Tidak selamanya pernikahan karena cinta selalu bahagia dalam pernikahannya. Begitu juga yang terjadi dengan Dina. Kesederhanaannya ternyata membuat Danang malu untuk mengenalkan Dina dengan rekan kerja suaminya itu. Lantas, haruskah Dina bertahan atau memintai cerai jika sudah tak ada yang dapat pertahankan? Menyesalkah Danang melepas Dina nantinya?
View MoreDanang menghela napas kasar, matanya terus mengamati setiap orang yang keluar dari gedung kantor. Namun, tidak ada tanda-tanda Sinta.Ia merogoh ponselnya lagi, ibu jarinya bergerak cepat menekan nomor yang sudah berulang kali ia coba hubungi sejak tadi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.“Sial!” gumamnya, menekan tombol panggil sekali lagi. Matanya bergerak gelisah, berharap kali ini Sinta menjawab. Tapi harapan itu tetap kosong.Danang menutup ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tetapi tidak mampu meredakan kekacauan yang berkecamuk di kepalanya."Kenapa dia nggak angkat?" pikirnya dengan frustrasi.Ia melirik pintu utama gedung, memperhatikan setiap orang yang keluar, mencoba menangkap sosok yang ia cari. Tapi tetap tidak ada.
"Ayo, Johnny, Deni, makan," kata Dina sambil meletakkan dua bungkus nasi lemak di atas karpet untuk tempat mereka duduk, karena Dina belum membeli meja untuk tempat makan..Deni dan Johnny langsung duduk, aroma nasi lemak yang hangat menggoda selera mereka. Dina tersenyum melihat antusiasme keduanya."Kalian pasti sudah lapar, kan?" tanyanya sambil membuka plastik pembungkus. "Jam berapa tadi kalian berangkat dari sana?""Jam enam, Kak, bus trip pertama," sahut Johnny sambil mengusap perutnya. "Lama banget di jalan, aku udah hampir pingsan kelaparan."Deni terkekeh, membuka bungkus nasi lemaknya dengan cepat. "Enak nih," katanya setelah melihat isiannya yang lengkap—nasi wangi, sambal pedas, irisan telur, dan ikan bilis renyah.Dina tersenyum kecil. "Di dekat sini cuma ada ini. Kalau ke pasar, ada p
°°Dina membawa Deni dan Johny dari stasiun bus menuju tempat usahanya. Langkahnya terasa gugup, meskipun dalam hati ia ingin sekali menunjukkan hasil kerja kerasnya kepada adiknya.Begitu mereka sampai di depan sebuah toko kecil yang sederhana namun rapi, Deni mengerutkan kening dan menatap sekeliling dengan bingung. "Ini apa, Kak?" tanyanya sambil melirik papan nama yang terpajang di depan pintu.Dina tersenyum kecil, ada sedikit rasa malu yang muncul dalam dirinya. "Ini tempat usaha Kakak," jawabnya pelan.Deni menatapnya lebih lama, masih berusaha memahami maksud dari kata-kata Dina. "Maksudnya?"Dina menarik napas, mencoba meredakan kegugupannya sebelum akhirnya menjelaskan. "Kakak buka usaha menerima jahitan," katanya, kini dengan suara yang lebih mantap.Mata Deni terbuka leb
Dina berdiri di dapur, kedua tangannya sibuk mencuci buah di bawah aliran air. Setelah berhasil menghindari Danang beberapa saat lalu, ia mencoba menenangkan diri dengan aktivitas sederhana—sesuatu yang membuatnya merasa tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekacauan.Namun, ketenangannya seketika buyar.Tanpa peringatan, dua tangan kokoh melingkar di pinggangnya dari belakang. Dina tersentak, tubuhnya menegang. Ia bahkan sempat menahan napas saat merasakan kehangatan yang begitu familiar."Sayang, Mas rindu," gumam Danang, suaranya terdengar lembut di dekat telinga Dina sebelum ia melabuhkan kecupan ringan di pundaknya.Dina seketika menggigit bibirnya, menahan rasa muak yang tiba-tiba muncul. Jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena kegugupan, tapi karena emosi yang
Dina baru saja mengakhiri pembicaraan dengan Bundanya ketika tiba-tiba suara pintu rumah menghempas terbuka, membuatnya tersentak.Ia menoleh, dan di sana, di ambang pintu, berdiri Danang dengan wajah yang kusam dan tanpa ekspresi. Tatapan matanya kosong, langkahnya berat, seolah ada sesuatu yang menghantam pikirannya. Ia bahkan tidak menyapa Dina, tidak ada anggukan atau sekadar lirikan. Hanya diam, dingin, dan langsung melangkah menuju kamar.Dina memandang punggung Danang yang perlahan menghilang di balik pintu kamar dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang tidak beres."Kenapa dia? Raut wajahnya kusut. Apa dia bertengkar dengan wanita simpanannya? Pasti. Itulah kalau hubungan terjadi dalam kebohongan, pasti tidak akan direstui Allah. Lihat saja, Mas, kau tidak akan bisa bahagia!"*Dina mengepalkan jemarinya, dadanya terasa
Sampai di rumah, suasana di antara mereka masih dipenuhi keheningan. Sinta tetap bungkam sejak meninggalkan pantai, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Danang sudah berusaha mengajaknya bicara selama perjalanan, tetapi Sinta tetap menutup rapat mulutnya.Setelah Sinta turun dari motor, Danang segera memanggilnya dengan suara penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang," ucapnya pelan, tetapi Sinta tidak merespons dan langsung berjalan menuju pintu gerbang rumahnya."Sinta!!" Danang menarik tangan Sinta dengan cepat, membuat langkahnya terhenti di depan pagar. Sinta menoleh dengan tatapan marah, menghentakkan tangannya dari genggaman Danang."Mas! Aku malu! Kenapa Mas melakukan itu di tempat umum?!" serunya dengan nada penuh emosi, air mata mulai menggenang di matanya.Danang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, aku salah. Aku nggak kepikira
Dinda keluar dari kamar dan melangkah perlahan menuju ruang keluarga, tempat Mamanya, Endang, sedang duduk santai di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya. Televisi menyala, menampilkan acara favoritnya, drama favoritnya di salah satu televisi swasta. Dinda berdiri sejenak di ambang pintu, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk."Mama," panggil Dinda pelan sambil mendekat dan duduk di sebelah Mamanya. Suaranya terdengar sedikit ragu, membuat Endang meliriknya dengan alis sedikit terangkat."Ada apa, Din? Kok tiba-tiba manggil Mama seperti itu? Mau minta sesuatu, ya?" tanya Endang setengah bercanda, sambil menyeruput tehnya.Dinda tersenyum kecil, tetapi kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Ma, kalau ada orang yang Mama kenal… terus dia terlihat bersama pria lain yang bukan suaminya, tapi kelihatan sangat mesra… apa yang Mama akan lakukan?" tanya
Dina perlahan menurunkan ponselnya ke atas pahanya, tangannya gemetar dan wajahnya pucat. Tatapannya kosong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Al... ini... ini..." katanya dengan suara bergetar, memandang Alma dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Melihat sahabatnya begitu terpukul, Alma langsung mengambil ponsel dari tangan Dina. "Coba sini, Din. Biar aku lihat," katanya cepat. Ia menatap layar ponsel itu, dan detik berikutnya matanya membelalak. Alma spontan berseru lantang, nyaris berteriak, "Sudah gila suamimu, Din! Terang-terangan dia main hati! Dia pikir dia siapa?!"Dina mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri, meski jelas emosinya bercampur aduk. "Semakin cepat aku ingin lepas darinya," ucap Dina lirih, suaranya sarat dengan kekecewaan dan kepedihan."Iya! Kau harus gugat cerai dia, Din! Laki-laki model begitu nggak pantas dipertahankan
Dinda masuk ke kamarnya sambil memegang kartu SIM baru yang baru saja ia beli. Ia membuka ponselnya, mengganti kartu SIM dengan hati-hati, dan memastikan nomor barunya aktif. Setelah beberapa detik, notifikasi dari operator muncul, menandakan nomor tersebut telah siap digunakan."Hm, sekarang semuanya sudah siap. Tinggal kirim videonya ke Kak Dina," gumam Dinda sambil menarik napas panjang, ekspresinya terlihat tegang. Ia membuka galeri dan melihat video Danang dengan wanita yang tidak dikenalnya, lalu mulai mulai mengetik. Dia menuliskan 'Suamimu main gila'.Namun, ia berhenti sejenak, menatap layar ponselnya dengan ragu. "Apa Kak Dina sanggup menerima ini ? Tapi kalau aku nggak kirim, dia nggak akan tahu kelakuan Mas Danang di luar sana," ujar Dinda, berbicara dengan dirinya sendiri.Ia menggigit bibirnya, kemudian menguatkan hati. "Nggak, aku harus kirim. Kak Dina berhak tahu kebenarannya!"
Dina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang."Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya."Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments