Tidak selamanya pernikahan karena cinta selalu bahagia dalam pernikahannya. Begitu juga yang terjadi dengan Dina. Kesederhanaannya ternyata membuat Danang malu untuk mengenalkan Dina dengan rekan kerja suaminya itu. Lantas, haruskah Dina bertahan atau memintai cerai jika sudah tak ada yang dapat pertahankan? Menyesalkah Danang melepas Dina nantinya?
View MoreDina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang.
"Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya.
"Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.
Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"
Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?
"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.
Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti biasanya.
Dina bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masalah keuangan yang membuat Danang marah? Atau ada sesuatu yang lain? Dina merasa harus mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Berbagai pertanyaan itu menghuni kepala Dina, wanita dua puluh tiga tahun yang baru enam bulan merasakan manisnya berumah tangga dengan Danang, pria berusia dua puluh sembilan tahun. Mereka menikah bukan karena perjodohan, melainkan karena cinta pada pandangan pertama menurut Danang.
Sepeninggal Danang, Dina terdiam, masih bingung dengan sikap dan kemarahan suaminya. Dia memandang pakaian daster yang dikenakannya dengan perasaan was-was.
"Apa yang salah dengan bajuku? Bukankah ini bagus?" gumam Dina, mencoba mencari tahu apa yang membuat Danang tiba-tiba marah.
Dina selalu berusaha menjadi istri yang baik, membelanjakan uang dengan hemat dan memilih pakaian yang sesuai dengan kenyamanannya. Namun, sikap Danang yang mengejek dan tidak menyukai pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya pada keuangannya yang dikelolanya.
Perlahan-lahan, perasaan bersalah dan khawatir mulai merayapi hati Dina. Apa yang salah? Apa yang telah dilakukannya sehingga membuat Danang marah? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang suami?
Setelah merenung sejenak mengenai perubahan sang suami, Dina memutuskan untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam, berharap Danang akan merasa lebih baik setelah makan. Namun, kerisauan tetap memenuhi benaknya. Apakah semua ini pertanda dari sesuatu yang lebih besar?
Di dalam kamar, Danang duduk termenung. Rasa bersalah mulai merayap, namun gejolak emosi dan kemarahan yang dirasakannya mengalahkan semua itu.
Danang terduduk di ranjang, gelisah dengan ucapannya sendiri kepada Dina. Ia merasa bersalah telah menyinggung istrinya dan bersikap kasar. Namun, gejolak dalam dirinya yang ingin Dina berubah sesuai keinginannya sulit untuk ditahan.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaannya," gumam Danang, memijat pelipisnya. Tapi di sisi lain, bayangan istrinya yang berpakaian sederhana terus mengganggu pikirannya.
Sebagai seorang manajer di perusahaan ternama, Danang merasa malu jika harus memperkenalkan Dina dengan gaya hidup yang terlalu kampungan. Ia ingin Dina tampil lebih glamor, agar sesuai dengan statusnya sebagai istri seorang eksekutif.
"Dina harus berubah. Dia harus belajar berpenampilan lebih baik, seperti istri-istri teman kantorku," gumam Danang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya adalah benar.
Namun, di dalam hatinya, Danang tahu bahwa Dina adalah wanita baik yang selalu mencoba memahami dan mendukungnya. Meskipun sederhana, Dina adalah istri yang setia dan penuh kasih.
Danang menghela napas berat. Akankah ia mampu menyeimbangkan tuntutan gaya hidup dan mempertahankan cinta yang telah terjalin dengan Dina selama enam bulan ini.
"Apa yang harus aku lakukan? Sudah sering aku katakan padanya, untuk merubah penampilan. Tapi, dia tetap tidak berubah. Apa uang lima juta setiap bulan, kurang?" batin Danang.
Setelah selesai memasak, Dina perlahan melangkah menuju kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, namun ternyata pintu kamar terkunci.
"Dikunci," gumam Dina sedikit heran, karena biasanya kamar tidak pernah dikunci oleh Danang jika ia berada di dalam.
Akhirnya, Dina mengetuk pintu kamar.
Tok... Tok... Tok...
Dina mengetuk pintu kamar dengan lembut.
"Mas... Mas Danang, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan mas," ujarnya dengan lembut.
Tak ada jawaban dari dalam. Dina menunggu sejenak, berharap Danang akan keluar dan mereka bisa makan dengan tenang seperti biasa. Namun, ruang hening masih menjawab panggilannya.
Dina menghela napas perlahan. Ia tahu Danang mungkin masih marah atau terlalu lelah untuk bergabung dengannya. Dengan sedikit kecewa, Dina memutuskan untuk tidak menggangu Danang.
Saat Dina sedang menata meja makan, tiba-tiba Danang muncul dari kamar. Dina menoleh dengan harapan melihat Danang dalam keadaan lebih baik, namun ekspresi Danang masih tampak gelisah dan tidak nyaman.
"Ayo kita makan, mas ," kata Dina hati-hati.
Danang terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu, "Aku... nanti saja. Aku masih ada pekerjaan."
Dina mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan dalam hatinya. "Baiklah, nanti kalau sudah selesai, katakan, Mas. Biar aku hangatkan sayurannya."
Dengan langkah berat, Danang kembali masuk ke kamar, meninggalkan Dina yang terdiam di dapur. Dina menghela napas, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya.
Dina menatap meja makan yang telah ditata rapi dengan makanan lezat yang dimasaknya. Tapi, kursi di hadapannya tetap kosong, mengingatkannya akan ketidakhadiran Danang untuk makan bersama.
Dengan hati yang sedikit terluka, Dina mulai menyantap makanannya seorang diri. Setiap suapan terasa hambar, tidak lagi semanis biasanya ketika mereka makan bersama.
"Kenapa, Mas Danang?" gumam Dina dalam hati. "Belakangan ini sikapnya begitu berubah. Apa ada masalah dengan pekerjaannya?"
Dina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Apakah ada masalah di kantor? Atau mungkin ada sesuatu yang lain yang membebani pikirannya?
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar bisa membantu Danang menyelesaikannya. Sebagai istri, Dina selalu berusaha menjadi sandaran bagi Danang, tempat dia bisa berbagi dan mencurahkan segala bebannya.
Namun, kali ini Danang tampak menjauh dan enggan terbuka. Dina merasa khawatir, sekaligus sedih melihat perubahan sikap suaminya yang semakin hari semakin dingin.
Dina perlahan menghabiskan makanannya, berharap Danang akan segera keluar dari kamar dan bergabung dengannya. Namun, harapan itu tampaknya harus kembali tertunda.
Setelah menyelesaikan makan malamnya seorang diri, Dina membereskan dapur dan perlahan berjalan menuju kamar. Hatinya masih dipenuhi kekhawatiran akan perubahan sikap Danang.
Saat Dina membuka pintu kamar, dilihatnya Danang sudah berbaring memunggungi pintu, tampak tertidur pulas. Dina menghampiri sisi ranjang dan memperhatikan wajah suaminya yang terlihat lelah.
"Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu, Mas?" bisik Dina lirih, tangannya dengan lembut menyentuh rambut Danang.
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang membuat Danang berubah menjadi dingin dan tidak bersemangat seperti ini. Sebagai istri, Dina sangat ingin bisa membantu Danang mengatasi masalahnya.
Sebelum membaringkan diri di ranjang, Dina memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia berjalan menuju kamar mandi, berharap air hangat dapat menenangkan pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran.
Saat bercermin, Dina memperhatikan pantulan dirinya. Pakaian daster sederhana yang tadi dikritik Danang masih melekat di tubuhnya. Dina menghela napas, menyentuh kain halus itu dengan lembut.
"Apa yang salah dengan pakaianku?" gumamnya pelan. "Bukankah Mas Danang selalu bilang dia menyukai gaya berpakaianku yang sederhana?"
Ruangan sidang terasa sunyi. Hanya suara hakim yang memimpin sidang terdengar.“Karena tergugat tidak hadir dan telah memberikan kuasa penuh kepada kuasa hukumnya untuk menerima gugatan, serta telah menyatakan menerima permohonan penggugat, maka... Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai penggugat, Dina Ardhiani, terhadap Danang Sahputra Prasetyo.”Ketukan palu hakim terdengar nyaring.Dina memejamkan mata, menahan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Di sampingnya, Vina menggenggam tangannya erat, memberi kekuatan.Semua keluar dalam keadaan campur aduk. Ada sedih dan ada perasaan lega.Di luar ruang sidang, Aini memeluk putrinya. “Sudah selesai, Nak. Sekarang kamu bisa mulai dari awal, tanpa luka yang sama.”"Bangkitlah, demi mereka." Hanum memeluk Dina."Semangat kak," ucap Deni."Strong Din," ujar Alma yang terus ada mendampinginya.Dina menganggukkan kepalanya menatap wajah-wajah yang selalu memberinya semangat.Dari pengadilan agama, Dina langsung men
Ruangan rumah sakit itu dipenuhi aroma antiseptik. Suara detak alat monitor berdentum pelan, menghitung detak jantung Danang yang masih berbaring lemas di atas ranjang.Endang duduk di sisi ranjang dengan wajah murung, sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Sementara Dinda berdiri di dekat jendela, mondar-mandir dengan gelisah.Danang mengerang pelan. Kepalanya tampak berat dan matanya enggan terbuka. Ia sudah dua kali muntah dalam dua jam terakhir."Mas?" panggil Dinda cemas, menghampiri.Danang hanya menggeliat, memegangi kepalanya sambil mendesah kesakitan.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan lalu terbuka. Seorang dokter pria masuk, mengenakan jas putih dengan papan nama bertuliskan: dr. Reza – Sp.S (Spesialis Saraf). Di belakangnya, seorang perawat mendorong alat bantu portable."Bu Endang? Kami sudah lakukan
Kelopak mata Danang perlahan terbuka. Cahaya lampu ruangan terasa menyilaukan, membuatnya menyipit. Napasnya masih berat, dadanya naik turun pelan. Untuk beberapa detik, ia hanya memandangi langit-langit, mencoba menyadari di mana ia berada.“Mas… Mas Danang…” suara lembut Dinda memanggil, terdengar serak menahan tangis.Endang yang duduk di sisi ranjang langsung berdiri. Matanya sembab, tapi kini menyala haru.“Alhamdulillah, kamu sadar, Nak…” ucapnya lirih.Danang memutar kepala perlahan, dan mulutnya bergerak.“Ma… aku… kenapa aku di sini?”Suara itu parau. Lirih. Hampir seperti bisikan.Dinda mendekat, menaruh tangannya di lengan Danang.“Mas… Mas tadi pingsan di pengadilan. Kita langsung bawa ke r
Endang mulai panik.“Danang! DANANG!” teriaknya keras, berlari menghampiri.Danang mencoba berdiri tegak, tapi tubuhnya tak sanggup menahan beban emosi dan tekanan fisik yang memuncak. Dalam sekejap, ia terhuyung dan—BRUK!Tubuhnya ambruk menghantam lantai marmer pengadilan. Kepalanya nyaris membentur keras jika Dinda tak segera menahan bagian belakangnya. Namun tetap saja, tubuh itu jatuh lemas."DANANG!!" Endang menjerit. Suaranya menggetarkan udara. Orang-orang di sekitar langsung menoleh, beberapa berlari mendekat.Dinda berlutut, memegangi kakaknya dengan gemetar. "Mas! Mas, bangun! Jangan begini… Mas, bangun dong!" Suaranya pecah. Matanya berkaca-kaca.Endang menjerit ke arah petugas. “Tolong! Panggil ambulans! Anak saya pingsan!”Kerumunan mulai
Setelah pembukaan persidangan oleh Majelis Hakim, sidang kedua dilanjutkan dengan agenda mediasi, sesuai aturan hukum agama yang berlaku. Hakim menunjuk Hakim Mediator yang berbeda dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini.Setelah proses administrasi selesai, baik Danang maupun Dina, masing-masing didampingi oleh pengacara mereka—Rani dan Vina—diminta masuk ke ruang mediasi yang terpisah dari ruang sidang utama. Namun, dalam ruang mediasi, hanya pihak yang bersengketa yang diperbolehkan hadir. Pengacara, keluarga, maupun pendamping tidak diperkenankan masuk.Di ruang mediasi:Hakim Mediator, seorang pria paruh baya dengan raut wajah tenang, membuka sesi dengan senyum ringan."Selamat pagi, Bapak Danang dan Ibu Dina. Saya ditugaskan sebagai mediator dalam perkara kalian. Tujuan mediasi ini adalah mencari titik temu dan rekonsiliasi, jika masih memungkink
Pengadilan Agama pagi itu masih sepi. Hanya petugas keamanan dan beberapa staf yang tampak sibuk membuka berkas-berkas dan menyiapkan ruang sidang.Jam masih menunjukkan pukul delapan lebih sedikit saat mobil yang dikemudikan Dinda berhenti di halaman parkir. Danang turun dengan jas rapi dan wajah penuh harap. Di belakangnya, Endang menyusul keluar dari mobil."Masya Allah, Danang… ini belum juga mulai. Kamu bawa kita pagi-pagi sekali, orang kantor pengadilan juga belum siap semua," omel Endang, mamanya, sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring karena tergesa-gesa.Danang hanya diam. Tatapannya menatap ke arah gedung, lalu ke jam tangannya. Nafasnya pendek-pendek. Gugup jelas terbaca dari gerakan tangannya yang bolak-balik membetulkan letak dasi. Dia duduk, lalu berdiri celingukan melihat parkiran. Terlihat sekali ia gelisah.Dinda memandang sekeliling dan b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments