Mata hitam Xora yang pekat mencerminkan isi kotak : sebuah foto keluarga yang tersenyum dengan wanita cantik yang tengah hamil sebagai pusatnya; dua gaun berwarna merah dan putih, bersama aksesoris sarung tangan untuk masing-masing gaun; dua pasang sepatu heels; selembar amplop; satu kotak perhiasan; satu buah hiasan rambut yang terbuat dari emas murni, bentuknya bagaikan dua tangkai gandum dilekatkan.
Hal pertama yang diambil oleh Xora adalah sebuah amplop yang berisi tiga lembar surat. Matanya tertuju pada surat pertama dan menyisihkan surat kedua, serta surat ketiga ke belakangnya.
“St. Lavender, Metro Dav, 28 Juni, 2017.
“Untuk anakku tersayang di masa depan,
“Hadiah ini Ibu siapkan tanpa sepengetahuan ayahmu, karena Ibu mendapat sebuah peringatan dari dokter kalau Ibu tak akan bisa bertahan ketika melahirkanmu. Namun, Ibu tetap memilih untuk melahirkanmu, karena tau kamu akan menjadi sebuah permata kecil cantik, kuat dan sehat di bawah kasih sayang ayahmu.
“Jangan merasa bersalah atas kepergian Ibu, Nak. Ini adalah jalan yang Ibu pilih, karena ayahmu selalu merenggut pada Ibu setiap kali pulang kerja. Ia berbaring di pangkuan Ibu dan berkata, ‘Aku iri, ada seorang pekerja di kantorku yang bercerita kalau ia disambut anak perempuannya. Ia mengatakan kalau disambut oleh anak perempuan itu terasa begitu menyenangkan, jadi aku berharap kalau anak kelima kita ini adalah perempuan.’
“Kamu tau? Ayahmu benar-benar menantikanmu, sayang. Semua saudara-saudaramu pun begitu gembira, tapi yang paling gembira adalah kakak keempatmu---Damien---karena ia ingin menjadi seorang Kakak. Ia sampai menangis dan berkata kalau dirinya akan menjadi seorang kakak.
“Meskipun begitu, Gadis Kecil Ibu ini harus tau kalau yang paling menyayanginya adalah Ibunya. Ibu harus nomor satu, oke? Titik!”
Aku tidak ditinggalkan … aku disayang Ibuku … Ibu nomor satu di dunia, pikir Xora.
Air matanya mengalir dengan deras, tetapi senyumnya malah semakin mengembang dengan cantik karena menyadari bahwa ternyata keluarganya menyayanginya … sebelum ia merenggut nyawa sang Ibu.
Setiap kata yang terlampir dalam surat ini, penuh rasa cinta, kehangatan dan juga ketegasan, membuat Xora merasa sebuah tangan memeluk sosok dirinya yang masih kecil. Sosok yang terasa begitu hangat dan paling menyayanginya sehingga semua kesepian dan kesedihan yang tertumpuk dalam benaknya, langsung luluh lantak bagai air menguap karena panas.
Mungkin, bila Ibu masih hidup … Ibu akan marah untukku, menarik telinga mereka dan mengambek karena mereka telah mengabaikanku selama 18 tahun. Hehehe. Xora terkekeh di tengah isak tangis yang membuat napasnya terputus-putus.
Gadis itu segera menghapus air matanya, lalu terdiam sejenak sebelum beralih ke halaman selanjutnya yang masih penuh cinta dan kehangatan ….
“Melbourne Barat, 25 November 2017.
“Untuk Putri Kecilku yang Tersayang,
“Xora, Anakku, hari ini keluarga besar kita pergi berlibur ke sebuah negara di benua barat yang terkenal akan keindahan lautnya? Ibu merasa, kamu pasti akan suka laut. Suara deburan ombak yang terpecah oleh karang pantai terasa begitu menenangkan, cuit-cuitan burung camar yang berada di dermaga, serta aroma segar dari laut dan masih banyak lagi. Kamu pasti akan suka semuanya, Ibu jamin deh!
“26 November 2017. Keluarga kita berkunjung ke salah satu pantai. Ayahmu yang suka pamer dan sok kaya itu menyewa seluruh pantai untuk dinikmati oleh kita saja. Yah, Ayahmu memang kaya sih, jadi jangan ragu-ragu kalau mau beli barang, uang Ayahmu cukup kok.
“Kakak-kakakmu hari ini tersenyum cerah. Mereka menggali sebuah tempat dan memaksa Ayahmu untuk berbaring dan dikubur di dalam pasir, menyisakan kepalanya saja. Kemudian, Kakak-Kakakmu yang penuh ide itu membentuk badan putri duyung di atas Ayahmu. Hahahaha, Ibu tertawa lepas kali ini melihat tingkah Kakak-kakakmu itu.
“29 November 2017. Xora, anakku, kami sudah puas bermain di pantai dan berjalan-jalan Melbourne Mall. Kamu tau, Ibu jatuh cinta pada sebuah satu set perhiasan Ruby. Ketika kamu tumbuh cantik dan mengenakan perhiasan Fairy Tears ini, pasti indah. Oh iya, nama satu set perhiasan ini namanya Fairy Tears (Air Mata Peri) karena semua bentuknya mirip seperti tetesan air. Ini pasti bakal cocok di tubuh Putri Kecilku ….”
Waktu tanpa disadari mulai berlalu. Cahaya yang tadi masuk dengan begitu cerah, perlahan mulai redup ketika memasuki senja.
“Ibu mencintaiku.” Xora berkata dengan suara terisak, memeluk foto keluarga yang tampak begitu bahagia. Foto itu berisi Ayah dan keempat kakak laki-lakinya yang tersenyum, berbeda sekali dari wajah sekarang yang tampak dingin, tak berperasaan dan sinis.
Di lantai, barang-barang di atas kotak berceceran dengan kondisi rapi. Dua gaun bergaya gotik bersebelahan bersama sepatu dan sarung tangan masing-masing. Di kanan Xora, set gaun putih gotik bersama sepatu ankle strap heels putih, sarung tangan kulit transparan berwarna putih.
Di bagian kiri gadis itu, ada set gaun merah gotik bersama sepatu platform heels merah kulit dan tampak bersinar, disertai sarung tangan jala hitam bermotif mawar. Terakhir, ada sebuah hiasan kepala emas berbentuk gandum dan kapas di atas gaun.
Meletakkan kembali foto ke dalam kotak, Xora mengambil satu set gaun merah beserta permata Fairy Tears untuk dipakai. Sementara gaun putih gotik dan aksesorisnya disusun kembali ke dalam kotak.
Awalnya Xora kesulitan memakainya, tapi sistem kemudian membantu dan membuat gaun itu bergerak dengan sendirinya untuk menyesuaikan ukuran dengan tubuh Xora. Sambil mengenakan gaun bergaya gotik, ia berdiri di depan cermin dan melihat pantulan dirinya.
Seorang gadis berkulit putih bersih, mata bulat, rambut putih perak, begitu kontras dari gaun merah bergaya gotik setinggi lutut. Di telinganya, anting-anting berbentuk tetesan air Fairy Tears seukuran ibu jari bergelantungan dengan indah. Leher dan bahunya terekspos hingga memperlihatkan belahan dada. Di bagian kaki jenjangnya, sepatu heels platform berwarna merah mengkilat terpasang.
“Cantik.” Xora bergumam, membayangkan bahwa Ibunya pasti akan mengatakan itu jika ia melihat tampilannya di cermin itu.
Untungnya, Bi Nammy pernah membelikannya sepasang sepatu heels kecil sebelum dibuang karena patah sehabis dipakai Xora berlari-lari di taman. Waktu itu, kakinya terkilir dan ia menangis kencang, membuat Bi Nammy kerepotan.
Suara tawa kecil lolos dari bibir Xora, “Bi, aku mengenakan sepatu dari Ibu sekarang. Kali ini, aku tak akan berlari-lari seperti dulu lagi.”
Aku tak ingin melepasnya. Xora menghela napas panjang dan mengambil kotak tadi. Ia meletakkan surat di dalam kotak, sebelum ditutup dan disimpan di bawah kasur.
“Jangan buka pintu itu!”
Sebuah teriakan menggema di lorong depan kamar Xora. Sebelum pintu kamar tersebut dibuka secara tiba-tiba oleh seorang gadis berambut perak yang berkata, “Tapi aku penasaran Kak!”
Di dalam kamar, Xora membeku di tempat waktu pintu kamarnya dibuka tiba-tiba dan dimasukin oleh seorang gadis asing.
“Boneka?” Gadis berambut putih perak yang mirip seperti Xora itu berkata spontan ketika melihat Xora duduk di atas kasur sambil menoleh ke arahnya.
Trangg! Saat pedang Xora menyentuh bulu Poison Tongue Bird, pedang itu langsung terlempar jauh dari tangan Xora. "Apa yang terjadi? Kenapa aku tak bisa menebasnya?" lirih Xora dengan mata terbelalak. Di saat yang bersamaan, Poison Tongue Bird di hadapan Xora bergerak cepat untuk mencengkram tubuh Xora. Boom! Poison Tongue Bird itu mencengkram tubuh Xora, dan menghempasnya ke atas tanah dalam waktu singkat. Rasa sakit luar biasa pun menyerang punggung Xora. 'Sakit,' keluh Xora di dalam hati. Mata Xora melirik ke arah Poison Tongue Bird yang menghempasnya ke tanah. Ada kebencian yang tersorot jelas dari tatapan Xora. Dia kemudian beralih menatap pedangnya yang tergeletak cukup jauh. Xora berusaha mengabaikan rasa sakit pada punggungnya, lalu bangkit dan meraih pedang itu. Xora menatap Pedang Kutukan di genggamannya. 'Kenapa aku tidak bisa menebas mereka dengan mudah, seperti Flyor?' batin Xora bertanya-tanya. Dia merasa kecewa karena kemampuannya tidak seperti Flyor."Miss. U!" Teri
Flyor meraba bibirnya yang tengah tersenyum lebar."Akhir-akhir ini ... aku banyak tersenyum," gumam Flyor yang merasakan perbedaan drastis pada dirinya, setelah Xora datang. "Tapi sebelum itu, lebih baik aku segera menentukan latihan apa yang perlu diberikan kepada Miss. U," sambung Flyor sambil mencuci piring. ***Mentari mengangkasa dengan angkuh dan terik. Suasana sekitar terasa begitu panas, tapi tak berlaku bagi Xora yang duduk di bawah rindangnya pohon ketapang. Gadis itu mengangkat telapak tangannya ke depan wajah, lalu memandang mereka dengan ekspresi tak percaya. "Baru saja, aku mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali." Dia bergumam lirih dengan napas terengah-engah. [Notifikasi! Anda menyelesaikan Quest Tambahan!][Notifikasi! Anda mendapatkan item rahasia berupa 'Kalung Usang'.][Notifikasi! Anda mendapatkan bonus berupa 5 distribution point!]Kening Xora mengerut melihat panel di hadapannya. Dia berlatih sampai 3000 kali ayunan sampai setengah mati, tapi hanya mendapa
"Mengayunkan pedang sebanyak 2000 kali saja perlu waktu sampai sore. Apalagi 3000 pedang?" sambung Xora dengan intonasi tak percaya diri. Dia merasa tak yakin bisa menyelesaikan misi besok. Xora membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu menghela napas. "Jika seperti itu, aku harus bangun lebih pagi lagi," lirih Xora. Xora mulai menutup mata, dan mulai terlelap dalam mimpi.Pagi menjelang .... Flyor yang ada di kamarnya mulai terbangun. Dia segera beranjak dari kasur dan melangkah menuju dapur. 'Aku harus segera memasak, sebelum Miss U bangun,' batin Flyor. Dia dengan cepat berkutat di dapur, memasak menggunakan teknik dan bumbu dari tumbuhan di Dungeon. Menu utamanya adalah sup Jamur Dore. Jamur Dore adalah jamur Dungeon, yang bisa menambah stamina dan vitalitas tubuh. 'Ini cocok untuk dia yang akan berlatih mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali,' pikir Flyor.Flyor tersenyum kecil di sudut bibirnya, sambil meletakkan sup Jamur Dore itu di atas meja. Tak hanya sup Jamur Dore yang
Mendengar kata-kata itu, mulut Xora terbuka lebar. Sama dengan matanya yang terbelalak tak percaya.''Bukankah hukuman ini harusnya dikurangi?!' teriak Xora di dalam hati. "Apa itu masih berat untukmu?" Xora membeku di tempat, usai mendengar jawaban yang tak sesuai dengan harapannya. Melihat Xora membeku di tempat, Flyor kembali bertanya, "Apa itu masih berat untukmu?"Secara spontan, Xora langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak! Ini sudah cukup bagi saya!"Xora pun dengan sekuat tenaga mengangkat pedang itu, lalu mengayunkannya. Tetapi, belum sampai satu ayunan. Pedangnya langsung terjatuh dan lepas dari tangan Xora. 'Berat,' keluh Xora di dalam hatinya. Selama satu bulan Xora berlatih, total ayunan yang harus dicapai setiap harinya tidak berubah ... yaitu 2000 kali ayunan. Sayangnya, Xora tidak sekuat itu. Xora hanya mampu mencapai 1000 kali ayunan. Bahkan ketika di akhir bulan. Satu bulan berikutnya, Xora juga terus berlatih dan baru mencapai
Xora mendongkak menatap langit, yang dipenuhi dengan para Poison Tongue Bird. Para Poison Tongue Bird itu terbang ke sana ke mari, seperti menjaga pintu goa. Mendengar kalimat Xora, Flyor menoleh ke arah Xora yang berada di sampingnya. Flyor mengernyitkan alisnya dan bertanya, "Kaumenyebut Monster Burung itu dengan nama Poison Tongue Bird?" Xora menoleh dan mengangguk. "Ya," jawab Xora dengan senyum yang bisa dilihat oleh Flyor, karena dagu dan bibir Xora tidak ditutupi oleh topeng. "Seperti yang Anda katakan sebelumnya, air liur mereka mengandung racun. Makanya mereka dinamakan seperti itu," sambung Xora. Mata Flyor membola. 'Gadis ini benar-benar seorang Penyihir! Dia mengetahui segalanya, bahkan memberikan monster itu nama,' batin Flyor yang beralih menatap para Poison Tongue Bird. Flyor benar-benar salah paham terhadap Xora. "Bagaimana kita menyerangnya? Apakah Anda merasa yakin untuk melawan para Poison Tongue Bird itu?" Xora bertanya dan menoleh, menatap wajah Flyor. Flyor p
Dua panel notifikasi itu muncul di hadapan Xora, bertepatan ketika Flyor membelah tubuh monster yang tersisa di sekitar mereka. "Harus sampai seratus persen?" tanya Xora dengan nada yang sangat pelan. [Notifikasi! Benar!]Membaca notifikasi yang muncul di hadapannya, Xora membeku di tempat. 'Tadi ada banyak Monster yang dibunuh oleh Flyor, tapi, itu hanya sepuluh persennya saja?' batin Xora tak percaya. 'Memangnya, ada sebanyak apa Monster-monster di Dungeon ini?' sambung Xora bertanya-tanya. Dia mendongkakkan kepala menghadap langit yang berwarna biru cerah. "Miss U?" melihat Xora hanya berdiam di tempat sambil mendongkak menatap langit, tentu saja Flyor penasaran. Flyor memanggil nama samaran milik Xora, membuat Xora menoleh. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Flyor yang dipenuhi rasa penasaran. Tersadar dari lamunannya, Xora segera berdiri dari posisi duduk. "Ah, tidak. Saya tiba-tiba berpikir, berapa banyak waktu yang akan diperlukan jika ingin memusnahkan semua Monster di sini,"