Mungkin aku bisa jadi pemain bola nanti."
Pria tua yang telah menjadi penjaga sekolah sejak berusia 25 tahun lantas tertawa, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Setiap pagi, Eddy akan bertemu dengan George yang datang bahkan sebelum gerbang dibuka olehnya. Baginya yang belum mempunyai cucu laki-laki, berbicara dengan George sangatlah menghibur.
Pria itu senang setiap mendengar lelucon yang sesekali dikeluarkan oleh George, si anak paling populer di sekolah yang telah menjadi tempatnya bekerja selama belasan tahun lamanya. Bukan hal aneh jika George dikenal oleh semua penghuni Geraldine 2 Elementary School.
"Kau tak cocok jadi pemain sepak bola, mungkin kau bisa menjadi seorang polisi."
Keduanya lantas tertawa bersama-sama, menganggap hal itu bisa saja terjadi—bisa juga mustahil. George kemudian berpamitan dengan Eddy, karena dia harus segera tiba di kelas untuk belajar selama 10 menit sebelum teman-temannya datang ke sekolah.
Sebelum masuk sekolah dasar, George sudah ditekankan untuk datang lebih awal ketika menghadiri acara apa pun. Itulah yang memotivasi George untuk datang di saat bangunan sekolah masih sangat sepi.
Sebab, dia bisa memakai kelas untuk belajar. Bagi George, waktu terbaik untuk belajar adalah pagi hari setelah sarapan, alasannya karena energi dan semangat masih terisi penuh saat itu.
Kalau belajar di siang hari ada kemungkinan energi terkuras sehingga akan lebih mudah merasakan kantuk menyerang, membuat seseorang menjadi tidak fokus lagi ketika menerima pelajaran, terutama pelajaran sulit seperti matematika.
"Oh, hari ini sendirian lagi," gumam George sambil menatap ruang kelasnya yang kosong. "Yah, ini jauh lebih baik daripada saat mereka ada."
George mengeluarkan semua peralatan yang diperlukannya saat belajar. Ada kamus dua bahasa, beberapa pulpen dan pensil, penanda buku warna-warni dan sticky note. George berniat menguasai bahasa Inggris, karena masih belum fasih. Hari itu dia akan belajar hafalan.
"Under my protection, you're not alone like before, because I'll always beside you."
Cara terbaik menambah kosakata dan mempelajari susunan kalimat dalam bahasa Inggris adalah dengan membaca sebuah buku dalam bahasa Inggris.
Tinggal di ibukota Portugal—Lisbon—yang kebanyakan warganya menggunakan bahasa Portugis dan Spanyol membuat George ingin lancar menggunakan bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional saat ini.
Sepuluh menit waktu yang pas untuk belajar di pagi hari, satu per satu anak-anak kelas A3 datang dan memasuki kelas.
"Pagi, George."
"Hai, George. Belajar apa hari ini?"
"Ada tugas, George?"
George menyapa dan menjawab salam teman-temannya sambil tersenyum tipis.
Hidup di tengah keluarga yang memiliki harta berlimpah, dan memiliki uang yang banyak tak selamanya menyenangkan untuk George yang merupakan anak tunggal keluarga Owens. Terlebih lagi, jika harta itu sama sekali tak bisa digunakan untuk membeli sesuatu yang sangat berharga di dunia ini, yaitu kebahagiaan.
Memang menyenangkan banyak uang, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa didapatkan dengan uang. Jikalau bisa pun, maka yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak tulus dan tak murni.
Selain kebahagiaan, uang juga tidak bisa membeli kasih sayang, orang yang telah lebih dulu meninggalkan dunia, waktu yang tidak bisa diulang, kebersamaan dalam sebuah keluarga, dan masih banyak lagi.
Tak ada uang, maka hidup sengsara. Maka banyak uang pun tak menjamin segalanya bisa didapatkan.
Meski, kita bisa membeli sebagian di antara semua hal-hal yang tak bisa dibeli dengan uang, tapi semuanya tetaplah sebuah kepalsuan, imitasi, tiruan semata. Semuanya sedang berpura-pura.
"Memangnya kau tahu imitasi?" tanya Jane, gadis kecil yang duduk di depan George. Ia mendengar George yang menggumam ketika membaca buku Filsafat Pendidikan.
"Ya, imitasi itu sekadar meniru yang asli agar terlihat sama dengan yang ditirunya." George menutup buku filsafat dan membuka buku pelajaran yang lain. Hari itu mereka akan belajar seni rupa, dan George dengan senang hati akan melakukan praktik menggunakan tanah liat di ruang kesenian.
Dalam sebuah kutipan di buku yang sedang George baca, ada pertanyaan yang berbunyi seperti ini, "Apakah ada kasih sayang di dunia ini yang bisa dibeli dengan mudah?"
George tersenyum miring. "Jika ada pun, apa itu kasih sayang sesungguhnya? Yang tulus dan tak dibuat-buat. Omong kosong, tak ada kasih sayang yang muncul dari hati."
George berkata seperti itu karena dia belum pernah mendapat kasih sayang yang tulus. Sejak kecil, George terbiasa dengan segala kesibukan orang tuanya. Perawatan dan penjagaannya selalu diberikan kepada seorang pengasuh.
Marie adalah pengasuh terakhir keluarga Owens, karena tak ada lagi pengasuh yang didatangkan oleh orang tua George untuk menjaga anak laki-laki mereka. Karena alasan itulah, George menganggap orang tuanya tak pernah menyayanginya.
"Kau ingin membeli kasih sayang?" tanya Jane lagi.
George menggeleng. "Tentu tidak, meski aku ingin sekali melakukannya. Mereka yang disewa menggunakan uang akan menunjukkan kasih sayang palsu padamu, karena kau memiliki uang yang mereka inginkan."
"Jika wanita menginginkan uang, mereka akan dianggap materialistis. Jika pria, mereka akan dianggap sebagai lelaki yang perhitungan dan pelit."
"Secara tidak langsung, kau telah membeli kasih sayang palsu dari mereka yang hanya menginginkan uangmu saja."
Jane membalas, "Aku tak mengerti. Aku hanya ingin uang, tapi tidak untuk membeli kasih sayang."
George tersenyum. "Karena kau mendapat kasih sayang yang tulus dari orang tuamu," gumamnya.
"Apakah itu yang dinamakan dengan kebahagiaan sejati?" tanya George pada sang gadis kecil.
Jane tampak berpikir sejenak. "Jelas tidak bisa dikatakan sebuah kebahagiaan yang selama ini kita cari, sebab mereka hanya berpura-pura?"
"Tepat sekali," ucap George. "Dan dengan uang yang kau miliki itu, maka akan semakin banyak pula hal palsu yang akan muncul dalam hidupmu."
"Yang semula tenang, akan menjadi gusar."
"Yang semula baik-baik saja, akan menjadi gelisah. Mereka tak lagi bisa merasakan kedamaian yang sebelumnya mereka rasakan."
"Semua kepalsuan itu akan didapat dengan mudah jika kau memiliki banyak uang. Itulah realita yang ada saat ini," tukas George sambil menatap Jane.
Gadis bermata biru terpesona mendengar pendapat George tentang hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
"Kalau kekasih bayaran?" tanya Jeremy, yang duduk di sebelah kiri George.
"Mereka hanya kekasih bohongan yang dibayar untuk sekadar menemani. Ada banyak orang yang menyediakan jasa ini."
Berpura-pura menjadi orang tua sang penyewa demi sebuah kepentingan? Sekarang pun, sudah cukup banyak jasa sejenis ini yang bermunculan dan diketahui oleh banyak orang.
Lalu, apa yang masih tersisa di dunia ini, sesuatu yang tidak palsu dan bukan sebuah kepura-puraan?
Ialah waktu, yang sudah banyak berlalu karena melakukan hal yang sia-sia. Padahal ada banyak sekali orang di dunia ini yang berkata: waktu adalah uang, tetapi masih saja ada banyak orang yang menggunakan uang untuk membeli waktu yang berakhir menjadi sebuah hal yang sia-sia.
Lalu, siapa yang akan merugi setelahnya? Tentu saja itu adalah para manusia yang melakukannya, dan itu pasti.
Walau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang kaya raya, dengan harta yang melimpah ruah sekalipun, tak bisa membuat George Owens merasakan kebahagiaan sejati. Di balik sifatnya yang tak banyak bicara dan terkesan dingin, sesungguhnya George adalah seorang anak yang sangat kesepian.
Dari luar memang tak tampak seperti seorang anak yang merasa kesepian akan dunianya, karena ada banyak sekali anak-anak seumurannya yang selalu mengikuti George kemana pun anak laki-laki itu pergi, terutama kaum hawa di tempatnya menimba ilmu.
Anak-anak perempuan selalu saja mengikuti George tanpa kenal lelah dan membuat kebisingan di mana pun putra Joly dan Erick itu berada.
Kecuali di perpustakaan, mereka semua tak pernah berani datang ke sana dan mengusik George karena tempat itu dijaga dengan baik oleh seorang penjaga yang sangat galak.
Mengeluarkan sepatah kata saja ketika berada di dalam, maka akan langsung dibentak dan diusir keluar oleh sang penjaga yang terkenal disiplin. Oleh sebab itu, George selalu menghindar dari para pengikutnya dengan cara bersembunyi di perpustakaan.
Surga dari buku-buku yang menarik untuk dibaca, juga tempat terbaik untuk melindungi diri dari kejaran orang-orang.
Karena, George tahu sendiri bahwa tak akan ada seorang pun yang akan menganggunya di sana. Sebab, semua orang tidak suka berlama-lama di perpustakaan karena dianggap membosankan.
Kecuali orang itu memang sangat menyukai aktivitas membolak-balikkan halaman buku dan mengamati kata demi kata yang tertuang di dalamnya. Menarik, karena hanya orang-orang hebat saja yang mampu bertahan sehari semalam di perpustakaan tanpa mengeluarkan sedikitpun keluhan.
Mengeluh itu tak ada artinya, kecuali sudah berjuang dengan giat
Salah satunya adalah George, remaja laki-laki yang hanya suka bepergian ke ruang klub, laboratorium, dan juga perpustakaan sekolah. Tempat-tempat yang selalu dihindari oleh banyak orang. Namun, menjadi tempat terbaik untuk George menghabiskan waktunya.
Seperti itulah George dan dunia yang ia selami selama bertahun-tahun lamanya.
Jika sudah tak bersama dengan para pengikut yang sama sekali tak diundang itu, maka akan tampaklah rupa dari George Owens yang sebenarnya. Sosok yang sangat kesepian di balik banyaknya buku-buku yang ia baca.
Bagi George, teman sejati itu hanyalah buku. Mereka yang mengaku-ngaku sebagai temannya itu hanyalah golongan orang-orang yang suka menjilat. Sebab dia tahu, mereka yang berteman dan terus menempel dengannya itu karena ingin dipandang bagus oleh orang lain.
Mereka berharap, dengan menjadi teman George, maka orang akan berpikir bahwa mereka sama seperti George yang pintar dan termasuk ke dalam golongan yang kaya raya sepertinya.
Namun, George tahu betul dengan tabiat orang-orang penjilat seperti itu dan karenanya, dia tak bisa membuka diri kepada mereka semua.
Sekalipun mungkin, di antara mereka akan ada yang orang yang benar-benar ingin berteman dengannya. Tanpa mengenal status, atau sekadar ingin mengambil keuntungan darinya. Sambil menunggu waktu itu tiba, biarlah George bersikap dingin seperti ini.
Cukup baik kepada mereka yang benar-benar baik, cukup ramah kepada mereka yang benar-benar tak ingin meraup keuntungan darinya.
Ya, George akan menunggu hingga saat-saat seperti itu tiba. Putra pasangan Owens tersenyum miring.
Sudah direvisi yah..
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum