"Mau kemana?" tanya Alda sembari mengikuti gerak-gerik tubuh gadis di depannya.
Pertanyaan itu terdengar saat Aurora barusaja kembali ke dalam kelas. Kelas juga masih ramai, bell baru saja berbunyi dan guru belum ada yang masuk.
Mungkin sedang dalam perjalanan, jadi Aurora harus cepat-cepat.
Benar. Setelah menempuh pemikiran panjang, Aurora akhirnya memutuskan apa yang akan ia lakukan.
Gadis manis berponi depan itu menjawab tanpa menoleh pada sahabatnya.
"Mau ngelabrak Cassy. Dasar bocah bego! Idiot! Ngumpetin begituan aja kaga bisa. Hih! Udah sukur gue pinjemin!" selak Aurora bersama emosinya yang belum stabil.
Asmeralda menganggukan kepala. Ia mengerti. Aurora memang bukan orang dermawan, dia tidak memaafkan secara cuma-cuma bahkan untuk hal kecil sekalipun. Hal serupa ini sudah pernah terjadi, dan yang pasti nanti Aurora dan Cassy akan bertengkar, setelah bertengkar mereka bertiga akan kembali bermain bersama lagi.
Sudah biasa.
"Terus ngapain beres-beres tas?" tanya Alda lagi, sembari terus menscrol ponsel di tangannya.
Untuk hal yang satu ini tidak bisa dia mengerti, kenapa ngelabrak harus pakai beres-beres buku dan membawa tas?
Aurora menyeleting tas hitamnya dan memakai tas itu di punggung.
"Habis ngelabrak langsung minggat lah, Onty Jeje kesayangan Lo itu mau dateng kemari, Alda! Gue nggak mau mati diblender sama mamih!" sahut Aurora ngeri.
Membuat teman-temannya tau kalau ia adalah anak Janela Sarasvati merupakan hal terakhir yang Aurora inginkan.
Aurora bahkan jarang bertemu Mama saat di rumah, kalau sampai pertemuan pertama mereka setelah beberapa hari adalah di ruang BK, ow Aurora tidak bisa membayangkan betapa ironinya.
Aurora mengerti, sebagai anak yang dua orang tuanya sibuk berbisnis, ia tidak berharap banyak, rumah bukanlah tempat indah baginya, bisa berkumpul saat Natal saja sudah cukup.
Aurora tak lagi membutuhkan kasih sayang sebanyak itu, ia juga tidak akan menciptakan drama layaknya anak broken home kebanyakan, Aurora telah melewati masa remaja, berkat bantuan Asmeralda, Cassy dan teman-teman lainnya, masa muda Aurora menjadi lebih berwarna. Dan soal keluarga, Aurora punya, jadi ya sudah sebatas itu saja.
Alda mendecak keras mendengar ucapan sahabatnya. Dia mengalihkan pandangan mata saking tak terima dengan apa yang Aurora katakan.
"Onty Jeje nggak galak kok, lo paniknya kayak mau ketemu tukang tembak dari Nusa kambangan," balas Alda. "Kalo Lo bolos, justru dia bakal marah beneran nantinya."
Aurora menghela napas. "Jadi menurut Lo Mama gue baik?"
"Ya emang baik," sahut Alda.
"Iya baik sama lo! Sama gue kaya Tukang Ospek!" selak Aurora sebal. Aurora mengangkat kaki ke atas kursi, mengencangkan tali sepatu yang terlihat kendur.
Mau panjat tembok belakang sekolah, pastinya harus banyak persiapan.
"Ya Lo tingkahnya ada mulu sih!" Alda membalas tak kalah sebal. Teman Aurora sejak bayi itu mendecak lagi. "Jangan minggat deh percaya sama gue,"
Aurora mengabaikannya. Dia bergegas mengencangkan tali sepatu di kaki yang lainnya.
"Lagian kalo Lo minggat, mau kemana?"
Sekarang Alda jadi takut, karena Aurora terlihat bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Aurora tidak pernah bolos sebelum ini, dia memang susah diatur, namun Alda yakin Aurora tak punya keberanian sebesar itu untuk lari dari sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung.
Namun melihat Aurora lagi, Alda jadi semakin ragu. Mungkin waktu sudah membuat keberanian Aurora jadi lebih tinggi.
Alda ikut berdiri, membiarkan badan tingginya terlihat menjulang, bahkan ponselnya sudah lepas dari tangan.
Dia betulan mau bolos! Bocah gendeng!
"Ke rumah eyang?" tanya Alda lagi, dia terus bertanya. "Atau ke rumah Tante Lili? Mau ke mana? Nanti pasti Mama Lo tanya ke gue, Rora."
Aurora menoleh tak percaya. "Rumah eyang lebih parah! Mana ada gue kabur dari Mama tapi lari ke Eyang."
"Terus mau ke mana?"
Aurora tidak membalas. Dia malah sibuk mengeluarkan cermin kecil dari saku seragamnya, membetulkan poni anti badai dan ikat rambut yang sedikit berantakan.
Alda makin was-was kalau begini.
Mata Asmeralda membola. Gadis bule itu punya tebakan dalam kepalanya.
"Jangan bilang..." bisik Alda pelan, matanya horror menatap Aurora. Berharap kalau apa yang dipikirkannya salah.
Sementara Aurora bersenandung kecil, dia sudah memastikan penampilannya baik, memasukan kembali cermin miliknya ke dalam saku.
Lalu Aurora tersenyum lebar, sampai gusinya terlihat, manis sekali.
"Tidak ada yang lebih aman di dunia ini daripada mansion Foster Bagaskara," ujar Aurora.
Setelah mengatakan itu Aurora melangkah menjauh. Bersama dengan satu lambaian tangan dan kecup melalui udara. Pertanyaan teman sekelas tak dihiraukan. Aurora hanya menjawab dengan kiss bye yang dramatis.
"Rora!" teriak Alda tak habis pikir. "Mommy bilang rumah gue overboden kalo dilewatin elo! Jangan bolos ke rumah gue, bangke!"
Alda sudah merahasiakan ini dari Aurora. Demi ketentraman hidup dan suasana rumahnya. Namun sepertinya akan terbongkar.
Beberapa hari yang lalu kakak laki-laki Alda pulang dari Australia setelah beberapa semester menetap di sana.
Dan bukan lagi rahasia kalau Aurora Jasmeen tergila-gila dengan kakak Asmeralda. Antares Bagaskara.
--
Aurora tidak jadi melabrak Cassy. Bocah sialan itu pura-pura tuli saat Aurora memanggilnya dari luar kelas, padahal jelas-jelas Cassy melihat Aurora, ia juga tidak bisa sembarangan masuk berhubung kelas Cassy sudah ada guru yang mengajar, Aurora jadi tidak biasa berbuat banyak. Ia akan menyimpan dendam ini dalam hati dan akan membalaskannya esok hari. Sekarang. Eksekusi rencana ke dua. Minggat. Kalian tau, akan selalu ada pertama untuk semua hal. Begitu juga dengan kenakalan. Ini merupakan kali pertama Aurora melakukan rencana bolos, biasanya cuma di bibir saja karena terlalu takut ketahuan dan takut terkena karma. Tapi sekarang? Apa pentingnya karma. Saat menghindar dari Mama Janela merupakan prioritas utama. Aurora sampai rela menyerah pada Cassy hanya untuk rencana minggatnya kali ini. Jantung Aurora sampai berdebar, ia suka dengan hal yang menantang begini. Sehabis dari kelas Cassy, Aurora tak menunda langkah untuk pergi ke belakang sekolah. Dengan langkah yang dibuat sena
Dulu sekali waktu masih duduk di bangku SD, Aurora pernah melakukan hal yang melakukan hal yang lebih nekat daripada yang dilakukannya sekarang. Mungkin, daripada nekat, hal yang dilakukan Aurora ini lebih mengarah pada kekurang ajaran.Terberkatilah Mama dan Papa, entah apa yang dilakukan mereka saat masih muda. Yang jelas mereka bertanggung jawab kenapa Aurora bisa mempunyai watak seminus ini.Membuat contekan saat ujian akhir semester agaknya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, tentu, kalau kamu sudah sedikit lebih dewasa dari anak-anak, tetapi waktu itu Aurora masih kelas lima. Dia membawa masuk lima baris jawaban kisi-kisi dari murid paling pintar di kelasnya- A.K.A Asmeralda, katanya kemungkinan besar soal-soal yang Alda tunjuk akan keluar dalam ulangan yang akan datang itu.Tentu saja Aurora tak mau rugi. Menghafal? Tidak mungkin, belajar dan mempelajarinya? Apa lagi itu. Jadi satu-satunya jalan agar kisi-kisi dari Alda tidak mubazir adalah dengan membuat contekan.Aurora me
-- Hidup memang kadang susah. Namun, bukankah Aurora masih terlalu muda untuk memikirkan hidup? Baru tujuh belas. Bisakah pikiran tentang tetek bengek kehidupan itu datang nanti saja saat Aurora sudah dewasa? Sekarang ini, Aurora cuma ingin main-main saja. Ia tidak mau bersedih-sedih putus cinta apa lagi kalau sampai berakhir dengan berpikir soal keadilan yang diberikan dunia. Kenapa sih gue harus punya otak thinkerbell begini, nyusahin aja! Setiap hal yang dilakukan tentu punya resiko, dan Aurora tidak buta, ia tau resiko menyukai seseorang, sejak awal pun ia tau Ares sedikit banyak keberatan dengan fakta bahwa Aurora menyukainya. Jadi bisa dibilang, Aurora sudah membayangkan hal ini sebelumnya. Sakit? Tentu. Aurora tidak mungkin tidak merasa sakit saat Ares yang notabenenya laki-laki paling ia suka dan ia percayai mengatakan kalimat sekasar itu padanya. Namun, seperti biasa, kesedihan Aurora akan disimpan dalam diam, ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Dan kembali mencari ke
"Janela yang kemarin datang itu beneran nyokap lo, Ra?"Tuh, kan.Seperti yang sudah Aurora perkirakan sebelumnya. Teman-teman sekelas akan menggila saat tau kalau Janela yang itu adalah ibu kandungnya.Bukan cuma sekedar firasat percuma, Aurora sudah pernah menjalani hari-hari seperti ini saat masih SMP. Menjadi putri dari Janela Sarasvati yang namanya wara-wiri muncul di TV sedikit banyak memang merepotkan.Aurora yang sedari tadi sibuk melukis kuku jemarinya menggunakan kutek mengkilap berwarna biru laut juga kuning itu cuma melanjutkan kegiatannya dengan tenang.Menyapu kuas ke atas kuku dengan rapih, tidak melewati garis kuku atau mencoret kulit jemari. Setelah selesai Aurora meniup kuku-kukunya dengan angin yang pelan, matanya berbinar memandang jemari manis yang baru dibumbui warna beken semester baru itu."Mama kandung, Ra? Serius?" tanya Bian- teman satu kelas Aurora lagi. Seakan tidak menyangka Aurora yang Badung dan lenjeh ini adalah putri kandung Janela yang terkenal ramah
-- Setelah cuma diam setelah menerima perlakuan tidak mengenakan yang diterimanya beberapa detik lalu, Dante Andromeda masih harus melawan keterkejutannya sendiri saat tanpa aba-aba Aurora Jasmeen menarik dasi abu-abu yang ia pakai. Menarik. Secara harfiah. Ditarik sambil dibawa bergerak jalan. Percayalah. Dante tidak pernah diperlakukan demikian. Membayangkannya saja tidak sekalipun. Serius? Diseret-seret sepanjang koridor sekolah. Dante melepas jemari lentik berkutek biru milik Aurora yang dari tadi berhasrat sekali mencengkram dasinya. Wajah cowok berkacamata itu super duper datar. Dia bercanda atau memang sebal saja? Tetapi Dante pikir sepertinya mereka tidak sedekat itu untuk bercanda dan tidak semusuh itu untuk beraksi terlampau memalukan seperti ini. Gadis manis berseragam putih itu sontak berhenti melangkah, yang cantik bermata kucing khas itu sekilas menyirit tak suka. Berbalik menatap laki-laki tinggi yang berdiri di belakangnya dengan muka dingin. "Jangan tarik-tarik
"Kali ini lu mau polah apa lagi, Orora?"Selak frustasi terdengar menggelegar dari mulut cewek blasteran yang masih berdiri di ambang pintu kamar Aurora bersama dua gelas air es di tangan.Aurora terperanjat saking kagetnya. Gadis cantik yang sedang sibuk mencari posisi aman untuk menjemur sapu tangan itu menoleh dengan mata membola, Aurora buru-buru menyelampirkan sapu tangan basah itu ke punggung kursi dan setelah itu ia langsung berpindah dari teras kamarnya menuju ranjang.Aurora bersumpah ia tidak pernah keberatan Alda atau Cassy berteriak sembarangan di rumahnya yang tidak ada orang ini. Tetapi baiknya pakai aba-aba dulu, dong! Kalau Aurora mati jantungan dia mau kuburkan?"Lo kalo teriak lagi gue usir ya!" ancam Aurora kosong.Sebagai tuan rumah yang baik, Aurora menyuruh Alda serta Cassy mengambil minum dan cemilan sendiri di dapur. Dan seperti yang diduga Cassy muncul dari belakang tubuh tinggi Alda membawa satu keranjang besar cemilan ringan.Alda mendekat dengan wajah gemas
-"Dante?" tanya Cassy balik, matanya menyipit sementara bibir penuhnya bergerak seakan siap mencibir. "Maksudnya Andante, kakel yang fakboy itu?"Sejujurnya Aurora sangsi, apakah bercerita mengenai Dante pada teman-temannya merupakan hal yang benar atau tidak.Sepertinya dunia belum tau, tapi Cassy itu alergi dengan cowok cupu. Cowok yang terlalu benar dan tidak tertarik untuk berbuat nakal, dan cowok yang suka mematuhi peraturan, itu arti cupu dalam kamus hidup Cassy. Dan agaknya Dante masuk ke dalam kategori cowok cupu yang dibenci oleh Cassy tersebut.Maka tidak heran, saat Aurora menyebutkan nama Dante, Cassy lebih dulu memikirkan Dante yang lain."Simulasi sih simulasi, tapi jangan pake pro juga. Bisa langsung mobrak-mabrik kalo sama dia, Rora," lanjut Cassy lagi dengan nada suara menggurui. "Gak ketulungan, ntar Lo susah dipuasin kalo perawan diambil suhu—"Aurora mengangkat tangan, matanya memejam."Cassy," potong Aurora.Aurora bahkan tidak tau kalau ada manusia lain yang ber
Setelah PROLOG--"Ditolak."Sayup suara burung gagak terdengar di telinga.Setelah mengatakan satu kata buruk tersebut laki-laki berkacamata yang tengah duduk di bangku taman itu dengan santainya membuka kembali buku yang tadi sedang ia baca, telunjuknya yang panjang terangkat sekilas untuk menaikan bingkai kacamata sebelum kemudian turun kembali, membaca dengan begitu tenang.Sesantai itu. Wajahnya juga seperti manusia yang tidak punya dosa. Seolah menolak perasaan anak gadis orang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.Aurora berhasil dibuat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya perempuan cantik itu menaikan satu alisnya tinggi-tinggi. "Ha?"Angin menerbangkan dedaunan kering, menemani hening dan rasa tak percaya seorang gadis tentang sesuatu yang baru didengarnya dua detik lalu.Ini merupakan kali pertama Aurora meminta seseorang untuk menjadi pacarnya.Dan orang itu adalah Dante Andromeda.Ares? Oh, Aurora selalu mengajak Ares menikah, bukan untuk jadi pacar, jadi jika dibilan