Bibirnya terbuka, ingin berkata, “Ayo kita pergi ke rumah sakit.” Tetapi ia mendadak bisu, tak mampu berkata apapun, bahkan untuk sekadar kata maaf.
Gadis berambut perak dengan perban yang melilit kepalanya hanya diam, ia tak menjawab pertanyaan itu.
Bahkan untuk namaku saja dia baru tau melalui surat Ibu, karena Ibulah yang meninggalkan nama Xora untukku.
Xora menghela napas dan merasa ironis dengan pertanyaan dari bibir Damien. Ia segera melirik tangan kanan Damien yang meneteskan darah, menggenggam anting-anting Fairy Tears.
Aku tak ingin meninggalkan anting-anting itu di tempat ini, karena itu adalah bagian dari apa yang Ibu tinggalkan untukku. Aku tak ingin kehilangan satu pun dari mereka! Pikir Xora. Ia tak ingin peninggalan Ibunya menjadi tidak lengkap. Tak ada lagi yang bisa menggantikan peninggalan Ibunya. Namun, mengingat bagaimana anting-anting itu ditarik dengan paksa, sekujur tubuhnya bergetar karena trauma.
Sekalipun aku memilikinya, aku tak mungkin akan memakainya lagi karena rasa trauma ini. Xora menghela napas panjang, memutuskan untuk membiarkan anting-anting itu bersama Damien.
Ia segera berbalik dan mengambil langkah pergi dari kamar. Tepat di ambang pintu, langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah Damien dengan tatapan tajam dan berkata, “Mungkin, itu tak berharga untukmu. Tapi simpanlah, aku tak bisa memakainya lagi.”
Sosoknya pun dengan cepat menghilang di balik pintu, menyisakan Damien dan Anara yang mematung di tempat.
Anara segera menatap Damien, melepaskan cincin pertunangan dari jari telunjuknya dan berkata, “Damien, aku akan segera memberitahu keluargaku untuk memutuskan pertunangan dan memberimu kompensasi atas pemutusan sepihak ini.”
Terpaku di tempat, Damien menatap cincin dan pintu secara bergantian berulang-ulang hingga ia sadar : Xora mau meninggalkan rumah ini dan Anara memutuskan pertunangan?Tidak, aku harus menahan mereka!
Matanya terbelalak dan langsung mengeluarkan sebuah talkie-walkie, menghubungi para penjaga untuk menghalangi dua gadis berambut perak itu melangkah keluar dari rumah. Talkie-walkie itu kembali ke saku sebelum ia berlari menyusul Xora dan Anara.
Di Bangunan Utama ….
Di bawah sinar senja, Xora duduk dan mendaratkan punggung pada dinding dengan wajah pucat. Darah yang mengalir di balik kain menjadi semakin deras. Tangannya memeluk kotak yang berisi peninggalan sang Ibu.
Jika seperti ini terus, aku tak akan bertahan. Aku ingin bebas dan pergi dari sini, mencari tempat di mana seseorang akan menerimaku apa adanya. Xora secara naluriah mengangkat kepala, melirik ke arah taman mansion yang begitu luas.
Air mancur dibangun di tengah taman, dikelilingi berbagai macam tanaman bunga seperti Mawar, Lavender, Tulip dan lain-lain. Namun yang paling banyak adalah mawar dengan beragam warna, membuat taman itu tampak semakin indah.
[Anda masih memiliki “Blood Pil” dalam inventory.]
[Blood Pil memiliki efek untuk mempercepat regenerasi luka dan sel, membuat tubuh bekerja menghasilkan darah dua kali lipat lebih banyak selama lima menit.]
“Berikan padaku …” Xora berbicara dengan nada lemah dan serak sambil mengulurkan tangan ke udara, seperti sedang meminta.
Cahaya muncul menyelimuti telapak tangan Xora bagaikan sebuah cahaya dari lilin. Cahaya itu menyusut dalam waktu tiga detik, berubah menjadi sebutir Blood Pil yang nyata dan bisa digenggam oleh Xora.
Efek pemulihan dari pil langsung terasa setelah ia menelan pil tersebut. Rasa sakit di telinganya perlahan mulai reda. Daging yang terkoyak bergumpal dan menggeliat, menyusun jaringan baru untuk memulihkan daging robek tadi.
Wajah pucat gadis itu perlahan kembali mendapatkan warnanya. Xora merasakan bahwa kakinya kembali mendapatkan tenaga untuk berjalan dan pikirannya menjadi jernih.
“Maafkan aku, bagaimana kondisimu?” Anara yang tadi tertinggal di belakang, baru berhasil menyusul Xora. Ia terkejut melihat gadis berambut perak dengan nasib malang itu terduduk lemas dan tak berdaya, meskipun wajah pucatnya mulai pulih samar-samar.
Xora menoleh ke arah Anara, melemparkan senyum tulus dari lubuk hatinya. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku, tapi aku sudah terbiasa dengan luka-luka seperti ini. Beristirahat sebentar saja akan membuatku pulih seperti semula,” jawab Xora setengah berbohong.
Terbiasa dengan luka seperti itu bukan berarti kondisinya akan cepat pulih. Malah, itu sangat mustahil. Ia tidak makan selama beberapa hari dan baru saja sembuh berkat bantuan sistem tadi malam. Seandainya Xora barusan tidak meminum Blood Pil, ia pasti hanya bisa menunggu ajal menjemput. Ucapannya barusan merupakan dalih untuk menutupi efek pil saja.
“Ikut aku ke rumah sakit, sepertinya lukamu tambah parah. Aku akan menanggung biaya pengobatannya.” Ekspresi khawatir yang tulus benar-benar terlihat di wajahnya. Ia bahkan mengulurkan tangan saat melihat Xora berusaha untuk bangkit.
Xora menerima uluran tangan gadis itu, lalu menggelengkan kepala dan menolak ajakan Anara barusan. “Aku akan segera sembuh, tak usah dipikirkan,” sahutnya, “yang penting, kita segera keluar dari tempat ini.”
Anara tak ingin memaksa dan setuju pada pernyataan terakhir Xora, mereka harus segera keluar dari sini. Keduanya pun melanjutkan langkah dengan cepat.
Di depan pintu pagar, keduanya dihalangi oleh para Security berseragam kuning dan bercelana hitam. Satu tampak berusia 50-an, satu lagi berusia 30-an. Meskipun begitu, keduanya sama-sama tinggi dan kekar. Tubuh mereka pun begitu tinggi, memberikan intimidasi kepada Xora dan Anara yang hanya mencapai sebahu mereka.
“Maaf Nona-Nona, tapi tuan Muda Damien memerintahkan kami untuk menahan kalian,” terang Security dengan sopan, berdiri menghalangi gerbang untuk mencegah kedua Nona Muda itu keluar.
“Dia tak memiliki hak untuk menahanku, cepat minggir!” Anara keras kepala dan tak peduli terhadap pernyataan Security.
Ia dan para Security pun berdebat hingga Damien berhasil menyusul. Tubuhnya sedikit berkeringat dengan setelan jas formal yang acak-acakan, dasi longgar dan kancing bagian atas dada lepas seolah memamerkan bentuknya untuk menggoda kaum hawa.
“Anara, mari kita bicarakan ulang semuanya. Kau tak boleh tergesa-gesa dalam mengambil sebuah keputusan.” Damien menarik lengan Anara dengan erat. Kemudian ia menoleh ke arah Xora dan berkata, “Kau tak boleh keluar dan harus diobati.”
Mendengar nada bicara Damien yang begitu tinggi, Anara segera menampar pria berambut merah itu dengan keras hingga wajahnya menoleh ke arah samping.
Itu balasan dari Anara, mewakili diriku. Xora tersenyum tipis.
“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah menikah dengan orang dan keluargamu yang egois itu.” Anara menolak lantang, menarik tangannya kembali saat Damien mematung karena baru saja ditampar dengan begitu keras. Pipinya yang putih pun menjadi merah, memperlihatkan bekas ukuran tangan Anara yang tercetak samar-samar.
“Ini bukanlah tempat untukku berada,” jawab Xora, menggelengkan kepala dan memeluk kotak tersebut dengan erat. Ekspresinya begitu dingin, membuat Damien merasa jantungnya tertohok oleh panah tak kasat mata.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Sebuah suara kembali menggema di belakang Damien. Ia sekilas mirip Damien, tetapi ia mengenakan celana hitam panjang dan kemeja hijau vintage. Rambutnya sepanjang bahu dengan potongan wolfcut.
Sekilas, sebuah nama langsung terbesit dalam benak Xora : Ruvian Naravinata, Kakak Pertama sekaligus putra sulung keluarga Naravinata. Calon pewaris keluarga nomor urut satu di antara keempat saudaranya tanpa menghitung Xora.
Trangg! Saat pedang Xora menyentuh bulu Poison Tongue Bird, pedang itu langsung terlempar jauh dari tangan Xora. "Apa yang terjadi? Kenapa aku tak bisa menebasnya?" lirih Xora dengan mata terbelalak. Di saat yang bersamaan, Poison Tongue Bird di hadapan Xora bergerak cepat untuk mencengkram tubuh Xora. Boom! Poison Tongue Bird itu mencengkram tubuh Xora, dan menghempasnya ke atas tanah dalam waktu singkat. Rasa sakit luar biasa pun menyerang punggung Xora. 'Sakit,' keluh Xora di dalam hati. Mata Xora melirik ke arah Poison Tongue Bird yang menghempasnya ke tanah. Ada kebencian yang tersorot jelas dari tatapan Xora. Dia kemudian beralih menatap pedangnya yang tergeletak cukup jauh. Xora berusaha mengabaikan rasa sakit pada punggungnya, lalu bangkit dan meraih pedang itu. Xora menatap Pedang Kutukan di genggamannya. 'Kenapa aku tidak bisa menebas mereka dengan mudah, seperti Flyor?' batin Xora bertanya-tanya. Dia merasa kecewa karena kemampuannya tidak seperti Flyor."Miss. U!" Teri
Flyor meraba bibirnya yang tengah tersenyum lebar."Akhir-akhir ini ... aku banyak tersenyum," gumam Flyor yang merasakan perbedaan drastis pada dirinya, setelah Xora datang. "Tapi sebelum itu, lebih baik aku segera menentukan latihan apa yang perlu diberikan kepada Miss. U," sambung Flyor sambil mencuci piring. ***Mentari mengangkasa dengan angkuh dan terik. Suasana sekitar terasa begitu panas, tapi tak berlaku bagi Xora yang duduk di bawah rindangnya pohon ketapang. Gadis itu mengangkat telapak tangannya ke depan wajah, lalu memandang mereka dengan ekspresi tak percaya. "Baru saja, aku mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali." Dia bergumam lirih dengan napas terengah-engah. [Notifikasi! Anda menyelesaikan Quest Tambahan!][Notifikasi! Anda mendapatkan item rahasia berupa 'Kalung Usang'.][Notifikasi! Anda mendapatkan bonus berupa 5 distribution point!]Kening Xora mengerut melihat panel di hadapannya. Dia berlatih sampai 3000 kali ayunan sampai setengah mati, tapi hanya mendapa
"Mengayunkan pedang sebanyak 2000 kali saja perlu waktu sampai sore. Apalagi 3000 pedang?" sambung Xora dengan intonasi tak percaya diri. Dia merasa tak yakin bisa menyelesaikan misi besok. Xora membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu menghela napas. "Jika seperti itu, aku harus bangun lebih pagi lagi," lirih Xora. Xora mulai menutup mata, dan mulai terlelap dalam mimpi.Pagi menjelang .... Flyor yang ada di kamarnya mulai terbangun. Dia segera beranjak dari kasur dan melangkah menuju dapur. 'Aku harus segera memasak, sebelum Miss U bangun,' batin Flyor. Dia dengan cepat berkutat di dapur, memasak menggunakan teknik dan bumbu dari tumbuhan di Dungeon. Menu utamanya adalah sup Jamur Dore. Jamur Dore adalah jamur Dungeon, yang bisa menambah stamina dan vitalitas tubuh. 'Ini cocok untuk dia yang akan berlatih mengayunkan pedang sebanyak 3000 kali,' pikir Flyor.Flyor tersenyum kecil di sudut bibirnya, sambil meletakkan sup Jamur Dore itu di atas meja. Tak hanya sup Jamur Dore yang
Mendengar kata-kata itu, mulut Xora terbuka lebar. Sama dengan matanya yang terbelalak tak percaya.''Bukankah hukuman ini harusnya dikurangi?!' teriak Xora di dalam hati. "Apa itu masih berat untukmu?" Xora membeku di tempat, usai mendengar jawaban yang tak sesuai dengan harapannya. Melihat Xora membeku di tempat, Flyor kembali bertanya, "Apa itu masih berat untukmu?"Secara spontan, Xora langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak! Ini sudah cukup bagi saya!"Xora pun dengan sekuat tenaga mengangkat pedang itu, lalu mengayunkannya. Tetapi, belum sampai satu ayunan. Pedangnya langsung terjatuh dan lepas dari tangan Xora. 'Berat,' keluh Xora di dalam hatinya. Selama satu bulan Xora berlatih, total ayunan yang harus dicapai setiap harinya tidak berubah ... yaitu 2000 kali ayunan. Sayangnya, Xora tidak sekuat itu. Xora hanya mampu mencapai 1000 kali ayunan. Bahkan ketika di akhir bulan. Satu bulan berikutnya, Xora juga terus berlatih dan baru mencapai
Xora mendongkak menatap langit, yang dipenuhi dengan para Poison Tongue Bird. Para Poison Tongue Bird itu terbang ke sana ke mari, seperti menjaga pintu goa. Mendengar kalimat Xora, Flyor menoleh ke arah Xora yang berada di sampingnya. Flyor mengernyitkan alisnya dan bertanya, "Kaumenyebut Monster Burung itu dengan nama Poison Tongue Bird?" Xora menoleh dan mengangguk. "Ya," jawab Xora dengan senyum yang bisa dilihat oleh Flyor, karena dagu dan bibir Xora tidak ditutupi oleh topeng. "Seperti yang Anda katakan sebelumnya, air liur mereka mengandung racun. Makanya mereka dinamakan seperti itu," sambung Xora. Mata Flyor membola. 'Gadis ini benar-benar seorang Penyihir! Dia mengetahui segalanya, bahkan memberikan monster itu nama,' batin Flyor yang beralih menatap para Poison Tongue Bird. Flyor benar-benar salah paham terhadap Xora. "Bagaimana kita menyerangnya? Apakah Anda merasa yakin untuk melawan para Poison Tongue Bird itu?" Xora bertanya dan menoleh, menatap wajah Flyor. Flyor p
Dua panel notifikasi itu muncul di hadapan Xora, bertepatan ketika Flyor membelah tubuh monster yang tersisa di sekitar mereka. "Harus sampai seratus persen?" tanya Xora dengan nada yang sangat pelan. [Notifikasi! Benar!]Membaca notifikasi yang muncul di hadapannya, Xora membeku di tempat. 'Tadi ada banyak Monster yang dibunuh oleh Flyor, tapi, itu hanya sepuluh persennya saja?' batin Xora tak percaya. 'Memangnya, ada sebanyak apa Monster-monster di Dungeon ini?' sambung Xora bertanya-tanya. Dia mendongkakkan kepala menghadap langit yang berwarna biru cerah. "Miss U?" melihat Xora hanya berdiam di tempat sambil mendongkak menatap langit, tentu saja Flyor penasaran. Flyor memanggil nama samaran milik Xora, membuat Xora menoleh. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Flyor yang dipenuhi rasa penasaran. Tersadar dari lamunannya, Xora segera berdiri dari posisi duduk. "Ah, tidak. Saya tiba-tiba berpikir, berapa banyak waktu yang akan diperlukan jika ingin memusnahkan semua Monster di sini,"