Bariqi kembali ke dapur dengan napas yang terus memburu. Pria itu masih mengingat jelas bagaimana marahnya ia saat mendengar Elya berkencan. Namun, siapa sangka kalau Elya berkencan dengan kasur. Bariqi berdiri di pembatas dapur panas dan dapur dingin, pria itu meneguk air mineral. Satu botol air mineral tandas dalam sekejap, pria itu kembali mengambil air dan meneguknya lagi. Wajah Bariqi memerah dan pipinya terasa panas.
Plak!Plak!Bariqi memukul-mukul pipinya sendiri, "Kenapa aku heboh sekali," gerutu Bariqi.Napas Bariqi masih naik-turun, pria itu melempar botolnya ke meja dengan asal. Bariqi berkacak pinggang, pria itu salah tingkah dan bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Hanya mendengar kata 'kencan', sudah membuatnya menggila!Chef Vino mencuri pandang ke arah Bariqi, pria seumuran Elya itu tampak penasaran dengan apa yang terjadi. Bibir Vino sudah terbuka, pria itu bersiap bertanya. Bertepatan dengan itu, Bariqi juga menatap Vino."Ada apa?!" pekik Bariqi."Eh itu, tadi bagaimana keadaan Elya?" tanya Vino."Kenapa kamu nanyain dia? Dan kenapa kamu tidak memberitahuku kalau Didi yang dimaksud itu kasur?" sentak Bariqi, membuat para koki mendongak menatap pria itu. Sedangkan yang ditatap balik menatap mereka."Lah, Chef tidak tahu?" tanya Chef Edo."Tidak," jawab Bariqi sambil menggaruk pipinya."Didi itu nama kasur, Elya cinta sama Didi," kata Vino."Dasar si bodoh itu. Apa gunanya mencintai kasur," maki Bariqi mengambil botolnya lagi yang tadi sempat ia lempar."Kalian semua juga salah, kenapa tadi tidak memberitahu soal Didi. Kalian hanya bilang kalau Elya kencan," oceh Bariqi lagi."Buat apa Chef bertanya soal Elya? Chef tidak lagi jatuh cinta sama Elya, kan?" timpal Edo."Uhuk uhuk ...."Bariqi terbatuk-batuk mendengar ucapan Chef Edo, pria itu menatap sinis chef yang lebih tua darinya. "Aku jatuh cinta sama Elya? Chef Edo bercanda, ya? Di hotel ini sembilan puluh persen wanitanya cantik semua, yang tidak cantik hanya Elya. Di dunia ini banyak wanita cantik, bisa gila kalau aku jatuh cinta sama dia!" ujar Bariqi menggebu-gebu."Kalau tidak jatuh cinta, ya tidak perlu heboh dan salah tingkah," balas Chef Edo. Di antara yang lain, yang paling berani dengan Bariqi hanya Chef Edo."Siapa yang salah tingkah? Aku biasa saja!""Ya, ya ... baiklah, kalau biasa," jawab Chef Edo.Bariqi segera menarik apron yang ada di bawah meja, pria itu kembali bekerja meski tidak fokus. Fokusnya hanya pada Elya, gadis yang sejak pertama kali ia lihat sudah mengusik dirinya. Sebenarnya Elya hanya diam, hanya saja Bariqi yang terlalu terbawa perasaan dengan gadis itu.***Pukul 7 malam, Bariqi sudah mandi, dan duduk dengan manis di atas motor bebek miliknya. Bariqi menata rambutnya di depan spion, pria itu juga membawa parfum di tangannya dan menyemprotkan ke tubuhnya. Pria dua puluh tujuh tahun itu mencium harum tubuhnya sendiri. Dirasa belum harum, Bariqi kembali menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Mulai dari dada, ketiak, sampai resleting celananya.Bariqi membuang parfumnya dengan asal saat dirasa isinya sudah habis, pria itu kembali melihat dirinya di kaca spion, melihat penampilan sendiri apakah sudah menarik atau belum. Bariqi menegakkan tubuhnya, pria itu memutar kunci motor dan bergegas menjalankan keluar dari pekarangan rumahnya.Bariqi menjalankan motornya membelah kawasan kecamatan Bumiaji, pria itu menuju ke tempat penjual nasi goreng yang tidak jauh dari mess Elya. Nasi goreng di warung Pak Dadang selalu menjadi langganannya dan Elya.Pria yang kini tengah memakai baju hitam dan tampak tampan saat mengenakan pakaian casual pun menghentikan motornya saat sampai di warung Pak Dadang. Pria itu bergegas turun dan mendekati Pak Dadang."Pak, nasi goreng dua bungkus," seru Bariqi."Siap, Mas. Ditunggu sebentar ya," kata Pak Dadang. Bariqi mengangguk."Em, Pak. Tadi ada cewek rambut pendek, jelek dan hitam yang beli nasi, nggak?" tanya Bariqi berbisik."Elya?" tanya Pak Dadang yang tepat sasaran. Pasalnya, Pak Dadang pun sudah hafal siapa yang sering dicari Bariqi. Bariqi selalu menyebut Elya dengan ciri-ciri pendek, jelek dan hitam."Belum ke sini, Mas. Mungkin sebentar lagi," jawab Pak Dadang."Pak, ini. Nanti kalau dia beli, bilang saja nasinya habis," bisik Bariqi menyerahkan satu lembar uang seratus ribu pada Pak Dadang."Apa maksudnya, Mas?""Bilang saja begitu," bisik Bariqi lagi. Dengan lancang Bariqi memasukkan uang seratus ribuan ke dalam kotak uang milik Pak Dadang.Bariqi segera menjauhkan tubuhnya dari Pak Dadang, pria itu berdiri di pinggir jalan. Raganya boleh berdiri dengan tegak, tetapi matanya terus jelalatan ke arah kiri untuk melihat apakah ada Elya di sana. Bariqi mulai tidak sabar, pria itu menggerakkan kakinya dengan gelisah.Tujuannya ke sini untuk menanti Elya, tetapi yang dinanti tidak kunjung datang. Di trotoar pinggir jalan hanya ada pemuda yang tengah nongkrong. Bariqi sudah menyorot tajam ke arah sana, kalau sampai ia melihat Elya genit saat lewat di sana, ia akan menghajar Elya habis-habisan."Mas, ini nasinya," ucap Pak Dadang mendekati Bariqi, dia membawa satu kantong kresek berwarna hitam."Makasih, Pak," kata Bariqi menerima pesanannya.Bariqi masih berusaha menyetok kesabarannya, melihat ke pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul 7:30, tetapi si bodoh Elya belum juga menampakkan batang hidungnya. Tidak bertemu Elya beberapa jam saja sudah membuat Bariqi kalang kabut.Dari kejauhan, Elya berjalan seorang diri sambil bersenandung pelan. Di telinganya ada headset yang tersambung dengan ponsel yang ada di jaketnya. Elya tampak menggerakkan kepalanya mengikuti irama lagu yang menjadi kesukaannya.Setiap malam, gadis itu selalu membeli makanan di luar karena malas memasak. Nasi goreng Pak Dadang selalu menjadi langganannya. Sudah murah, enak lagi.Gadis itu melewati tempat tongkrongan pria dengan santai, beberapa pria yang sedang duduk di trotoar tampak melemparkan godaaan padanya, tetapi sekali pun Elya tidak menoleh."Cantik, noleh, dong!" seru seorang pria seumuran Elya. Di samping mess Elya saat malam selalu diisi pemuda yang nongkrong sambil membeli kopi keliling."Elya, noleh dong!" teriak seorang pria dengan kencang.Bukannya Elya yang menoleh, melainkan Bariqi. Bariqi menatap ke arah kiri, pria itu menatap bengis ke arah para pemuda di trotoar, yang mencoba menggoda Elya. Elya mendongak, matanya bertatapan dengan mata Bariqi."Oh tidak, ada orang itu," gumam Elya segera berbalik. Gadis itu ancang-ancang lari, tetapi Bariqi lebih cepat berlari menghampiri Elya.Pernikahan bukanlah akhir dari sebuah kisah, melainkan awal untuk memulai kehidupan yang baru. Sudah terhitung satu minggu Elya dan Bariqi menikah. Elya tidak tinggal lagi di Tulungagung, melainkan gadis itu ikut suaminya ke Batu. Bariqi diberi satu rumah oleh ayahnya untuk dia tempati bersama Elya. Selama satu minggu itu belum terjadi sesuatu antara Elya dan Bariqi. Bariqi belum menyentuh Elya karena bocah itu yang merengek belum siap. Bariqi harus mengalah karena saat dia akan mendekati Elya, Elya malah menangis. Hari ini terakhir kali Bariqi cuti dari pekerjaannya dan besok dia harus bekerja lagi, begitu pun dengan Elya. Bariqi menatap Elya yang memasak di dapur, sedangkan dia duduk di samping kulkas sembari meminum air. Pandangan Bariqi tidak lepas dari punggung kecil Elya. “Aduh … dasar wajan kurangajar. Gak lihat apa kalau di sini ada tangan, malah nyentuh tanganku. Dipikir gak panas,” omel Elya saat tangannya terkena wajan panas. Bariqi hampir menyemburkan airnya saat mend
48.Niat hati Elya tidak ingin menikah muda. Masih banyak cita-cita yang ingin Elya gapai. Menjadi koki utama misalnya, karena selama ini Elya hanya menjadi asisten Bariqi. Karir Elya mulai naik lagi saat dia dipindah tempat menjadi seorang bartender. Namun, untuk sekarang karir Elya terpaksa harus dihentikan. Waktu berlalu begitu cepat. Elya yang semula tidak mendapatkan restu dari ibunya, kini restu sudah dia kantongi. Acara lamarannya dengan Bariqi berjalan lancar. Dengan sepenuh hati ayah dan ibu Elya menerima Bariqi untuk menjadi menantunya. Satu tahun setelah lamaran Elya, tepat di usia Elya yang ke dua puluh satu tahun, Elya dan Bariqi resmi menikah. Hari ini adalah hari spesial untuk Bariqi dan Elya setelah empat tahun pertemuan mereka. Bariqi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu juga ayah Elya. Pernikahan sudah sah secara agama dan negara. Pernikahan yang dilakukan hanya pernikahan sederhana, ijab qobul dan resepsi pernikahan yang dihadari oleh teman-teman Elya.
Seorang Gadis tengah mengocok shaker koktail di depan para pelanggannya. Elya sudah menguasai teknik shak setelah beberapa lama berada di bar. Perempuan itu dalam sekejap menjadi perempuan idola. Bahkan ada pelanggan yang terang-terangan setiap hari datang dan mengatakan kagum dengan Elya. Kalau lagi gabut, Elya akan balik menggoda para pelanggannya. Tapi itu hanya manis di bibir, kalau perasaannya hanya untuk Bariqi. Kendati demikian, Bariqi tidak bisa jenak dan ingin Elya berada di dapur saja. Bagi Bariqi, di bar terlalu banyak buaya yang siap memangsa Elya. Namun, Bariqi tidak sadar kalau dirinya juga buaya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi Elya masih belum selesai dengan pekerjaannya. Elya pulang jam delapan sesuai jam kerja yang baru. Saat asik atraksi di depan para tamu, seorang pria tampan mendatangi Elya. Pandangan Elya mengarah tepat ke Bariqi, kalau dilihat-lihat orang yang sudah melamarnya itu sangat tampan. “Elya, seorang gadis dua puluh tahun, yang cant
Bariqi menggelengkan kepalanya, dia merasa bahwa dirinya sudah gila. Hanya gadis kecil yang bahkan dilihat sekilas biasa saja, tetapi Bariqi bisa jatuh cinta sedalam ini. “Kenapa tersenyum sendiri?” tanya Putri berdiri di depan pintu kamar anaknya. Bariqi terkesiap, pria itu langsung bangun dan menatap ibunya, “Ibu, kenapa ibu masuk nggak ketuk pintu? Kalau aku sedang ganti baju bagaimana?” tanya Bariqi bertubi-tubi. “Tapi kenyataannya kamu nggak sedang ganti baju, tapi kamu sedang senyum-senyum sendirian,” jawab Putri terkekeh. Bariqi malu bukan main, pria itu menarik selimut dan menyelimuti separuh tubuhnya. Putri melangkahkan kakinya mendekati Bariqi. Perempuan paruh baya itu duduk di ranjang anaknya. Tangan lembutnya mengelus puncak kepala Bariqi. Entah kenapa tiba-tiba Putri merasa sedih. Bukan maksud apa-apa, tetapi anaknya yang dulu kecil kini sudah menjadi pria dewasa. Putri selalu ingin anaknya menikah, tetapi saat tadi Bariqi pulang mengatakan sudah melamar Elya dan ing
Elya menatap sinis ke arah Bariqi, saat ini Bariqi dan Elya tengah kencan di sebuah cafe yang ada di tengah kota. Cafe dengan penuh lampion yang sangat indah dan estetik untuk digunakan berfoto. Namun, Elya masih saja sinis perkara tadi saat Bariqi bersama Sera.“Situ boleh cemburu sama aku, tapi aku nggak boleh cemburu sama situ,” cibir Elya sambil mencebik-cebikan bibirnya.“Huh, dasar laki-laki semaunya sendiri. Kalau cemburu saja aku kayak mau dibanting di tempat, tapi aku sendiri yang cemburu malah gak boleh. Curang banget jadi cowok,” cibir Elya lagi.Sudah setengah jam mereka nongkrong di cafe, tetapi Elya tidak kunjung berhenti nyinyir. Kejadian tadi sore, tetapi masih diungkit sampai sekarang.“Rasanya mau ganti cowok saja. Cowok yang lebih … hmppp-”Ucapan Elya terhenti saat Bariqi menjejalkan kentang ke bibir Elya. Mata Elya melotot, perempuan itu menggebrak meja dengan kencang.“Hishh … apa-apaan kamu ini!” pekik Elya setelah menelan kentangnya.“Dari pada kamu terus ribut
Sudah satu minggu Elya kembali ke tempat kerja yang semula. Namun, Elya tidak berada di bagian dapur lagi. Melainkan di bagian bar. Elya meracik minuman alkohol di bar mewah yang ada di hotel. Tugas Elya dipindah ke sana bersama Vino. Awalnya Bariqi sangat tidak setuju Elya dipindah ke sana, tetapi itu keputusan papanya yang tidak bisa diganggu gugat. Umumnya, Bar dibuka saat malam hari. Namun, berbeda kalau di hotel Sunflowers di mana Bar buka dua puluh empat jam. Siang hari juga sangat ramai pengunjung. Elya sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya. Namun, berada di bar membuat Bariqi sering ngambek. Pasalnya banyak cowok di sana yang membuat Bariqi cemburu. Apalagi teman kerja Elya adalah Vino. Di dapur, Bariqi tampak bekerja dengan semangat meski pikirannya terkadang fokus pada Elya. “Sera, semua bahan yang dibutuhkan sudah siap?” tanya Bariqi kepada Sera. “Sudah, Chef,” jawab perempuan itu dengan cekatan mendekatkan bahan-bahan makanan yang diperlukan. Bariqi langsung