Belum sempat Elya lari, kerah baju belakangnya sudah ditarik pria di belakangnya.
"Mau ke mana?" tanya Bariqi dengan tajam."Aku mau pergi, salah jalan," jawab Elya mencoba berlari, tetapi tarikan tangan Bariqi sangat kuat, membuatnya tidak bisa berkutik."Kamu gak salah jalan, itu Pak Dadang ada di sana," tunjuk Bariqi."Aku nggak beli nasi goreng, lepasin!" titah Elya. Bariqi tidak melepasnya, melainkan pria itu menarik Elya untuk mengikutinya."Eh, eh! Aku mau dibawa ke mana?!" jerit Elya.Elya mencebikkan bibirnya kesal. Hari ini ia sudah kesal dengan Bariqi yang mengganggu tidur siangnya, dan malam ini harusnya ia bisa makan nasi goreng dengan tenang, tetapi ia malah bertemu dengan Bariqi."Sepertinya aku harus belajar lari jarak jauh, biar saat bertemu Bariqi bisa kabur," cicit Elya."Semakin kamu kabur, semakin semangat aku mengejar," jawab Bariqi tersenyum puas."Lepasin, aku mau beli nasi," ucap Elya memaksa Bariqi melepas cekalan tangannya."Aku beli kebanyakan, nih yang satu buat kamu," ujar Bariqi menyerahkan nasi pada Elya. Elya menatap nasi yang disodorkan Bariqi."Nggak, aku bisa beli sendiri," jawab Elya yang kini berlari mendekati Pak Dadang, saat tangan Bariqi tidak lagi memegang kerah baju belakangnya."Elya, aku sudah baik hati memberi kamu nasi," kata Bariqi."Aku masih punya uang untuk beli sendiri. Lagi pula kamu kenapa sih di mana-mana ada? Sehari saja aku pengen gak lihat kamu di mataku," oceh Elya mendorong Bariqi."Sudah ditolong malah mendorong, orang paling nggak tahu diri itu kamu," cibir Bariqi menunjuk-nunjuk kening Elya dengan tangannya."Neng Elya, nasi gorengnya habis," ucap Pak Dadang."Hah? Kok cepet banget? Biasanya jam dua belas masih ada," ujar Elya."Iya, hari ini laris manis," jawab Pak Dadang."Mi aja kalau gitu, Pak. Mie rebus," ujar Elya."Eh! anu, itu ...," Pak Dadang menjawab dengan terbata-bata. Bariqi menatap Pak Dadang, mengisyaratkan agar Pak Dadang bilang habis. Namun, Pak Dadang malah bilang a u a u."Mi-nya juga habis. Makanya makan saja punyaku," sela Bariqi menarik Elya menjauh."Eh! Tetapi mi-nya itu masih ada. Tuh di ember masih banyak!" Elya berteriak nyaring sambil menunjuk tempat mi milik Pak Dadang.Bariqi menatap Pak Dadang dengan tajam. Pria paruh baya itu langsung menyembunyikan mi-nya."Mi-nya sudah dipesan orang," jawab Pak Dadang."Hah, tidak mungkin. Masa, aku nggak kebagian satu porsi pun?" gumam Elya.Pak Dadang menggeleng, sedang Bariqi terus menarik Elya agar menjauh. Orang-orang yang tengah beli di sana pun menatap Bariqi dan Elya yang terlibat percekcokan."Pak, mi-nya habis?" tanya salah satu pelanggan."Tidak, Mbak. Masih bisa pesan. Tadi urusan anak muda yang lagi pacaran," jawab Pak Dadang yang merasa tidak enak hati. Kalau dia tidak diberi uang seratus ribuan, ia tidak sudi menuruti ucapan Bariqi.Bariqi mengempaskan tubuh Elya saat sudah jauh dari Pak Dadang. Pria itu juga memaksa Elya untuk duduk di atas trotoar."Makanya nurut dengan ucapanku. Aku sudah baik hati memberimu nasi," ucap Bariqi memberikan kantong kresek pada Elya."Aku tahu pasti Pak Dadang tadi bohong. Masa jam segini semua sudah habis. Terus orang-orang yang antre di sana itu apa?" balas Elya tidak mau kalah."Sudah jangan berteriak, berisik!" seru Bariqi.Bariqi mengambil duduk di samping Elya, pria itu mengalah membukakan nasi untuk gadis di sampingnya. "Nih makan!" titah Bariqi menyerahkan nasi dan sendok plastik pada Elya. Eya menatap Bariqi dengan pandangan penuh selidik."Jangan-jangan kamu memasukkan racun di sini," tuduh Elya.Bariqi mengambil sendok satu lagi dan menyendokkan nasi milik Elya ke mulutnya, "Kalau ini aku beri racun, kita akan mati bersama," ucapnya.Melihat Bariqi yang berani memakan, Elya pun dengan pelan mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Ia sudah lapar sejak tadi, tetapi baru keluar dari mess sekarang. Dan ia malah bertemu Bariqi yang bertingkah aneh memberinya nasi.Elya merasakan hidungnya tertusuk saat mencium parfum Bariqi yang kelewat wangi. Saking wanginya membuat hidung Elya sangat gatal. Elya mencuri pandang ke arah Bariqi yang saat ini membuka nasinya sendiri. Merasa dilirik oleh Elya, membuat Bariqi tersenyum penuh kemenangan.Dengan penuh percaya diri ia menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan gadis mungil di sampingnya. Elya menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan pria berbaju hitam itu. Namun, semakin Elya menjauh, semakin pula Bariqi bergeser agar dekat dengan gadis itu."Chef apaan sih dekat-dekat aku?" tanya Elya ketus."Siapa yang dekat dengan kamu? PD banget jadi orang," hardik Bariqi."Lah, itu terus geser ke aku.""Aku geser ke kamu agar kamu ketularan wangi tubuhku.""Bau parfum kamu bikin aku mual. Lagian kamu kenapa pakai parfum sampai baunya menyengat gini. Kamu mau beli nasi goreng atau mau pergi cari sesajen, wanginya kayak orang mau cari pesugihan," maki Elya.Bariqi tercekat mendengar ucapan Elya. Ia berdandan lama dan menyemprot dirinya dengan parfum yang banyak agar Elya meliriknya. Parfum yang digunakan Bariqi pun bukan parfum kaleng-kaleng, parfum dengan merek ternama dengan aroma jeruk mandarin yang dipadukan dengan ice tonic, yang membuat harum lebih elegan. Bariqi juga sengaja memakai kaus casual hitam dan menata rambutnya rapi agar terlihat lebih menawan, tetapi Elya benar-benar tidak mau meliriknya. Gadis itu menghina Bariqi secara terang-terangan!Elya terdiam di tempatnya, gadis itu memakan nasi yang dibelikan Bariqi. Elya tampak makan dengan lahap, sesekali Bariqi akan melirik ke arah gadis itu yang telinganya tidak lagi tersumpal headset. Bariqi tidak tahu kenapa Elya bisa menarik perhatian banyak laki-laki di tempat kerjanya. Perawakan yang kecil sama sekali tidak menarik, tapi Bariqi pun sama dengan laki-laki lain yang selalu ingin menarik perhatian Elya. Hanya saja semua perasaannya tertutup oleh perasaan gengsi. Bariqi menyisihkan ayam dan telur di nasi gorengnya, pria itu memberikannya di nasi goreng Elya. “Aku gak suka ayam dan telurnya,” ujar Bariqi. Elya tidak menjawab, gadis itu tetap memakan nasinya yang kini ada ayam yang lebih banyak. Elya melirik Bariqi yang sudah selesai makan, pria itu menuju ke motor untuk mengambil air mineral yang tersimpan di jog. Elya benar-benar tidak mengelak kalau malam ini Bariqi jauh lebih tampan dari pada saat memakai baju koki. Perawakan tinggi tegap, rambut rapi dan wangi yang
Elya memasuki kamarnya dan membanting pintu dengan asal, gadis itu segera menuju ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Elya mengusap air matanya yang masih saja terjatuh. Padahal Elya sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lebih dari dua kali satu minggu. Namun hari ini ia sudah menangis dua kali. Hal yang menjadi pantangan Elya adalah menangis, tapi mau bagaimana lagi, ia tetap perempuan yang rapuh. Suara nada dering terdengar dari hp Elya, gadis itu buru-buru mengambilnya. Elya menerima telepon dari ibunya. “Assalamualaikum, ibu,” sapa Elya berusaha menggunakan nada seceria mungkin. “Waalaikumsalam, Elya. Bagaimana kerja kamu? Lancar?” “Lancar, Bu.” “Uangnya sudah ditransfer belum?” "Ibu butuh uang berapa memang?""Tidak banyak, hanya lima ratus ribu." "Oh.""Jadi gimana? Sudah atau belum?"Elya kembali ingin menangis. Ini masih di tengah bulan yang uangnya pun sudah pas-pasan, tapi ia sudah ditanya uang lagi oleh Ibunya. Elya melirik tempat ia menyimpan bera
Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah. “Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya. Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup w
“Hari ini kamu gak usah kerja,” ucap Bariqi yang membuat Elya menatap pria itu. “Aku telpon manager untuk ijin kamu. Lagian tidak banyak orderan hari ini,” tambah Bariqi sembari mencuci gelas bekas jahe anget. “Enak saja, aku tetap kerja meski gak banyak orderan. Kalau gak kerja gajiku dipotong sehari, bisa rugi bandar,” oceh Elya. “Aku ganti.” “Gak usah seenaknya jadi orang. Aku mau kerja hasil keringatku sendiri. Sekarang kamu keluar dari sini!” titah Elya menarik tangan Bariqi. “Gak, aku gak akan keluar,” kata Bariqi dengan keukeuh. “Terus mau kamu apa sih?” “Aku mau kamu ikut aku.” “Aku harus kerja.” “Gak usah kerja, aku ijinkan sama manajer.” “Kok kamu seenaknya sendiri jadi orang. Aku asistenmu di kerjaan, tapi aku bukan siapa-siapa kamu saat di luar,” sentak Elya ingin menendang kaki Bariqi. Namun Bariqi segera menghindar. Bariqi merogoh celananya, mengambil dompet dan menarik dua kartu debit berwarna biru dan hitam. Elya membulatkan matanya melihat itu. S
Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng
Saat ini Bariqi dan Elya tengah duduk di ruang tamu rumah Bariqi. Tadi saat Elya sudah masuk ke mobil Bariqi dan Bariqi tengah membayar apel, ibu Bariqi nyelonong masuk ke mobil Bariqi dan ingin ikut anaknya bersama seorang gadis bernama Elya. Mau tidak mau Bariqi pun membiarkan ibunya ikut ke mobilnya. Ibunya memaksanya pulang bersama Elya. Bariqi duduk diam, sedangkan Elya di sampingnya pun juga mengunci mulutnya rapat. Bu Putri pergi mengambil minyak telon untuk mengobati tubuh Bariqi dan Elya yang penuh gigitan semut juga terkena bulu ulat. Dalam hati Bariqi, pria itu terus mengomeli ibunya yang pakai acara bertamasya dengan grub senamnya di Wisata Petik Apel. Ibunya sungguh mengganggu acaranya dengan Elya. Tidak hanya ibunya yang mendapatkan rutukan Bariqi, melainkan ibu-ibu yang lain. Sudah tahu tim senam, tapi pakai acara petik apel. Sudah senam paling semangat, tapi saat pulang makan gorengan, beli punten, sompil, lontong dan lain-lain. Bagi Bariqi, orang paling tidak konsis
Elya masih terdampar di rumah Bariqi. Bahkan saat ini di depannya ada sepiring nasi lengkap dengan urap dan bandeng, makanan kesukaan Elya, tetapi ia tidak enak hati ketika akan memakannya. “Nak, dimakan. Ibu ke dalam dulu, nikmati makanannya,” ujar Putri setelah menyodorkan satu teko air pada Elya. Putri memilih pergi dari ruang tamu agar anak-anaknya tidak canggung. Elya menatap pintu penghubung ruang tamu yang sudah menelan punggung Bu Putri. Elya tidak habis pikir kenapa orang yang sangat kalem dan cantik seperti Bu Putri mempunyai anak seperti Bariqi. “Dimakan, Elya!” titah Bariqi. “Kamu anak hadiah beli pasta gigi ya?” tanya Elya pada Bariqi. Bariqi mengerutkan alisnya bingung. “Kalau tidak gitu, pasti kamu anak pungut. Bagaimana bisa Bu Putri yang lemah lembut punya anak seperti kamu?” tanya Elya lagi. Bariqi menampilkan raut kesalnya, pria itu menjitak kepala Elya dengan pelan. “Mau aku anak hadiah dari pasta gigi atau anak pungut juga bukan urusan kamu,” ketus Bariqi.