Sementara itu, di rumah Danang, Mama Danang merasa heran melihat motor Danang terparkir di garasi.
"Danang datang?" tanya Endang, Mama Danang, kepada Dinda.
Dinda menggelengkan kepala sambil menjawab, "Nggak tahu, Ma."
"Kenapa, Ma?" tanya Dinda.
"Ada motornya di garasi," jawab Mama.
"Ada motornya, pasti ada orangnya, Ma. Tidak mungkin motornya jalan sendiri ke sini," kata Dinda sambil bergurau.
"Jam berapa dia datang? Mama tidak dengar," kata Endang sambil menatap Dinda dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Aku juga tidak dengar, Ma. Jam berapa Mas datang?" jawab Dinda, mencoba mengingat-ingat, namun tak menemukan jawabannya.
Keduanya lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar Danang. Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Danang muncul dengan wajah yang masih mengantuk. Ia mengucek-ngucek matanya dengan mal
Dina sedang sibuk mengerjakan jahitan ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar dan seketika wajahnya berbinar melihat nama yang tertera di sana."Bunda!"Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkatnya, nada suaranya terdengar penuh kegembiraan."Bunda," ucapnya dengan senyum lebar.Namun, suara lembut dari seberang langsung mengingatkannya pada sesuatu yang tak boleh ia lupakan."Ucapkan salam dulu, Nak. Assalamualaikum," suara bundanya terdengar hangat, penuh ketenangan yang selalu membuat Dina merasa aman.Dina terkikik kecil, sedikit malu karena terburu-buru. "Wa'alaikumussalam, Bunda. Maaf," ucapnya, nada suaranya lebih lembut.Bundanya tertawa pelan. "Sedang apa, Nak?"Dina menyand
Danang terkejut melihat Dinda berdiri di depannya dengan wajah serius, sorot matanya tajam seolah telah menyimpan pertanyaan yang lama ingin ia lontarkan."Mas, ada yang ingin aku bicarakan," ucap Dinda, nada suaranya jelas menunjukkan bahwa ini bukan percakapan biasa.Danang mengerutkan kening. "Mau bicara apa? Apa tidak bisa dibicarakan di rumah?" tanyanya, mencoba memahami urgensinya."Tidak!" jawab Dinda tegas, tanpa memberi ruang untuk argumen. Ia mengayunkan tangan, menunjuk ke arah kafe di sebelah kantor. "Ayo kita bicara di sana."Danang menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang tidak beres dari ekspresi wajah adiknya. Namun, tanpa banyak perlawanan, ia mengangguk dan mengikuti langkah Dinda menuju kafe.Di dalam kafe, keduanya memilih meja yang cukup jauh dari keramaian. Danang masi
Dina mengerjakan jahitan dengan serius, jemarinya lincah menuntun kain di bawah jarum mesin jahit. Suara mesin yang berputar berulang-ulang terasa begitu menenangkan, seolah menggantikan hiruk-pikuk pikirannya.Untuk sesaat, ia benar-benar melupakan masalahnya dengan Danang. Tidak ada lagi kepedihan yang membebani dadanya—hanya ada pekerjaannya, benang yang mengalir mulus di atas kain, dan suara orang-orang di luar rukonya yang mulai melirik tempat usahanya.Dina melirik sekilas ke arah pintu, melihat beberapa orang yang berdiri di depan ruko, saling berbisik sambil melayangkan pandangan ke arah papan nama usaha yang baru ia pasang beberapa hari lalu.Ia tersenyum kecil. "Semoga mereka menjadi pelanggan …"Pikirannya bergerak cepat, mendorong semangatnya semakin kuat."Kalau aku bisa me
Alma berdiri di samping mobil, matanya mengamati koper kecil yang dibawa Dina. Ia mengernyit, merasa tak percaya."Hanya ini barangmu?" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit heran.Dina menarik napas, memandang koper kecil di tangannya sebelum mengangguk. "Aku tidak bawa semua," jawabnya pelan.Alma menyilangkan tangan di dada, masih tak puas dengan jawaban itu. "Kenapa? Apa masih berat untuk meninggalkannya?" tanyanya lagi, kali ini lebih hati-hati.Dina menunduk sebentar sebelum menjawab. "Bukan itu… Aku takut Mas Danang mencariku ke kampung. Aku takut Bunda sakit karena khawatir," ujarnya lirih, suaranya terdengar mengandung kecemasan yang nyata. "Aku akan mengatakan pada Bunda nanti, setelah aku berhasil mendapatkan buku nikah."Alma menghela napas panjang, mengangguk pelan. "Be
Danang terbangun karena mendengar suara motor berlalu-lalang di depan rumah. Suara knalpot yang bising seakan menampar kesadarannya, memaksanya keluar dari tidur yang tidak benar-benar nyenyak.Dengan gerakan cepat, ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, pandangannya langsung tertuju ke arah jam dinding."Jam 6?! Sial!"Ia mengumpat pelan, mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum menggerutu lebih keras."Kenapa Dina tidak membangunkanku?"Ia segera berdiri dan bergegas menuju kamar mandi, melangkah dengan terburu-buru. Pikiran tentang pertengkaran semalam lenyap begitu saja—kesibukan pagi ini lebih mendesak daripada urusan hati yang ia pilih untuk abaikan.Di bawah guyuran air dingin dari shower, Danang menghela napas panjang.
Setelah melangkah beberapa langkah menjauh dari kotak yang tergeletak di lantai, Dina tiba-tiba berhenti. Ia diam sejenak, pikirannya beradu antara meninggalkannya atau kembali. Rasa penasaran akhirnya mengalahkan keraguannya. Perlahan, ia membalikkan badan dan melangkah kembali menuju kotak itu, ingin mengetahui apa yang tersembunyi di dalamnya.Dina membungkukkan badannya dan kemudian mengambil kotak tersebut. Dengan tangan gemetar, Dina membuka kotak kecil itu, napasnya sedikit tertahan saat tutupnya perlahan terbuka. Matanya membesar, sorotnya dipenuhi keterkejutan yang bercampur dengan berbagai perasaan yang sulit diuraikan."Kalung," ujarnya pelan, nyaris berbisik.Cahaya lampu kamar mengenai permata di liontin kecil yang tergeletak di dalamnya, memantulkan kilauan lembut yang seharusnya indah—tetapi bagi Dina, benda itu lebih seperti pengingat daripada hadiah. 
Deni menelan ludah, seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokan. Ia menggeser posisi duduknya sedikit, pandangannya menghindari mata bundanya. "Itu, Bun..." ucapnya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, nyaris bergetar.Aini semakin memperhatikan perubahan raut wajah Deni, sorot matanya mulai dipenuhi kecemasan. Ia tidak suka ketika anaknya bersikap seperti ini—seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikan tetapi masih ditahan."Apa, Deni? Dina sakit?" tanyanya, nada suaranya kini berubah menjadi sedikit khawatir.Deni menggeleng cepat, tetapi tetap tidak langsung berbicara. Ia menarik napas panjang, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.Aini semakin tidak tenang melihatnya. Ia menggeser duduknya lebih dekat, lalu meraih tangan Deni dan men
Danang bangkit dari duduknya, dadanya terasa sesak saat mendengar suara isakan lirih dari kamar tamu. Isakan yang begitu halus, tetapi terasa menyayat, seolah setiap tangis yang ditahan oleh Dina menghantam kesadarannya dengan pukulan yang tidak terlihat.Langkahnya berat saat ia mendekati pintu kamar tamu, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih dekat. Hatinya bergetar, penuh penyesalan, penuh ketidakpastian.Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar dengan lembut."Tok… tok… Din… Dina…" panggilnya, suaranya bergetar, tidak seperti biasanya.Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Hanya keheningan yang terasa semakin tebal, semakin menghimpit.Danang menelan ludah, lalu mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih kuat. "Tok… tok… D
Aini duduk termenung di teras rumahnya, menatap langit yang mulai berubah warna menjelang senja. Udara terasa lembab, seolah ikut membebani pikirannya yang sudah penuh dengan kegelisahan. Tangannya perlahan mengelus dadanya, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul. Ada rasa sesak, rasa yang sulit dijelaskan. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin yang terasa berat. "Ada apa ini? Perasaanku tidak nyaman... Apa jantungku bermasalah?" batinnya, mulai diliputi kecemasan. Aini menutup matanya, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa lebih pendek dari biasanya. Pikirannya melayang ke berbagai arah, tetapi yang paling kuat adalah ketakutannya terhadap sesuatu yang mungkin akan terjadi. "Allah, jangan buat hamba sakit sekarang ini. Suami hamba sudah Engkau ambil, jangan sampai hamba juga dipanggil sekarang ini..." Suara hatinya terdengar lirih, penuh harap. Kehilangan suami sudah menjadi luka yang masih belum benar-benar sembuh, dan kini ketakutan akan meninggalkan