Selamat malam para pembaca TDR. Aku ucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah baca cerita ini yaa. Aku juga minta maaf karena updatenya gak nentu. Mungkin ke depannya ku usahakan update di jam yang sama setiap hari.
"Fani gak ada di rumah gue Chan, emang kenapa?" Setelah mendengar jawaban dari Rain, Chandra terlihat cemas. Fani bukanlah anak yang terbiasa keluar malam, jika terpaksa keluar pasti Chandra yang mengantarnya. "Chan?" Chandra baru tersadar bahwa sambungan teleponnya masih menyala. "Enggak apa-apa Ra," ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon itu. Tidak hanya menelepon Rain, Chandra juga menelepon teman-teman Fani, namun jawaban mereka semua sama, Fani tidak ada di sana. Chandra tetap mencoba berpikir positif, mungkin saja Fani berjalan-jalan di sekitar komplek. Chandra akhirnya berjalan menuju garasi dan mengeluarkan motornya. Setelah keluar dari rumahnya, Chandra mengendarai motornya dengan perlahan dan melihat ke kanan dan kiri berharap Fani ada di sana. Tak terasa, Chandra sudah mengelilingi komplek. Ia semakin khawatir karena tak mendapati Fani di sana. Chandra terus mencoba membuang pikiran negatifnya dan memilih mencari ke luar komplek. Cukup jauh dari kompleknya, Chan
Fani membuka matanya saat mencium aroma masakan yang menyeruak begitu wangi. Ia segera beranjak dan berjalan menuju dapur. Saat sampai di dapur, ia melihat Chandra sedang sibuk mengaduk masakannya. Fani tersenyum melihat Chandra memakai celemek merah jambu dengan motif hello kitty. Dengan langkah pelan ia menghampiri Chandra dan berniat mengejutkan lelaki itu, namun usahanya ternyata telah diketahui Chandra. "Kenapa?" tanya Chandra tanpa melihat Fani. Fani berdecak karena ketahuan. "Tumben masak?" tanyanya. "Biar lo gak makan di rumah Tante Mira lagi." Lagi-lagi Chandra berkata tanpa melihat Fani. Tanpa berkata apapun Fani memeluk Chandra dari belakang. "Ih, ngapain peluk peluk, mandi sana! Bau tau." Fani melepaskan pelukannya dan memukul punggung Chandra. "Gue wangi tau!" "Air liur lo tuh bersihin dulu." Chandra tertawa. "Gue gak gitu ya, sok tau Lo." Fani terlihat kesal pada Chandra. "Udah-udah sana mandi. Nanti telat ke sekolah," peringat Chandra. "iya, bawel." Fani seg
Dengan langkah pelan, Fani berjalan membawa tas kecil berisi bajunya dan menuju rumah Rain. Fani melihat ke arah Khanza dan Rain yang sedari tadi menunggunya. Wajah Khanza terlihat sumringah, memang sedari awal dialah yang sangat gembira dengan rencana ini. Sampai di rumah Rain, Fani diminta untuk menaruh tasnya di kamar Rain, lalu turun untuk makan bersama. Selama makan, Fani beberapa kali bercanda dengan keluarga Rain. Ia sudah bisa mulai beradaptasi di sana. *** Suasana di kamar Rain menjadi lebih hangat karena kedatangan Fani. Rain sedari tadi menatap Fani dan tersenyum karena mengetahui Fani yang sudah mulai beradaptasi dengannya dan juga keluarganya. Rain tau rasanya menjadi Fani, ia pernah merasa tidak nyaman berada di lingkungan baru. Sebenarnya Rain merasa tidak enak pada Fani karena Khanza memaksanya menginap. Setelah mengetahui Fani merasa nyaman sekarang, Rain pun lega. Dilihatnya gadis 15 tahun itu sedang menatap layar laptop dan terlihat fokus menonton. "Lo kenapa Ra?
Chandra segera berpamitan pada Bunda Rain setelah mengetahui Fani berangkat bersama Rain dan Khanza. Setelah keluar dari komplek, Chandra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang ramai tidak ia pedulikan. Chandra dengan mudah berkendara di sela-sela kendaraan yang berjalan lambat. Beberapa kali ia mendapat teguran dari pengendara lain, tapi Chandra tidak menghiraukannya dan terus memacu motornya lebih cepat. Chandra baru menurukan kecepatan motornya saat sudah hampir sampai ke sekolah. Ia berhenti dan mematikan mesin motornya, lalu menuntunnya melewati satpam yang sedang bertugas. Tak lupa Chandra tersenyum dan menyapa satpam itu. Setelah melewati pos satpam, Chandra baru mengendarai kembali motornya dan membawanya ke parkiran. "Chan!" Chandra yang baru saja memarkirkan motornya langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Alif dengan senyum khasnya berjalan menghampirinya. "Kenapa Lif?" "Mau bareng ke kelas?" tawar Alif. Chandra mengangguk. Ia dan Alif mu
"Kenapa?" Juan bingung dengan sikap Chandra yang tiba-tiba berubah. "Gue selalu ngerepotin kalian." Juan tersenyum "Lo ngomong apa sih Chan, lo udah kita anggap kayak keluarga sendiri." Chandra membalas senyum Juan, meski perkataan Juan makin membuat Chandra merasa bersalah. "Chan, lo ga mau makan kue buatan Bunda? Rain juga bantu buat nih." Khanza langsung menarik Chandra mendekat ke arah Bunda Rain. "Iya Chan, yang lain udah makan, tinggal kamu yang belum." Bunda Rain mengambil satu potong kue yang telah di taruh di piring kecil, lalu menyodorkannya pada Chandra. "Mau disuapin?" "Engga usah Tante." Chandra mengambil potongan kue itu dari Bunda Rain dan mulai memakannya. "Enak Chan?" "Enak banget Tante," jawab Chandra dengan penuh semangat. *** Chandra menatap bingkisan-bingkisan yang tersusun rapi di atas meja. Tangannya terulur mengambil satu bingkisan berwarna hitam dengan hiasan pita berwarna merah. "Lo masih mau jahat sama kak Rain Bang?" Chandra tak menjawab, ia hany
"Monyet belang!" Alif terlonjak kaget karena Khanza tiba-tiba menggebrak meja kantin. "Lo kenapa sih Za!" marah Alif. "Kalo ada masalah bilang!" "Kalian yang kenapa. Dari tadi diem mulu. Ada apa sih?" Khanza menatap sengit Alif dan Chandra. "Udahlah Za, kalo mereka ga mau cerita jangan dipaksa," ujar Rain yang mencoba menengahi. "Bener tuh kata Rain," Alif menimpali. "Gue kayak gini kar…" Khanza menggantungkan kalimatnya saat melihat Chandra berdiri. "Kemana Chan?" tanya Alif "Ke perpus. Aku permisi ya. Jangan lupa makan ya Ra." Chandra berlalu meninggalkan ketiga temannya yang terlihat masih kebingungan. "Chandra kenapa sih Lif? Kayak beda gitu." Alif menjawab pertanyaan Khanza dengan gelengan kepala. "Belum juga makan tuh anak." Alif menatap punggung Chandra yang mulai menjauh. Secara tiba-tiba Rain pun berdiri. "Mau kemana Ra?" tanya Khanza. "Nyusul Chandra bentar," ucap Rain sembari berjalan meninggalkan Khanza dan Alif. Alif yang ingin berdiri dan menyusul Rain, langs
"Gue sedih karena udah mau pulang." Khanza memasukkan beberapa barangnya ke koper kecil yang ia bawa ke rumah Rain. "Gue enggak." Ucapan Rain membuat Khanza menghentikan kegiatannya. "Tega emang lo Ra. Kalo lo Fan? Lo sedih gak kalo gue pergi." Kini Khanza menatap Fani yang sedari tadi hanya diam di sebelah Rain. Fani menggeleng. "Kan kita bisa ketemu lagi kak." "Anj*r lah kalian berdua." Khanza kembali mengemas barangnya. "Lo aja yang lebay Za." Khanza hanya berdecak. Ia menyelesaikan kegiatannya lalu menutup kopernya dan duduk di depan Rain dan Fani. "Eh, Fan, sebelum gue lupa, gue mau tanya. Itu tangan Chandra kenapa sih?" "Tangan?" "Iya, luka gitu kenapa?" Fani diam, ia mencari alasan yang tepat untuk diberikan pada Rain dan Khanza. Chandra sudah memperingatkannya agar tidak menceritakan kejadian semalam. "Emang Bang Chandra gak cerita?" Khanza menghelas nafas. "Kalo Chandra cerita, gak mungkin gue nanya sama lo, Fan. Tapi Alif bilang Chandra mukul kecoak, gak logis bang
Chandra membuka pintu kamar Fani sedikit. Ia melihat adiknya itu tertidur di meja belajarnya. Chandra langsung masuk lalu menggendong adiknya ke tempat tidur. Setelah menyelimuti Fani, ia mencium pucuk kepala gadis itu. "Gue pergi bentar ya, gak akan pulang pagi kok," ucapnya. Tak ada respon dari Fani. Chandra tersenyum menatap adiknya dan sekali lagi mencium pucuk kepalanya, kemudian Chandra berjalan keluar kamar Fani. Chandra melihat jam di pergelangan tangannya. "Baru jam sebelas." Dengan langkah santai ia berjalan menuju garasi. Kali ini ia kembali menggunakan motor yang sama dengan yang biasa dirinya pakai untuk mengantarkan Rain. Chandra malas mengeluarkan motornya yang lain, jadi ia memilih motor matic itu. Baru juga menaiki motornya, Chandra dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ia berdecak kemudian mengambil ponsel dari sakunya. Dahinya mengernyit saat mendapati sebuah nomor tidak dikenal yang meneleponnya. Tanpa pikir panjang Chandra mengangkat panggilan tersebut. "C