Share

1. Aurora Jasmeen

Beberapa bulan sebelumnya...

--

"Panggilan kepada siswi 11-MIPA3, Aurora Jasmeen, untuk segera datang ke ruang BK."

Siang itu harusnya menjadi siang yang indah.

Harusnya...

Kalau saja suara itu tidak terdengar, kalau saja suara dari pengeras yang ada di tiap kelas itu tak berbunyi dan menyebut nama sang protagonis, pasti dunia akan lebih damai.

Kalau saj—

Wait wait wait!

Protagonis?

Who?

Suasana kelas yang sepi karena ada pada masa istirahat seketika kian jadi sepi.

Seorang gadis yang tengah menenggelamkan muka ke atas meja itu sontak mendongak. Rambutnya sedikit berantakan, wajah imut lengkap dengan poni depan itu terlihat datar sekali.

Barusaja bangun tidur.

Apa dunia ini tidak punya simpati? Kenapa langsung mengirim petaka pada anak gadis yang baru bersua mimpi?

"Yang namanya Orora Melati mana orangnya?"

Aurora melirik sedikit ke arah kanan, tepatnya pada siswi berseragam yang mempunyai wajah kebarat-baratan. Asmeralda sudah sejak orok menyandang gelar sebagai sahabat Aurora. Tapi apa pentingnya, setelah remaja dia cuma peduli dengan dunia fangirling yang diagungkan. Mendengar sahabatnya dipanggil orang Bimbingan konseling saja dia acuh bukan main.

Aurora menggaruk pelan puncak kepalanya.

"Gua?" beo Aurora.

Alda pun segera mengangkat wajah, gadis blasteran itu memutar mata jengah lengkap dengan desah kecil keluar dari mulutnya.

"Iya, di sekolah ini cuma lo yang punya nama gabungan dua princess Disney," balas Alda. Menolerir loading lambat karena tau kalau nyawa Aurora belum terkumpul sepenuhnya.

Aurora mengedip lambat. Ia kemudian menguap sebebasnya, lengkap dengan tangan terangkat melakukan peregangan.

"Iya ya, gue doang ya," celetuk Aurora lagi.

Sedangkan Alda menggelengkan kepala, kembali menunduk untuk bermain dengan ponselnya. Mungkin sedang streaming music video atau apalah itu, sudah Aurora bilang kan, dia tidak lebih penting dari manusia gepeng di ponsel itu.

"BK?" beo Aurora lagi.

Asmeralda mendesah. "Gue bawa penyedot conge deh kayaknya."

Sejatinya Aurora sudah sadar, ia pun tidak benar-benar tidur tadi. Hanya saja, Aurora enggan percaya, masa sih, BK lagi?

"Iya elo, Rora!" geram Alda kemudian.

Aurora mendecak malas. "Kok gue dipanggil lagi, sih! Bosen banget ke sana mulu."

"Kalo nggak mau dipanggil ya jangan berulah!" selak Alda. "Emang kali ini apalagi sih, Ra? Sampe bosen gue dengar pengumuman tapi yang keluar nama Lo bae."

Mata kucing Aurora melebar, Alda berkata 'kali ini apalagi' seolah-olah Aurora memang biang kerok di sekolah.

Padahal mah... Iya.

Eh tidak tidak.

Maksudnya, tidak hari ini.

Aurora menggeleng dengan bibir mengerucut. Poni depan yang ia punya ikut bergerak seiring bergeraknya kepala gadis itu.

Orang tidak akan percaya biang kerok sekolah punya tampilan seimut dan serapih ini.

Lihat saja, rok abu-abu yang digunakan Aurora tidak pernah lebih tinggi daripada lutut, seragamnya pas sesuai ukuran, dasi tidak pernah tidak tersemat di lehernya.

Wajahnya yang lugu dan lucu merupakan sebuah kamuflase paling gila di abad ini.

"Gue hari ini punya konsep jadi Goodgirl, sumpah, nggak ngapa-ngapain. For real, gue diem aja dari pagi," bantah Aurora tak terima.

"Mungkin ini soal kejahatan Lo kemarin-kemarin yang baru terungkap hari ini," cetus Alda. Si bule kemudian mendecak. "Sana cepetan!"

Mau tak mau Aurora pun bergerak dari kursinya.

"Ilernya hapus dulu ilernya," celetuk Alda geli, ia tau Aurora sebal sekali kalau hari damainya diganggu, padahal baginya mempunyai satu hari damai saja sudah sulit.

Aurora mengambil cermin kecil dari saku seragamnya.

Berkaca. Eh, mana iler? Gak ada iler tuh. Yang ada cuma kecantikan hakiki.

Merasa ada yang kurang Aurora pun mengeluarkan liptint, memakainya tipis, lalu ia juga merapihkan rambut. Setelah selesai Aurora menyimpan kembali cermin dan liptint itu ke dalam saku.

Ke BK juga harus all out, Bestie.

"Aurora Jasmeen here," sapa Aurora saat baru menginjakan kaki di ambang pintu ruang BK.

Tak terdengar ada yang membalas, Aurora pun celingukan, kepalanya menyortir isi di ruang disiplin tersebut.

"Masuk, Rora. Kayak baru pertama kali aja," ucap seseorang dari arah belakang.

Seorang wanita berkerudung melintasi pintu sembari berkata, dia melintas tanpa melirik Aurora sama sekali, terlampau santai, menggunakan pantofel hitamnya ke meja kebesaran.

Aurora pun memejamkan mata. Dia melipat bibir ke dalam mulut, lalu mendesah melas.

Sumpah deh, Aurora tidak merasa kalau dia berbuat dosa hari ini, jadi memang clueless betul.

Aurora pun mengikuti langkah wanita berkerudung tadi. Berdiri di depan meja dengan mata mengedip polos, seakan memang menunggu vonisnya keluar.

Namun Bu Lasmi tidak mengatakan apapun, cuma menatap Aurora, seperti sedang menunggu Aurora mengatakan sesuatu, atau mungkin sedang merenungi diri betapa bosan ia melihat bocah ini kembali.

Membuat Aurora mengedip lagi, ia seketika menciptakan senyum manis.

"Ada perlu apa, ya Bu Lasmi yang cantik," kata Aurora dengan senyumnya. "Baru kemarin kita ketemu sekarang udah kangen lagi?"

Tanpa ba-bi-bu Bu Lasmi menghempaskan sebuah bacaan ke atas meja.

Dan saat itu, senyum di wajah Aurora otomatis memudar.

Mati.

"Punya kamu?" tanya Bu Lasmi lagi, berbanding terbalik dengan suaranya yang ramah, Aurora paling tau kalau guru BK ini tidak ada ramah-ramahnya saat memberi hukuman.

Aurora mengerling ragu.

Bukan Bu, itu punya mama saya.

Bu Lasmi tentu tak akan mengatakan apapun lagi kalau Aurora belum memberikan jawaban atas pertanyaannya.

Maka tak ada pilihan lain.

"W-wih!" pekik Auora antusias. Gadis yang aktingnya punya skor bintang tujuh itu meraih majalah fashion milik ibunya. "Vogue edisi terbatas kan ini! Wah ibu tau dari mana saya lagi pengen majalah ini? Kado buat saya ya Bu? So sweet, makasih ya Bu Lasmi yang cantik. Saya permisi dul—"

"Jadi beneran punya kamu, Rora?" potong wanita berkerudung itu, jengah. "Lagi?"

Bayang-bayang dirinya menggosok lantai kamar mandi perempuan membuat Aurora bergidik.

Ogah!

Aurora menggeleng. "Bu-bukan, bukan punya saya."

Bu Lasmi membalas lagi. "Tapi Cassy bilang kalo ini punya kamu,"

Cassy bego!

Aurora hampir lupa kalau ia memang meminjamkan majalah ini ke Cassandra—anak kelas sebelah beberapa hari lalu, dan jelas-jelas mereka saling pinjam item begini di luar sekolah. Kenapa dia bawa ke sekolah, sih!

"Dan seperti biasa, Dante yang kasih ini ke ibu."

Dante anj—

Eh tidak kenal, jadi Aurora tidak bisa mengumpatinya.

"Yang punya dan berani bawa hal-hal fancy begini ke sekolah sejauh yang ibu tau ya cuma kamu."

Aurora terdiam.

"Tapi kalo bukan punya kamu ya sudah. Itu berarti majalah ini bukan milik siapa-siapa... "

Aurora mengedip... tumben sekali ini orang. Meski sedikit mencurigakan tapi kalimat bu Lasmi tadi agak membuat petir di batin Aurora berkurang.

Aurora menarik napas, dan menghembuskannya lega.

"... jadi kalau nanti disobek-sobek, dibakar, dibuang, dijadiin bungkusan tempe nggak akan ada yang kehilangan."

Aurora tidak jadi lega.

Kan. Sudah ketebak. Pasti begini deh. Tidak mungkin penghuni BK tiba-tiba baik hati begini.

"Kamu boleh pergi," ujar Bu Lasmi kemudian merampas majalah yang semula ada di tangan Aurora.

Aurora mendelik.

Mati gue! Mati!

"Tapi Bu—"

"Ada lagi Aurora?" tanya Bu Lasmi.

Let's berpura-pura Aurora.

"Bu—" Aurora menetralkan wajah, dia tidak boleh terlihat panik. Menekan kepanikan Aurora pun tersenyum kian manis. "Daripada dibakar kan sayang nih, boleh saya beli aja?"

Bu Lasmi balas tersenyum. "Kamu tau kan saya nggak menjual barang sitaan?"

"Ibu juga tau kan saya demen beginian?" Aurora pun mencondongkan badan, mendekat, berniat membuat kesepakatan. "Jual ke saya aja ya Bu, nggak akan kasih tau siapa-siapa kok. Berapa aja harganya gak papa. Saya kaya, bisa jaga rahasia juga. No sell and tell."

Karena Aurora bersumpah. Daripada hukuman menggosok lantai toilet, bayang-bayang wajah Mama yang mengamuk karena sadar koleksi majalah kesayangannya hilang satu lebih membuat Aurora ingin terjun ke palung paling dalam.

"Ibu juga kenal orang yang demen hal begini," balas Bu Lasmi, dia tersenyum, juga menekan kata 'demen' yang sebelumnya diucapkan Aurora. "Lebih rich dari kamu. Jelas dia mau bayar lebih mahal daripada harga yang kamu tawarkan."

Alda tidak suka hal sejenis ini. Dan menangnya ada siswi yang lebih kaya dari Aurora selain Alda?

Lalu penghuni BK itu menaikan tangan yang menggenggam ponsel ke telinga.

"Selamat siang ibu Janela,"

Cepu!

Aurora kehilangan kata-kata.

Tapi bruh. Ini bukan saat yang tepat untuk marah. Maka Aurora menampilkan wajah memelas. Kini tak lagi mau berpura-pura, dia menggelengkan kepala memohon agar Bu Lasmi tidak mengatakan apapun.

Tapi seperti dugaan, Bu Lasmi mengabaikan.

"Aurora membawa majalah dan berbagai tabloid ke sekolah, ini sudah yang ke... maaf saya lupa, sudah kesekian kali, dan saya yakin ibu tau kalau hal ini merupakan sebuah pelanggaran," kata Bu Lasmi lagi.

Pelanggaran my ass! Dulu waktu kelas satu juga tidak apa-apa! Sejak ketua OSIS ganti saja semua hal serba dilarang.

Dasar Dante anjing!

Masa bodoh! Tidak kenal tapi kehadiran dan cupunya bikin kesal setengah mati maka dia patut disumpahi.

"Vogue Australia edisi summer kiss 2015, saya percaya kalau majalah ini milik ibu. Benar? Oh, Tidak apa-apa Bu, anak-anak biasa bertingkah seperti ini, larangan sama dengan perintah, jadi saya menunggu kehadiran ibu di sekolah siang ini ya Bu. Terimakasih."

Bu Lasmi menurunkan ponselnya.

"Kamu boleh kembali ke kelas," pungkasnya pada Aurora.

Aurora tidak menangkap apapun dari percakapan panjang antar guru dan ibunya tadi. Yang jelas, ia menangkap satu hal. Mama akan datang ke sekolah beberapa saat lagi.

Aurora yakin kalau hal itu tidak akan baik untuknya. Kehadiran Mama sama dengan petaka!

Segera Aurora keluar dari ruang BK setelah menunduk sopan pada Bu Lasmi. Wajah masam gadis manis itu terpampang nyata.

Jadi apa bulan ini uang jajan akan dipotong lagi?

"Rora, tadi dicariin Cassy," celetuk seorang siswi yang sedang melintas, Aurora memang mengenal banyak orang, bisa dibilang ia mempunyai relasi bagus dalam pertemanan di sekolah.

"Di mana?" tanya Aurora balik.

"Di taman belakang, nggak tau sekarang masih di sana atau enggak."

Aurora pun membuat satu senyum. "Oke, thank you, Dea!"

Langkah berbalut converse hitam milik Aurora melaju cepat, ingin segera berlabuh di rerumputan taman belakang, setidaknya mungkin setelah menonyor kepala Cassy suasana hati Aurora bisa jadi lebih baik.

Namun belum juga Aurora sampai, saat langkah kaki gadis berponi depan itu baru sampai di ujung koridor kehadiran seseorang mencuri perhatiannya.

Murid laki-laki, dia tinggi, badannya juga terlihat fit, menggunakan kacamata dengan frame tipis khas dirinya, berjalan santai dengan garis bibir lurus, dan Dante bukanlah Dante Andromeda kalau tidak ada buku di tangannya.

Orang yang selalu Aurora dengar namanya.

Mereka teman satu angkatan. Pernah satu kelas waktu kelas satu, tetapi berbicara pun tak pernah, apalagi saling sapa. Tidak pernah sama sekali.

Aurora sampai heran kenapa Dante harus melaporkan dirinya ke BK berulang kali. Seingat Aurora ia tidak pernah membuat masalah dengan Nerd satu itu, jadi kenapa dia menyulitkan hidup Aurora?

Dante tampak berhenti melangkah saat seorang siswi tiba-tiba berdiri di depan tubuhnya, menyodorkan satu buah kotak berpita dengan warna merah muda.

Aurora melihat tontonan itu dalam diam, tangannya bersidakep. Dari jarak ini ia tidak mendengar banyak, tapi tanpa mendengar pun Aurora bisa tau sebuah pengakuan perasaan sedang berlangsung di tanah sana.

"Jumlah semua bilangan ganjil antara lima puluh dan seratus?"

Aurora mengedip, otaknya tiba-tiba saja jadi berpikir atas pertanyaan Dante tersebut kendati jelas ia tidak akan tau jawaban yang benar.

Eh sebentar. Kok jadi kuis tanya jawab?

Lalu si siswi berambut pendek sebahu itu terlihat berpikir, kelihatan sekali dia gugup.

Setelah beberapa detik berpikir Aurora pun menyirit saat dirinya menyadari sesuatu. Aurora menganga. "Dia tanya itu seriusan? Kuis dadakan dulu baru bisa jadi pacarnya?"

Siswi yang tadi mengutarakan perasaan pada Dante terlihat kian menunduk, sementara kotak berpita merah muda yang dibawanya digenggam erat-erat. Dante tak menerimanya.

Lalu dengan kelewat santai Dante melanjutkan langkah. Seakan tidak ada hal yang terjadi.

"Ih najis mending jomblo seumur hidup, daripada pacaran tapi begitu sistemnya," desis Aurora dengan suara lirih yang cuma bisa didengarnya sendiri.

Mata bulat dengan sudut runcing milik Aurora kian menyipit. Apalagi ketika lelaki yang terang-terangan dipandangnya kian dekat.

Dante melihat Aurora. Mereka sempat saling pandang beberapa detik. Sebelum kemudian mata tajam cowok itu melengos tak peduli.

Dan ketika punggung Dante menjauh, Aurora tak urung menatap punggung itu.

Sudah jelas Dante tau siapa Aurora. Tapi dia berlagak tidak tau. Mereka hanya tau nama masing-masing, menjadi musuh bahkan tanpa pernah mendengar suara satu sama lain.

Dan tiba-tiba bel masuk berbunyi.

Aurora mendesah. Ia sampai terlupa niat untuk bertemu Cassy dan malah hanya berdiri di koridor ini.

Nyatanya hari damai bagi Aurora memang tidak ada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status