Mentari mulai meredupkan sinarnya, awan-awan kelabu menyelimuti. Angin berembus cukup kencang, debu-debu berterbangan. Raut wajah bosan menghias wajah tampan yang dihiasi alis tebal dengan hidung bangir. "Mendung, semoga enggak hujan. Beberapa minggu ini kita sepi bahkan beberapa hari kebelakang kita belum menjual apapun." Helaan napas kasar terdengar cukup nyaring di sore yang tak bersahabat itu. Biasanya ia tak suka mengeluh. Entahlah, akhir-akhir ia sangat berbeda.
"Namanya juga jualan, ada sepi ada ramainya. Gue jamin malam minggu besok bakal ramai. Teman-teman gue bilang mau borong," ucap Bagas menghibur Taksa. "Lagian gak biasanya lo gitu. Lagi ada masalah?"
"Biasa, urusan dia lagi. Padahal udah jelas gue enggak akan usik milik dia." Helaan napas kasar terdengar, wajah yang biasanya berseri kini sedang meredup. Ia memaksakan senyum untuk terlihat seolah baik-baik saja.
"Sa, bukannya mau ikut campur. Tapi, itu hak lo, dia gak berhak apa-apa. Bahkan harusnya ia gak mendapatkan sepeserpun dari harta itu."
"Lo tau gue gimana, Gas. Ogah gue urusin masalah harta." Sebenarnya di antara mereka berempat bisa dibilang Taksa yang tajir melintir, tapi karena ia tak mau berurusan dengan saudara tirinya. Taksa memilih mengalah dan tak mempersalahkan berapa harta yang diberikan. Namun, sudah jelas dalam hak waris bahwa Taksa hampir mendapat semuanya. Hal itu awal dari perselisihan yang enggan Taksa perjuangkan.
Di sini lah Taksa sekarang. Hidup bersama dengan sahabatnya dan menjauh dari keluarga. Sesekali ia mengunjungi mamanya. Di antara mereka berempat Taksa-lah yang selalu ada di rumah. Sebab Asep, Bagas, dan Mahes, sering pulang ke rumah masing-masing.
Mereka berempat tak hanya bekerja sama untuk membuat konten. Namun, mereka juga membuka bisnis jual beli baju. Distro kecil-kecilan, katanya, tetapi yang terlihat adalah distro dengan tempat cukup luas dengan banyak barang yang dijual. Niat awal yang hanya menyediakan baju berubah karena respons awal pembeli cukup menggiurkan. Mereka menambah barang, yang awalnya hanya menjual baju, bertambah celana, topi, serta sandal khusus pria, tak hanya itu, beragam aksesoris seperti gelang dan kalung perusik mereka sediakan. Mereka membuka usaha itu sebulan sebelum membuat konten. Sekarang sudah tiga karyawan yang dipekerjakan. Akan tetapi beberapa hari belakangan distro mereka sepi pembeli.
"Menurut lo kalau baju yang belum kejual kita kreasiin dikit gimana, Gas?" Bagas yang sedang bermain menonton langsung menghentikan aktivitasnya. Lagipula tontonanya tak semenarik ide Taksa. Karena selama ini ide-ide Taksa selalu memberi jalan keluar dengan hasil memuaskan.
"Menurut lo kalau kita sablon bagian kosong dari baju dengan gambar atau tulisan berbau horor akan menarik enggak? Bisa di bagian depan bisa belakang. Jadi kalau setuju, kita bisa promosi bajunya sekalian bikin konten. Jadi bisa dijual online. Enggak cuma di store gini."
"Boleh juga. Lagi pula penjualan online gak ada salahnya. Gue setuju. Dan gue yakin Mahes sama Asep juga setuju."
Hujan mulai turun, rintiknya menghapus debu. Sementara itu, seorang pemuda dengan perawakan tubuh tinggi sedikit berisi memarkirkan motornya di depan distro dengan pakaian yang terlihat basah. Rambutnya yang panjang ia kibaskan setelah kucirannya dilepas. Dengan langkah cepat segera memasuki Distro.
"Sialan, belum selesai masalah udah datang masalah baru. Macam-macam mereka sama kita," ucap Asep dengan emosi sembari menyugar rambutnya yang sedikit basah dan kembali mengkucirnya.
"Maksudnya, Sep?" tanya Bagas dengan raut kebingungan. Taksa hanya diam dengan tatapan meminta penjelasan.
"Sudah sifatnya manusia iri dengan manusia lainnya yang dianggap lebih daripada dirinya. Mereka yang berpikir pendek akan menggunakan cara yang lebih cepat. Ia menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan posisi manusia yang mereka mau tanpa memikirkan lawannya."
Bagas terdiam. Ia mencoba menelaah apa yang Asep sampaikan. Taksa menaikkan alisnya, meski diam ia berpikir, dan menduga suatu hal yang menurutnya tak masuk akal. Apa yang gue pikirkan benar?
"Kita dicurangi sama toko sebelah, 'kan?" ujar Mahes yang muncul tiba-tiba dengan keadaan rambut basah dan tak disadari oleh ketiganya, sebab mereka benar-benar serius. Mahes datang dengan keadaan basah kuyup sebelumnya dan ia langsung mandi karena takut akan sakit. Mahes adalah tipe pria yang sangat menjaga kesehatan serta kebersihan diri.
"Lho, kok lo udah pulang. Beneran Mahes apa bukan, sih." Bagas menatap Mahes, ia terkejut dengan munculnya Mahes. Sebab sebelumnya ia tengah pergi.
"Gue langsung ke rumah. Motor juga gue taro belakang. Kalian terlalu serius. Makanya gak sadar gue udah pulang."
"Tau dari mana lo soal ini. Gue aja baru sadar, bahkan gak tau siapa dalangnya," ucap Asep.
"Gue lupa tepatnya kapan, tapi pas malam-malam paling ada itu jam satu atau jam dua, gue ambil hp yang ketinggalan di laci kasir, enggak sengaja liat orang gali sesuatu di depan. Gue pikir orang kurang kerjaan. Tapi, setelah denger omongan lo. Gue yakin itu yang lo maksud."
"Bener, Sep?" tanya Taksa memastikan.
"Tanah kuburan yang dibungkus kain kafan," celetuk Bagas tiba-tiba. "Iya, enggak, sih? Gue denger itu salah satu cara untuk membuat usaha seseorang sepi. Gue gak tau gimana cara kerjanya, tapi itu beneran ada, 'kan, Sep?" Asep mengangguk mengiyakan. Sementara itu Taksa menampilkan ekspresi tidak percaya. Sebab di antara mereka berempat Taksalah yang paling menyangkal hal-hal berbau horor. Baginya segala sesuatu dapat dijelaskan secara rasional.
"Yang dibilang Bagas bener. Bisa jadi itu tanah kuburan, tapi kalau enggak kita selesaikan bisa-bisa nyawa kita taruhannya. Karena gue enggak yakin mereka puas hanya dengan sepinya usaha kita. Secara lo tau, kan, latar belakang kita."
"Maaf, Mas, saya lancang. Tapi saya kenal orang pinter yang bisa menolong, Mas," tawar salah seorang pegawai yang tak sengaja mendengar obrolan mereka berempat.
"Orang pinter? Dukun maksud lo? Ogah, ah, kalau dukun." Meski Bagas penakut, ia sangat menolak berhubungan dengan dukun. Karena baginya itu hal tak terpuji jika ia sampai melakukannya.
"Bukan, Mas. Tapi ke Pak Kiai, kebetulan saya punya kenalan yang biasa ngurus begituan dan beliau paklik saya. Kalau mau saya bisa antar masnya. Saya khawatir kalau ditunda-tunda bisa terjadi hal yang tak diinginkan," terang Seto.
"Sa, gimana?" tanya Mahes. Ia tak sepenuhnya menolak dan tak sepenuhnya setuju. Jadi apapun keputusan Taksa ia tak akan mendebatnya.
"Gue tau lo enggak percaya, Sa. Tapi serius kali ini gue khawatir. Tolong pertimbangin, lagian bisa sekalian usir makhluk yang nempel di Mahes. Gak baik juga lama-lama dia dibiarin di sini. Bisa jadi aura negatif rumah kita, dan kemungkinan terparahnya bisa rame ni tempat karena didatangi bangsa mereka." Asep mencoba membujuk Taksa. Sebab ia tak ingin hal yang lebih buruk terjadi.
"Yaudah. Jadi kapan kita berangkat? Katanya lebih cepat lebih baik," ucapnya membuat wajah mereka senang. Setidaknya ini yang bisa gue lakuin untuk mereka untuk menebus kesalahan gue.
***
Matahari belum menunjukkan sinarnya sebab mendung masih mendominasi. Keempat pemuda berencana pergi pada pagi hari, tetapi rencana tinggalah rencana karena mereka bangun kesiangan setelah tidur larut malam. Ditambah hawa dingin yang menusuk kulit membuat mereka betah menyembunyikan diri di balik selimut. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan saat salah satu di antara keempat pria bangun. Ia dikejutkan dengan suara gedoran pintu serta dering telepon yang tak hentinya berbunyi. Pelaku dibalik keributan itu adalah Seto. Karyawan yang menyarankan mereka menemui pakliknya.
"Maaf, To. Semalam kamu tau sendiri kita tidur malam jadi kesiangan bangunnya, ditambah cuacanya pas buat tidur. Kamu nunggu lama tadi?" Mahes yang duduk di balik bangku pengemudi meminta maaf pada Seto yang duduk di sebelahnya.
"Lumayan lama, Mas. Sampai berakar kaki saya. Dikira tetangga ada apa karena saya kalap bangunin kalian. Habis tidurnya kayak kebo. Susah banget dibangunin," ucap Seto mengeluarkan kekesalannya. Pasalnya ia sudah datang pagi-pagi sesuai jam yang sudah disepakati, tetapi para bosnya justru masih enak-enak tidur.
"Kalau kita berangkat sekarang bakal sampai jam berapa?" tanya Taksa yang duduk di belakang Seto.
"Mungkin sore, Mas. Karena kita ini berangkat jam sepuluh lewat. Kalau menginap di sana enggak apa, Mas? Saya takut kalau diteruskan bakal kelelahan di jalan."
Mereka berangkat jam sepuluh lebih, sebab mereka berbenah terlebih dahulu. Seto pun mengusulkan untuk membawa bekal dan baju ganti. Maka dari itu Taksa harus memasak lebih dahulu. Sementara Mahes dan Bagas mengemas beberapa barang bawaan. Sementara Asep menyiapkan kamera kesayangannya. Katanya sayang kalau sedang pergi ke pedesaan tak mengabadikan dalam gambar. Itung-itung menambah koleksi foto bertema alam miliknya.
"Kata lo jalannya jelek. Yakin kita sampainya gak kemalaman? Tapi gak apa, sih, itung-itung liburan dadakan," timpal Bagas dengan raut wajah senang.
"Serius enggak pakai bayaran, To?" Semalam Taksa bertanya pada Seto, tetapi katanya gratis. Namun, tetap saja Taksa tak enak dan kembali menanyakannya.
"Gratis, Mas Taksa. Paklik saya enggak buka praktik. Beliau kebetulan bisa menangangi hal demikian. Jadi beliau memutuskan untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuannya. Bahkan saya rasa paklik saya sudah tau bahwa kita akan ke sana." Ucapan Seto mendapat tatapan kaget dari keempat pemuda itu.
"Bagaimana bisa? Apakah beliau mampu melihat masa depan?" tanya Asep penasaran.
"Jangan ngaco, Sep. Mana ada manusia yang bisa lihat masa depan," ujar Mahes tak percaya.
"Seorang indigo bukan hanya memiliki kemampuan untuk melihat dan berkomunikasi dengan mereka yang tak terlihat. Kemampuan indigo itu banyak dan berbeda-beda. Ada indigo yang mampu melihat masa depan ataupun masa lalu. Bahkan bisa menggerakkan sebuah benda tanpa memegangnya. Itu nyata, bukan sulap dengan trik semata, tetapi benar-benar kemampuan istimewa yang diberikan kepada beberapa orang." Mahes dan Taksa terkejut, tetapi tidak dengan Bagas. Meski penakut pengetahuannya sedikit lebih banyak daripada mereka berdua. Sementara Seto hanya mengangguk membenarkan. Ia pernah membaca hal seperti itu di G****e.
"Jadi, paklik lo indigo?"
"Bisa dibilang begitu, Mas Mahes. Mendapatkannya pun aneh. Beliau sempat sakit parah. Saat sembuh tau-tau mendapat kemampuan istimewa itu. Keluarga saya juga heran. Menurut mereka di silsilah keluarga enggak ada yang begitu. Baru paklik saya aja. Padahal saya berharap punya. Biar bisa liat setan, penasaran." Seto berujar demikian dengan kekehan di akhir kalimatnya.
"Enggak enak. Enggak selamanya yang lo liat bakal bagus-bagus. Wajahnya utuh aja mending, kalau yang rusak bisa muntah-muntah lo. Lagian menurut gue orang dengan keistimewaan tertentu memilki tanggung jawab atas kemampuan tersebut. Kayak yang lo bilang, paklik lo gunain buat ngebantu orang. Coba kalau dia duitin. Beuh, cepet kaya pasti. Cuma dia milih pakai untuk hal positif. Sama halnya gue, bisa liat, yang bisa gue bantu, ya, dibantu. Tapi beda kasus kalau dia mintanya nyawa. Dimusnahin kasian enggak dimusnahin dia makan korban. Susah-susah gampang."
"Jadi benar, Mas Asep itu bisa lihat setan?"
"Ya, bisa dibilang gitu. Tapi serius, enggak enak. Bayangin aja, lo lagi di jalan, tiba-tiba nyium bau anyir. Atau ada genangan darah dan suara minta tolong. Awal-awal gue dikira gila karena panik bilang ada yang kecelakaan, padahal jalan itu normal-normal aja. Sampai gue bisa ngendaliin kemampuan itu, gue ngerasa hidup berat banget."
Mereka sampai sore hari tepat sebelum hujan turun. Perjalanan panjang dengan jalan bebatuan membuat tubuh mereka terasa letih. Meski sudah tidur di mobil tetap saja tubuhnya tak merasa lebih baik. Namun, senyum ramah mereka dapatkan dari pasangan suami istri yang Seto maksud."Kalian ini memiliki kekuatan besar kenapa masalah sepele seperti ini harus jauh-jauh ke sini. Padahal kalian bisa menyelesaikannya sendiri," tutur Paklik Seto saat mereka sedang duduk di ruang tamu dengan asap mengepul dari gelas berisi teh yang disugukan tuan rumah."Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Asep penasaran."Sudah waktunya yang tertidur dibangunkan. Enggak baik terus-terusan tak digunakan. Sebuah keistimewaan akan tetap istimewa bila digunakan dengan benar. Namun, akan sia-sia bila tak digunakan. Kalian sudah mampu mengendalikan dan tak ada kesempatan untuk menghindarinya." Keempatnya menyerngit herat. Sementara Seto mencoba mengartikan ucapan Pakliknya. Ia perna
Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya
Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak
"Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng
Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya.