Di belakangnya, seorang pemuda menyusul gadis tersebut dan ikut membeku saat melihat Xora yang memang secantik boneka tampak begitu unreal.
Sekilas, Xora langsung mengenali pemuda yang menyusul gadis itu. Ia memiliki rambut berwarna merah persis seperti sang Ayah. Wajahnya juga ada di foto keluarga tadi.
Damien Naravinata. Xora menyebutkan nama itu dalam hati.
Ia lalu beralih pada gadis berambut putih perak yang asing. Di dalam foto keluarga, semua kakaknya adalah laki-laki. Ia pun tak pernah melihat gadis itu di dalam bangunan utama sebelumnya. Bibir Xora terbuka, ingin menanyakan siapa gadis itu, tapi mulutnya tertutup kembali dengan rapat saat Damien tampak sangat perhatian dengan gadis itu.
Di dunia ini, hanya ada Ibu dan Bi Nammy yang peduli padaku … yang lain, tidak ada. Gadis itu menatap tajam pada Damien dan gadis yang membuka pintu. Aku akan pergi dari tempat ini, karena aku tak lagi punya tempat sejak Ibu meninggal waktu melahirkanku.
“Tidak, aku manusia. Putri dari Aletta Naravinata … Xora,” sahut Xora dengan percaya diri.
Tak ada alasan baginya untuk ragu menyebutkan nama Ibunya, Aletta Naravinata, sebab ia tahu dengan jelas bahwa sang Ibu sangat-sangat menyayanginya. Meskipun ayah dan para kakak laki-lakinya itu membenci ia karena telah merenggut sang Ibu.
“Siapa itu?” Alis gadis berambut perak itu berkerut, ia melirik Damien dengan sorot mata meminta penjelasan.
“Ibuku,” jawab Damien, singkat. Ia melangkah masuk dengan ekspresi wajah dingin dan marah, berhenti di depan Xora.
Plakk! Sebuah tamparan mendarat di pipi Xora dengan keras, meninggalkan sebuah lebam merah. Wajahnya hingga menoleh ke arah samping karena kerasnya tamparan itu.
“Jangan berani-beraninya kau menyebut nama Ibuku, Gadis Sialan!
“Dari mana anting-anting ini?”
Tanpa sedikit pun belas kasihan, pemuda yang tampak kisaran umur 20 tahun itu menarik anting-anting Fairy Tears dari telinga Xora dengan keras. Darah pun mengucur deras karena daun telinganya robek karena anting-anting kanan itu ditarik dengan paksa.
“Argh!” Xora berteriak sakit ketika anting-anting telinga kanannya ditarik paksa hingga robek. Ia bahkan sampai mengambil langkah mundur dan terjatuh ke kasur dalam posisi duduk. Matanya berkaca-kaca, menahan sakit dan tangis dari telinga yang berkedut-kedut perih.
“Itu anting-antingku.” Dengan suara bergetar, Xora menjawab dan mengangkat kepala untuk melihat ke arah Damien. “Bajingan!”
“Damien! Hentikan!” Gadis berambut perak tadi segera berlari saat ia sadar dari rasa kagetnya. Baru kali ini ia melihat sisi kejam Damien. “Aku tak menyangka kau akan sekejam ini pada adikmu!”
Gadis bernama Anara itu berdiri di tengah Xora dan Damien. Ia mendorong Damien menjauh, lalu memeluk Xora yang langsung menangis ketika mendapatkan kehangatan dan kepedulian dari orang selain Bi Nammy dan Ibunya.
“Heh. Dia bukan Adikku, dia adalah Gadis Sialan yang telah merenggut Ibuku,” jawab Damien dengan dingin. “Dia pasti mencuri permata milik Ibuku secara diam-diam.”
“Menyingkir darinya, Anara. Aku akan memberinya pelajaran karena telah mencuri,” lanjut Damien tanpa belas kasih.
Hati kecil Xora yang tersisa langsung hancur berkeping-keping. Rasa sakit dari penolakan Damien membuat gadis itu terluka. Namun pada saat yang sama, ia merasa bahwa keputusannya untuk pergi dari keluarga itu benar-benar tepat.
Memang sudah tak ada lagi tempat untukku di sini, Bu. Apakah kamu melihat betapa kejamnya sosok yang kamu bilang paling bahagia ketika kelahiranku? Maaf, Bu. Aku menyerah untuk memperbaiki hubungan di antara aku dan keluarga Naravinata ini.
Ia melirik ke arah Anara dan memberikannya senyuman paling tulus, lalu berkata, “Terima kasih. Sekarang, kau bisa melepaskanku.”
Anara tak berkata apa-apa. Ia perlahan melepas pelukan dan balik bertanya, “Apakah itu tak terasa sakit?”
Sejenak, Xora membeku di tempat ketika pertanyaan yang ia dulu harapkan akan terlontar dari bibir keluarganya, malah terlontar dari bibir orang lain. Ia hanya tersenyum kecil dan menjawab, “Lebih menyakitkan ketika aku dituduh mencuri, padahal Ibu menyimpannya untukku.”
“Bohong!” Damien berteriak dan menunjuk ke arah Xora sambil menggenggam anting-anting yang masih basah akan darah Xora.
Ia melangkah mendekati Xora dengan penuh kemarahan, akan tetapi langsung dihadang oleh Anara yang kasihan pada Xora, “Hentikan! Kenapa kamu berbuat sekasar itu padanya!”
Melihat Anara sedang menahan Damien untuknya, Xora bergegas bangkit dan berjalan mengambil kotak peninggalan sang Ibu dari dalam lemari. Kemudian dilempar ke atas kasur hingga semua barang di dalamnya berhamburan keluar.
“Buka kotak itu ...
“Itu adalah kotak peninggalan Ibuku.”
Xora berbicara dengan suara sesak, menahan sakit dan tangisnya.
Damien melihat ke arah gaun putih bergaya gotik, hiasan kepala berlambangkan gandum dan kapas, sepasang sepatu ankle strap heels putih, tiga lembar surat, sarung tangan kulit putih transparan, sebuah foto keluarga bahagia dengan sosok wanita hamil sebagai pusatnya, serta sebuah kotak untuk set perhiasan Fairy Tears.
“Baca dulu suratnya,” ujar Xora, memalingkan wajah dan berjalan mengambil baju garis putih yang usang, penuh sobekan. Baju yang tadi ia gunakan, sebelum mengenakan gaun merah gotik peninggalan sang Ibu.
Dengan penuh kehati-hatian, gadis itu segera melilitkan kain tersebut di kepalanya untuk menutupi telinga. Itu adalah tindakan pertama untuk sebuah luka, diajarkan oleh Bi Nammy dan selalu diterapkan oleh Xora setiap kali ia terluka. Tak akan ada yang mau membalut lukanya, setelah Bi Nammy menghilang secara misterius.
“Bohong …” Suara Damien bergetar.
Anara yang berdiri di sampingnya dan ikut membaca surat itu, merasakan betapa hangatnya seorang Ibu. Sekilas, ia langsung membuat asumsi dasar sambil melirik Damien dan surat secara bergantian : Apakah keluarga Naravinata membenci gadis itu, karena Ibunya memperjuangkan dia hingga titik penghabisan darah? Sepertinya, keputusanku untuk bertunangan dengan Damien adalah sebuah kesalahan. Bila suatu hari aku mempertahankan anakku dan kehilangan nyawa, Damien akan memperlakukan anak kami seperti sedang memperlakukan gadis malang itu saat ini.
“Sudahkan? Aku akan mengambil mereka kembali.” Xora melirik Damien yang bergetar melalui pantulan cermin. Ia lalu berbalik dan memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam kotak, hingga tersisa surat yang dipegang oleh Damien.
“Kembalikan surat-surat itu. Itulah peninggalan Ibu yang paling menyayangiku.” Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung merebut surat-surat itu dan memasukkannya ke dalam kotak.
Damien tersentak. Ia sudah selesai membaca surat-surat itu sebelum Xora mengambilnya secara paksa. Tatapan sinis dan dingin telah hilang dari wajahnya, digantikan tatapan bersalah dan menyesal. Tubuhnya bergetar mengingat betapa kejamnya ia menarik anting-anting dari telinga Xora.
Logam panas tak kasat mata seolah menembus dada, ketika Xora mengatakan, “Itulah peninggalan Ibu yang paling menyayangiku.”
“Berikan kembali kertas itu.” Damien berkata dengan datar. Nadanya tak lagi terdengar sinis, seperti yang ia lakukan sebelumnya.
“Ini milikku.” Xora membalas dengan nada sinis. Tatapannya berubah menjadi tajam, penuh kebencian.
Anara yang berdiri di antara keduanya, menatap ke arah Damien, “Berhentilah Damien, sikapmu sudah terlalu berlebihan. Tadi kamu menampar, lalu merobek telinganya dengan mengambil anting secara paksa, sekarang kamu mau mengambil surat peninggalan Ibunya? Apakah kamu tak malu?
“Seandainya Ibumu ada di sini, aku yakin kalau dia akan mengutuk kalian karena telah memperlakukan Putri Kecilnya dengan kasar.”
Anara mengeluarkan semua perasaan kesalnya, mewakilkan Xora. Ia ikut merasa marah dan kesal atas apa yang terjadi pada Xora selama ini.
Pemuda berambut merah itu melirik tajam ke arah Anara. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Anara itu benar, sehinga ia tak bisa menyangkalnya sedikit pun. Matanya kembali tertuju pada Xora dan kotak hadiah peninggalan sang Ibu.
Ibu benar-benar menyayanginya. Apa yang telah aku lakukan?
Mata pemuda itu tampak kosong, ia kembali mengingat ke masa di mana Ibunya masih mengandung Xora di dalam perut. Ia benar-benar yang paling bahagia se-dunia, karena akan memiliki adik. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kebencian saat sang Ibu meninggal demi melahirkan sang Adik. Begitupun dengan saudara dan Ayahnya.
“Xora … itu namamu, kan?” Damien kembali sadar dari lamunannya. Ia menatap ke arah sang Adik dan menyadari bahwa gadis itu benar-benar mirip sekali dengan Ibunya, bagaikan pinang dibelah dua.
Trangg! Saat pedang Xora menyentuh bulu Poison Tongue Bird, pedang itu langsung terlempar jauh dari tangan Xora. "Apa yang terjadi? Kenapa aku tak bisa menebasnya?" lirih Xora dengan mata terbelalak. Di saat yang bersamaan, Poison Tongue Bird di hadapan Xora bergerak cepat untuk mencengkram tubuh Xora. Boom! Poison Tongue Bird itu mencengkram tubuh Xora, dan menghempasnya ke atas tanah dalam waktu singkat. Rasa sakit luar biasa pun menyerang punggung Xora. 'Sakit,' keluh Xora di dalam hati. Mata Xora melirik ke arah Poison Tongue Bird yang menghempasnya ke tanah. Ada kebencian yang tersorot jelas dari tatapan Xora. Dia kemudian beralih menatap pedangnya yang tergeletak cukup jauh. Xora berusaha mengabaikan rasa sakit pada punggungnya, lalu bangkit dan meraih pedang itu. Xora menatap Pedang Kutukan di genggamannya. 'Kenapa aku tidak bisa menebas mereka dengan mudah, seperti Flyor?' batin Xora bertanya-tanya. Dia merasa kecewa karena kemampuannya tidak seperti Flyor."Miss. U!" Teri
Flyor meraba bibirnya yang tengah tersenyum lebar."Akhir-akhir ini ... aku banyak tersenyum," gumam Flyor yang merasakan perbedaan drastis pada dirinya, setelah Xora datang. "Tapi sebelum itu, lebih baik aku segera menentukan latihan apa yang perlu diberikan kepada Miss. U," sambung Flyor sambil mencuci piring. ***Mentari mengangkasa dengan angkuh dan terik. Suasana sekitar terasa begitu panas, tapi tak berlaku bagi Xora yang duduk di bawah rindangnya pohon ketapang. Gadis itu mengangkat telapak tangannya ke depan wajah, lalu memandang mereka dengan ekspresi tak percaya. "Baru saja, aku mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali." Dia bergumam lirih dengan napas terengah-engah. [Notifikasi! Anda menyelesaikan Quest Tambahan!][Notifikasi! Anda mendapatkan item rahasia berupa 'Kalung Usang'.][Notifikasi! Anda mendapatkan bonus berupa 5 distribution point!]Kening Xora mengerut melihat panel di hadapannya. Dia berlatih sampai 3000 kali ayunan sampai setengah mati, tapi hanya mendapa
"Mengayunkan pedang sebanyak 2000 kali saja perlu waktu sampai sore. Apalagi 3000 pedang?" sambung Xora dengan intonasi tak percaya diri. Dia merasa tak yakin bisa menyelesaikan misi besok. Xora membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu menghela napas. "Jika seperti itu, aku harus bangun lebih pagi lagi," lirih Xora. Xora mulai menutup mata, dan mulai terlelap dalam mimpi.Pagi menjelang .... Flyor yang ada di kamarnya mulai terbangun. Dia segera beranjak dari kasur dan melangkah menuju dapur. 'Aku harus segera memasak, sebelum Miss U bangun,' batin Flyor. Dia dengan cepat berkutat di dapur, memasak menggunakan teknik dan bumbu dari tumbuhan di Dungeon. Menu utamanya adalah sup Jamur Dore. Jamur Dore adalah jamur Dungeon, yang bisa menambah stamina dan vitalitas tubuh. 'Ini cocok untuk dia yang akan berlatih mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali,' pikir Flyor.Flyor tersenyum kecil di sudut bibirnya, sambil meletakkan sup Jamur Dore itu di atas meja. Tak hanya sup Jamur Dore yang
Mendengar kata-kata itu, mulut Xora terbuka lebar. Sama dengan matanya yang terbelalak tak percaya.''Bukankah hukuman ini harusnya dikurangi?!' teriak Xora di dalam hati. "Apa itu masih berat untukmu?" Xora membeku di tempat, usai mendengar jawaban yang tak sesuai dengan harapannya. Melihat Xora membeku di tempat, Flyor kembali bertanya, "Apa itu masih berat untukmu?"Secara spontan, Xora langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak! Ini sudah cukup bagi saya!"Xora pun dengan sekuat tenaga mengangkat pedang itu, lalu mengayunkannya. Tetapi, belum sampai satu ayunan. Pedangnya langsung terjatuh dan lepas dari tangan Xora. 'Berat,' keluh Xora di dalam hatinya. Selama satu bulan Xora berlatih, total ayunan yang harus dicapai setiap harinya tidak berubah ... yaitu 2000 kali ayunan. Sayangnya, Xora tidak sekuat itu. Xora hanya mampu mencapai 1000 kali ayunan. Bahkan ketika di akhir bulan. Satu bulan berikutnya, Xora juga terus berlatih dan baru mencapai
Xora mendongkak menatap langit, yang dipenuhi dengan para Poison Tongue Bird. Para Poison Tongue Bird itu terbang ke sana ke mari, seperti menjaga pintu goa. Mendengar kalimat Xora, Flyor menoleh ke arah Xora yang berada di sampingnya. Flyor mengernyitkan alisnya dan bertanya, "Kaumenyebut Monster Burung itu dengan nama Poison Tongue Bird?" Xora menoleh dan mengangguk. "Ya," jawab Xora dengan senyum yang bisa dilihat oleh Flyor, karena dagu dan bibir Xora tidak ditutupi oleh topeng. "Seperti yang Anda katakan sebelumnya, air liur mereka mengandung racun. Makanya mereka dinamakan seperti itu," sambung Xora. Mata Flyor membola. 'Gadis ini benar-benar seorang Penyihir! Dia mengetahui segalanya, bahkan memberikan monster itu nama,' batin Flyor yang beralih menatap para Poison Tongue Bird. Flyor benar-benar salah paham terhadap Xora. "Bagaimana kita menyerangnya? Apakah Anda merasa yakin untuk melawan para Poison Tongue Bird itu?" Xora bertanya dan menoleh, menatap wajah Flyor. Flyor p
Dua panel notifikasi itu muncul di hadapan Xora, bertepatan ketika Flyor membelah tubuh monster yang tersisa di sekitar mereka. "Harus sampai seratus persen?" tanya Xora dengan nada yang sangat pelan. [Notifikasi! Benar!]Membaca notifikasi yang muncul di hadapannya, Xora membeku di tempat. 'Tadi ada banyak Monster yang dibunuh oleh Flyor, tapi, itu hanya sepuluh persennya saja?' batin Xora tak percaya. 'Memangnya, ada sebanyak apa Monster-monster di Dungeon ini?' sambung Xora bertanya-tanya. Dia mendongkakkan kepala menghadap langit yang berwarna biru cerah. "Miss U?" melihat Xora hanya berdiam di tempat sambil mendongkak menatap langit, tentu saja Flyor penasaran. Flyor memanggil nama samaran milik Xora, membuat Xora menoleh. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Flyor yang dipenuhi rasa penasaran. Tersadar dari lamunannya, Xora segera berdiri dari posisi duduk. "Ah, tidak. Saya tiba-tiba berpikir, berapa banyak waktu yang akan diperlukan jika ingin memusnahkan semua Monster di sini,"