Share

10. Perasaan yang Berbeda

Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain.

Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki.

“Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot.

Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang.

Tak!

Bugh!

Jrot!

Suara jitakan, pukulan dan tinjuan saling bersahutan dalam mobil sempit Bariqi. Kedua manusia beda kelamin itu sibuk bertengkar dengan bibir yang terkunci, hanya tangan yang bergerak untuk memukul satu sama lain.

“Rasain,” umpat Elya menjambak rambut Bariqi.

“Akhhh … aduh, jangan main jambak!” pekik Bariqi menahan tangan Elya. Mau dipukul sekeras apa, Bariqi masih punya toleransi, tapi kalau sudah rambut, bariqi tidak akan memaafkannya.

“Akhhh … Bariqi jahat!” teriak Elya saat bariqi mencubit tangannya dengan kencang. Elya melepaskan tangannya dari rambut Bariqi, gadis itu mengelus tangannya yang memerah karena cubitan tangan Bariqi.

“Elya, kamu main jambak-jambak rambut orang.”

“Kamu juga cubit tanganku.”

“Kamu yang duluan jambak.”

“Kalau kamu gak ngeselin aku juga gak akan jambak kamu. Dasar Bariqi sialan!” seru Elya dengan kesal.

“Siapa yang kamu panggil Bariqi, hah?” tanya Bariqi menarik dagu Elya. Elya menepis tangan Bariqi.

“Jelas kamu, siapa yang punya nama itu di sini selain kamu.”

“Gak sopan banget jadi bocah.”

“Enak saja panggil bocah.”

“Terus harus panggil apa? Baby atau Balita?”

“Dasar tua bangka, sono bawa tongkat buat alat bantu jalan,” ketus Elya.

“Panggil Mas gitu, kek. Biar sama kayak saat kamu manggil Vino,” ucap Bariqi menarik tangan Elya dan menggenggam tangan gadis itu. Elya memicingkan matanya menatap Bariqi, tidak ada angin tidak ada hujan, pria di hadapannya menyuruhnya memanggil ‘Mas. Lidah Elya menolak menyebutnya, terasa gatal dan geli.

“Eh jangan jangan, jangan kayak manggil Vino. Panggilan yang beda,” ralat Bariqi.

“Kamu apa-apaan sih?” tanya Elya.

“Cepat pikirin panggilan yang cocok!” titah Bariqi mengalihkan pembicaran.

“Enak panggil Chef gitu saja.”

“Itu kan kalau di pekerjaan, di luar harus beda.”

“Ya disamain saja.”

“Gak enak. Jangan manggil Chef, jangan manggil Mas.”

“Manggil Pakde saja kalau begitu,” jawab Elya.

“Enak saja, jangan.”

“Pakde saja, sekarang nyetir yang bener kalau gak mau aku jambak lagi!” kata Elya menghadapkan tubuhnya ke depan. Tubuh Elya rasanya sudah sakit semua karena perang dengan Bariqi.

“Bagaimana kalau manggil ‘Sayang?” tanya Bariqi.

“Hueeek ….” Elya berlagak ingin muntah mendengar ucapan Bariqi.

“Pacar kamu banyak, di setiap belokan ada, kalau aku manggil sayang, sudah pasti nanti malam di depan kamarku ada demo besar-besaran. Seluruh pacar kamu bakal nyerang aku,” oceh Elya.

“Elya, aku gak punya pacar,” aku Bariqi dengan jujur.

“Ya siapa peduli,” jawab Elya masih dengan nada sewot. Bariqi menatap Elya dengan intens, Elya sudah salah sangka padanya perihal pacar. Meski cewek Bariqi banyak, bukan berarti mereka adalah pacarnya.

“Aku jujur, Elya. Aku gak punya pacar,” jelas Bariqi lagi.

“Ya siapa yang peduli, Mas? Mau kamu punya pacar, mau jomblo juga gak ada urusannya sama aku,” kata Elya yang kini menggunakan panggilan ‘Mas.

Bariqi terdiam, ia sadar buat apa ia harus menjelaskan pada Elya. Toh Elya bukan siapa-siapanya. Bariqi menatap kaos yang ia pakai dan juga dipakai Elya. Saat berdekatan, kaos yang mereka pakai akan bermotif love sempurna. Baju yang mereka pakai memang baju pasangan, tetapi mereka seolah tidak ditakdirkan menjadi pasangan. Karena di setiap kesempatan dan pertemuan, tidak ada kata akur pada Bariqi dan Elya.

Bariqi menegakkan tubuhnya, pria itu menarik sabuk pengaman dan mulai menjalankan mobilnya pergi dari kawasan mess karyawan. Sepanjang perjalanan, Bariqi mencoba untuk tidak menatap Elya. Pria itu menatap lurus ke depan dengan bibir yang terkunci rapat. Kalau ada yang melihat mereka, sudah pasti banyak yang mengira mereka sepasang kekasih yang tengah berkencan, tapi siapa sangka kalau hubungan mereka tidak lebih dari atasan dan bawahan juga musuh bebuyutan.

Di dunia ini banyak manusia yang bisa ditemui Bariqi, tapi hanya satu orang yang bisa membuat perasaan Bariqi jungkir balik. Terkadang Bariqi suka dengan kehadiran Elya, terkadang juga ia membenci gadis itu. Perasaan Bariqi tidak bisa konsisten dengan Elya, tapi satu hal yang Bariqi tahu, ia ingin selalu berada di dekat Elya, entah itu dalam keadaan suka atau pun benci.

Tidak berapa lama, Bariqi sampai di ‘Wisata Petik Apel Mandiri Kota Batu yang berada di daerah Punten Kecamatan Bumiaji, masih satu kecamatan dengan tempat Elya dan Bariqi tinggal. Setelah memarkirkan mobilnya, Bariqi segera turun. Sedangkan Elya tampak turun dengan ogah-ogahan.

“Elya, sini!” ajak Bariqi setelah ia turun dari mobilnya. Elya malah gelendotan di pintu dengan malas.

“Elya,” panggil Bariqi lagi.

“Gak mau,” jawab Elya.

“Kenapa?”

“Kamu pukul aku.”

“Siapa pukul siapa?”

“Kamu pukul aku.”

“Ulangi!” titah Bariqi dengan mata yang menghunus tajam menatap asistennya.

“Aku pukul kamu,” jawab Elya dengan pasrah. Elya pun menutup pintu mobil dengan lemas dan berjalan menghampiri Bariqi.

Bariqi merangkul pundak Elya dan mengajak gadis itu untuk masuk ke tempat wisata. Elya menatap berbinar ke arah apel-apel yang tampak segar-segar. Wisata apel dengan mess Elya tidak terlalu jauh, masih di jalan yang sama Jl Selecta, tetapi Elya tidak pernah mampir karena menghemat uang.

“Waah apelnya besar-besar,” pekik Elya yang sudah ingin kabur memetik Apel. Namun tangannya ditahan oleh Bariqi.

“Ambil keranjang dulu,” kata Bariqi.

”Ambilin!” titah Elya. Bariqi memutar bola matanya jengah. Kendati demikian, pria itu tetap mengambil keranjang untuk Elya.

Setelah mendapatkan keranjangnya, Elya segera ngacir begitu saja untuk memetik apel yang paling besar. Elya berani memetik buah apel karena ia yakin seratus persen kalau Bariqi lah yang akan bayar.

Elya berlarian bagai bocah berusia lima tahun yang sangat antusias dengan apel-apel yang bergelantungan. Sedangkan Bariqi, dengan pasrah pria itu mengikuti Elya.

“Mas … mas, lihat, besar yang mana?” tanya Elya menunjukkan dua buah apel yang bergelantungan bersebelahan.

“Besar dua-duanya,” jawab Bariqi.

“Aku hanya minta kamu pilih salah satu.”

”Kenapa hanya satu, dua saja biar kayak gunung fuji,” jawab Bariqi menatap tubuh atas Elya.

Dugh!

”Aww.” Baiqi memekik kecil saat Elya menendang tulang keringnya.

“Aku tanya serius,” ujar Elya kesal.

“Iya dua duanya saja, gak usah dibikin ribet.”

Elya memetik dua buah apel dan memasukkannya ke keranjang. “Eh fotoin aku, Mas!” pinta Elya merogoh saku celananya untuk mengambil hp.

“Pakai Hpku saja,” kata Bariqi menarik hpnya dan mulai memotret Elya.

Elya berpose dengan berbagai gaya yang sangat konyol. Bariqi tertawa kecil melihat tingkah Elya. Selama bersama Elya, Bariqi hampir tidak pernah melihat Elya berfoto atau pun mengunggah fotonya di media sosial. Namun kali ini Elya meminta foto terlebih dahulu. Gadis itu menjulurkan lidahnya, menjulingkan matanya dan berpose aneh yang lainnya.

“Eh aku cantik gak di foto?” tanya Elya menyibak poninya.

“Jangan disibak poninya!” kata Bariqi. Elya menuruti ucapan Bariqi dan kembali berpose. Sudah banyak gambar yang diambil Bariqi, pria itu mendekati Elya dan merangkul pundak gadis itu.

Bariqi mengubah stelan kamera depan, mengambil gambar berdua dengan Elya. Bariqi tersenyum tipis, sedangkan Elya tampak berpose seolah menggigit apel. Bariqi tidak mengelak kalau gadis yang persis seperti singa itu bisa berpose menggemaskan juga.

“Elya, satu kali lagi,” kata Bariqi. Elya yang sempat menjauhkan kepalanya pun kembali mendekat.

“Satu … dua … tiga … Cup!”

Bariqi mencium pipi Elya sembari memencet ikon untuk mengambil gambar. Elya yang semula berpose tersenyum lebar kini membulatkan matanya. Bibir Bariqi menempel tepat di pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status