Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.
Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.
Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.
Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.
Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis.
"Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Gue ngerasa ada yang beda semenjak kita pulang dari gedung terbengkalai. Iya enggak, sih?" Raut wajah serius ditunjukkan pemuda dengan alis tebal.Tatapan tak suka terpancar dari lawan bicaranya yang sedang sibuk memakan mi. "Asep bilang enggak ada apa-apa, 'kan? Jangan parnoan. Lo udah duapuluh tahun masa takut sama setan," omel Mahes yang paling sebal jika sifat penakut Bagas muncul.Badan besar dengan sedikit otot tak membuat Bagas berani dan ketakutannya hilang. Dibalik wajah tampan dengan sifat humoris tersimpan jiwa penakut yang sudah mendarah daging dan sulit dihilangkan. Mungkin karena selama ini ia hidup dikelilingi tiga pria membuatnya terbiasa untuk dilindungi membuat sifat penakutnya enggan menghilang. Terlepas dari itu, bukankah setiap manusia wajar bila memiliki rasa takut meski berlebihan? Asal rasa takut tak membuatnya hilang kewarasan."Takut mah takut aja, enggak ngaruh sama umur," ujar Bagas tak terima dibilang penakut. Seba
Mentari mulai meredupkan sinarnya, awan-awan kelabu menyelimuti. Angin berembus cukup kencang, debu-debu berterbangan. Raut wajah bosan menghias wajah tampan yang dihiasi alis tebal dengan hidung bangir. "Mendung, semoga enggak hujan. Beberapa minggu ini kita sepi bahkan beberapa hari kebelakang kita belum menjual apapun." Helaan napas kasar terdengar cukup nyaring di sore yang tak bersahabat itu. Biasanya ia tak suka mengeluh. Entahlah, akhir-akhir ia sangat berbeda."Namanya juga jualan, ada sepi ada ramainya. Gue jamin malam minggu besok bakal ramai. Teman-teman gue bilang mau borong," ucap Bagas menghibur Taksa. "Lagian gak biasanya lo gitu. Lagi ada masalah?""Biasa, urusan dia lagi. Padahal udah jelas gue enggak akan usik milik dia." Helaan napas kasar terdengar, wajah yang biasanya berseri kini sedang meredup. Ia memaksakan senyum untuk terlihat seolah baik-baik saja."Sa, bukannya mau ikut campur. Tapi, itu hak lo, dia gak berhak apa-apa. Bah
Mereka sampai sore hari tepat sebelum hujan turun. Perjalanan panjang dengan jalan bebatuan membuat tubuh mereka terasa letih. Meski sudah tidur di mobil tetap saja tubuhnya tak merasa lebih baik. Namun, senyum ramah mereka dapatkan dari pasangan suami istri yang Seto maksud."Kalian ini memiliki kekuatan besar kenapa masalah sepele seperti ini harus jauh-jauh ke sini. Padahal kalian bisa menyelesaikannya sendiri," tutur Paklik Seto saat mereka sedang duduk di ruang tamu dengan asap mengepul dari gelas berisi teh yang disugukan tuan rumah."Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Asep penasaran."Sudah waktunya yang tertidur dibangunkan. Enggak baik terus-terusan tak digunakan. Sebuah keistimewaan akan tetap istimewa bila digunakan dengan benar. Namun, akan sia-sia bila tak digunakan. Kalian sudah mampu mengendalikan dan tak ada kesempatan untuk menghindarinya." Keempatnya menyerngit herat. Sementara Seto mencoba mengartikan ucapan Pakliknya. Ia perna
Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya
Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak