Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng
Saat ini Bariqi dan Elya tengah duduk di ruang tamu rumah Bariqi. Tadi saat Elya sudah masuk ke mobil Bariqi dan Bariqi tengah membayar apel, ibu Bariqi nyelonong masuk ke mobil Bariqi dan ingin ikut anaknya bersama seorang gadis bernama Elya. Mau tidak mau Bariqi pun membiarkan ibunya ikut ke mobilnya. Ibunya memaksanya pulang bersama Elya. Bariqi duduk diam, sedangkan Elya di sampingnya pun juga mengunci mulutnya rapat. Bu Putri pergi mengambil minyak telon untuk mengobati tubuh Bariqi dan Elya yang penuh gigitan semut juga terkena bulu ulat. Dalam hati Bariqi, pria itu terus mengomeli ibunya yang pakai acara bertamasya dengan grub senamnya di Wisata Petik Apel. Ibunya sungguh mengganggu acaranya dengan Elya. Tidak hanya ibunya yang mendapatkan rutukan Bariqi, melainkan ibu-ibu yang lain. Sudah tahu tim senam, tapi pakai acara petik apel. Sudah senam paling semangat, tapi saat pulang makan gorengan, beli punten, sompil, lontong dan lain-lain. Bagi Bariqi, orang paling tidak konsis
Elya masih terdampar di rumah Bariqi. Bahkan saat ini di depannya ada sepiring nasi lengkap dengan urap dan bandeng, makanan kesukaan Elya, tetapi ia tidak enak hati ketika akan memakannya. “Nak, dimakan. Ibu ke dalam dulu, nikmati makanannya,” ujar Putri setelah menyodorkan satu teko air pada Elya. Putri memilih pergi dari ruang tamu agar anak-anaknya tidak canggung. Elya menatap pintu penghubung ruang tamu yang sudah menelan punggung Bu Putri. Elya tidak habis pikir kenapa orang yang sangat kalem dan cantik seperti Bu Putri mempunyai anak seperti Bariqi. “Dimakan, Elya!” titah Bariqi. “Kamu anak hadiah beli pasta gigi ya?” tanya Elya pada Bariqi. Bariqi mengerutkan alisnya bingung. “Kalau tidak gitu, pasti kamu anak pungut. Bagaimana bisa Bu Putri yang lemah lembut punya anak seperti kamu?” tanya Elya lagi. Bariqi menampilkan raut kesalnya, pria itu menjitak kepala Elya dengan pelan. “Mau aku anak hadiah dari pasta gigi atau anak pungut juga bukan urusan kamu,” ketus Bariqi.
Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga sudah dipukul dengan kencang. “Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Ia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi. “Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit. Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi. “Pulang,” jawab Elya. “Oh iya mau aku pesenin ojek online?” Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Nam
“Elya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Vino sedikit ragu. “Boleh,” jawab Elya. “Kamu ada hubungan apa sama Chef Bariqi?” “Babu dan atasannya,” jawab Elya dengan santai. “Maksudku bukan begitu. Em … seperti misalnya teman tapi mesra.” Brakk! “Demi langit bumi bersaksi, apa kamu gila, Vino?” teriak Elya dengan spontan memukul meja dengan kencang. Vino tersentak kaget karena ulah Elya, pria itu mengusap dadanya pelan. “Teman tapi mesra dari mananya? Setiap aku bertemu sama dia, sama saja aku bertemu dengan setan yang sangat ingin aku hindari. Mungkin saat dulu di dalam kandungan aku sangat nakal, suka gigit-gigit jantung ibuku dan main sepak bola dalam perut, makanya saat aku sudah gede, aku dipertemukan sama orang yang freak seperti Bariqi. Melihat tampangnya saja sudah membuatku ingin mencakarnya sampai habis. Lihat wajah sombongnya itu, apa kamu pikir aku mesra sama dia? Jadi temannya saja aku tidak sudi.” Elya mengoceh bertubi-tubi dengan nada yang sangat menggebu-ge
Sejak pagi aura dapur terasa sangat suram dan mencekam. Tidak ada yang salah dari para pekerja yang bekerja dengan giat, tetapi ada salah satu orang yang membuat suasana menjadi terasa mencekam, yaitu Bariqi. Sejak tadi pandangan Bariqi tidak lepas dari Vino, tatapannya sangat tajam menusuk pada pria berusia dua puluh dua tahunan itu. Vino salah tingkah seorang diri, ia merasa tidak membuat kesalahan, tetapi Bariqi terus menatapnya seolah mengibarkan bendera permusuhan.“Vino, kamu buat kesalahan apa?” tanya Chef Edo menyenggol lengan Vino. Chef Edo juga merasa tatapan Bariqi sangat tajam ke arah Vino. Vino menggelengkan kepalanya.“Aku tidak ngapa-ngapain, Chef,” jawab Vino.Edo mengangguk-anggukkan kepalanya, chef senior itu kembali pada pekerjaannya. Sesekali Edo akan melirik ke arah Bariqi. Wajah Bariqi menandakan amarah yang sangat dalam.Teng teng teng! Bariqi memukulkan spatula ke pan dengan kencang. Elya segera menghadap karena itu panggilan untuknya. “Siap chef, ada yang bis
"Mbak, orang tadi temen mbak? Kenapa gak disuruh masuk?" tanya Rafa saat mereka sudah masuk ke kamar Elya."Rafa, jangan pedulikan dia. Kamu duduklah, mbak ambilkan minum," ucap Elya. Rafa melihat raut Elya yang tidak baik-baik saja, kakak perempuan satu-satunya itu seolah tengah menahan tangisnya. Ada jejak air mata di pipi kakaknya."Nanti Rafa ambil sendiri, kakak makan saja ini," ucap Rafa menarik kakanya dan mengajak sang kakak duduk di ranjang dan membuka bolu kukus yang kakaknya taruh di ranjang.Elya memalingkan wajahnya, gadis itu selalu berusaha menyembunyikan tangisannya dari sang adik. Namun Rafa memaksanya duduk untuk makan bolu kukus."Ini kan kesukaan Mbak. Kalau aku yang makan sendiri, nanti mbak ngamuk," ucap Rafa menyodorkan bolu kukus yang sudah ia buka."Kamu buat sendiri?" tanya Elya."Beli," jawab Rafa terkekeh."Eh biar aku suapi," ujar Rafa menarik kembali bolunya. Rafa mengambil pisau plastik yang ada di balik kardus dan memotong bolu itu. Rafa menyuapkan satu