Elya memasuki kamarnya dan membanting pintu dengan asal, gadis itu segera menuju ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Elya mengusap air matanya yang masih saja terjatuh. Padahal Elya sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lebih dari dua kali satu minggu. Namun hari ini ia sudah menangis dua kali. Hal yang menjadi pantangan Elya adalah menangis, tapi mau bagaimana lagi, ia tetap perempuan yang rapuh.
Suara nada dering terdengar dari hp Elya, gadis itu buru-buru mengambilnya. Elya menerima telepon dari ibunya.
“Assalamualaikum, ibu,” sapa Elya berusaha menggunakan nada seceria mungkin.
“Waalaikumsalam, Elya. Bagaimana kerja kamu? Lancar?”
“Lancar, Bu.”
“Uangnya sudah ditransfer belum?”
"Ibu butuh uang berapa memang?"
"Tidak banyak, hanya lima ratus ribu."
"Oh."
"Jadi gimana? Sudah atau belum?"
Elya kembali ingin menangis. Ini masih di tengah bulan yang uangnya pun sudah pas-pasan, tapi ia sudah ditanya uang lagi oleh Ibunya. Elya melirik tempat ia menyimpan beras, bahkan untuk makan esok hari ia tidak ada beras, dan sekarang ibunya menanyakan uang.
“Maaf, Bu. Belum ada karena gajian masih di awal bulan,” jawab Elya.
“Oh.”
“Besok aku tidak bisa makan, Bu. Beras ha-”
Tut!
Panggilan terputus dengan sepihak. Elya tertawa kecil, gadis itu meletakkan hpnya di meja dan segera menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya sampai ujung kepala.
Isakan kecil lagi-lagi terdengar dari bibir mungilnya. Ia jauh dari keluarga, tidak punya sanak saudara, bekerja keras di kota orang, sekali pun keadaannya tidak pernah ditanyakan apakah baik-baik saja. Siklus hidup Elya pun hanya bekerja, gajian, habis, bekerja lagi. Begitu terus meski ia lelah.
Sebenarnya obat lelah Elya hanya sederhana, ditanya bagaimana kabarnya, sudah makan atau belum, baik-baik saja, kah? Namun orang-orang yang ia sayangi, tidak pernah bertanya demikian. Bahkan orang tuanya pun tidak mau mendengar apa yang menjadi keluhannya di kota orang. Elya tidak pamrih memberikan apapun, hanya saja ia ingin juga merasa dipedulikan sebagai seorang anak.
“Kuat Elya, kamu gadis yang kuat,” ujar Elya seorang diri. Siapa lagi yang bisa menguatkan Elya selain dirinya sendiri? Tidak ada.
Malam ini Bariqi tidak bisa tidur nyenyak. Pria itu telentang di ranjangnya sembari memainkan headset berwarna pink milik Elya. Setelah Elya pergi, Bariqi pun memungut headset dan memilih pulang. Bariqi merasa ia sudah gila, kini seluruh pikirannya hanya memikirkan Elya. Elya tidak mau keluar dari otaknya barang sejenak pun, bahkan saking gilanya Bariqi menciumi headset milik gadis yang selalu dia rundung.
“Akhhh!” Bariqi mengerang frustasi dan segera bangun. Bariqi menyambar hp yang tidak jauh darinya. Pria itu tengah menimang-nimang hpnya, bingung antara menghubungi Elya atau diam.
Bariqi melihat profil w******p milik Elya. Tidak ada tanda-tanda online. Status terakhir dilihat pun tidak ditampilkan. Bariqi melempar hpnya lagi, pria itu kembali merebahkan tubuhnya.
Perasaan Bariqi sangat kacau memikirkan Elya. Ia tidak terbiasa dengan sikap Elya yang seperti tadi. Biasanya kalau Elya marah, Elya akan mengomel atau menyerangnya dengan memukul lengan atau dadanya. Namun malam ini semuanya berbeda. Elya bukan lagi gadis yang marah saat ia ejek, bukan lagi gadis yang sering memukulnya tatkala kesal.
Melihat air mata Elya membuat hati Bariqi terasa sakit, sekian tahun ia bersama Elya, baru kali ini ia melihat Elya menangis.
Ingatan kemarin merasuki pikiran Bariqi, saat Elya mengatakan semua bahan makanan habis. Bariqi segera melompat dari ranjang, pria itu menyambar jaket, dompet dan kunci mobilnya. Dengan tergesa-gesa Bariqi keluar dari rumahnya.
“Nak, mau kemana?” tanya Ibu Bariqi yang melihat anaknya tergesa-gesa.
“Mau ke Mess Elya, Bu,” jawab Bariqi.
“Ibu sudah menanti lama kamu bawa Elya ke rumah, tapi kenapa sampai saat ini kamu masih menyembunyikan dia dari ibu?” tanya Putri, Ibu Bariqi. Setiap saat Bariqi selalu membicarakan Elya, Putri sangat penasaran dengan gadis yang bernama Elya itu. Namun Bariqi tidak pernah membawanya ke rumah. Hanya suaminya lah yang tahu siapa sebenarnya Elya.
“Dia belum jinak, belum bisa dikenalkan ke ibu,” jawab Bariqi sembari ngacir begitu saja meninggalkan ibunya.
Bariqi memasuki mobilnya dan menjalankannya membelah jalanan kota Batu. Sedangkan Putri, perempuan paruh baya itu menatap suaminya yang duduk menghadap televisi.
“Biarkan saja, Bu. Elya anak yang baik, ayah mengenalnya,” ujar Prasetyo, suami Putri sekaligus ayah Bariqi, pemilik hotel Sunflower tempat Bariqi dan Elya bekerja.
Prasetyo mengenal betul Elya, ia kerap kali mendengar desas desus tentang Bariqi yang selalu merundung dan bersikap semena-mena dengan Elya. Meski Bariqi tidak pernah cerita padanya, tapi Prasetyo sudah tahu semuanya termasuk ia yang bisa menebak kalau Bariqi jatuh cinta dengan Elya.
“Dia selalu semangat membicarakan Elya, tapi belum pernah membawa ke sini,” rajuk Putri. Yang dikatakan Putri benar adanya, Bariqi selalu membicarakan Elya. Katanya Elya gadis yang menyebalkan, cuek dan selalu menentang. Namun berbeda dengan raut kesal Bariqi saat menceritakan Elya, nada suara Bariqi terdengar semangat.
Bariqi sampai di mall yang ada di tengah kota, pria yang tengah memakai jaket hitam itu segera masuk ke mall dan mengambil troli. Bariqi tidak bisa serta merta mengabaikan Elya, pria itu membeli banyak bahan makanan, mulai beras, sayur, dan banyak camilan untuk Elya. Tidak lupa susu kotak rasa coklat dan stroberi kesukaan Elya. Hal kecil yang dilakukan Elya, sudah dihafal Bariqi di luar kepala.
Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, pria itu segera membayar dan bergegas ke mess. Malam masih menunjukkan pukul sepuluh malam, Bariqi sampai di mess Elya dan membawa dua kardus besar barang kebutuhan Elya. Pria itu meletakkannya di depan pintu mess Elya.
Bariqi menghembuskan napasnya lega. Pria itu mengambil duduk di kursi depan mess Elya. Ia tidak mau mengetuk pintu, takut mengganggu Elya yang mungkin sudah tertidur. Namun, Bariqi pun enggan untuk pergi. Ia ingin menjaga Elya di sana, meski Elya tidak mengetahuinya.
Bariqi semakin mengeratkan jaketnya saat merasa hawa malam menusuk kulitnya. Hawa di Kota Batu lebih dingin dari kota lain, karena Batu berada di kawasan dataran tinggi. Bariqi memejamkan matanya, pria itu mencoba tidur, meski ada nyamuk yang mencoba mendekatinya.
Malam semakin larut, suara dengungan nyamuk yang bertebaran pun mengganggu Bariqi. Bariqi yang notabene anak orang kaya, tidak pernah merasakan hidup susah, di rumahnya ada fasilitas yang mewah, tapi kali ini rela tidur di luar demi menjaga Elya.
Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah. “Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya. Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup w
“Hari ini kamu gak usah kerja,” ucap Bariqi yang membuat Elya menatap pria itu. “Aku telpon manager untuk ijin kamu. Lagian tidak banyak orderan hari ini,” tambah Bariqi sembari mencuci gelas bekas jahe anget. “Enak saja, aku tetap kerja meski gak banyak orderan. Kalau gak kerja gajiku dipotong sehari, bisa rugi bandar,” oceh Elya. “Aku ganti.” “Gak usah seenaknya jadi orang. Aku mau kerja hasil keringatku sendiri. Sekarang kamu keluar dari sini!” titah Elya menarik tangan Bariqi. “Gak, aku gak akan keluar,” kata Bariqi dengan keukeuh. “Terus mau kamu apa sih?” “Aku mau kamu ikut aku.” “Aku harus kerja.” “Gak usah kerja, aku ijinkan sama manajer.” “Kok kamu seenaknya sendiri jadi orang. Aku asistenmu di kerjaan, tapi aku bukan siapa-siapa kamu saat di luar,” sentak Elya ingin menendang kaki Bariqi. Namun Bariqi segera menghindar. Bariqi merogoh celananya, mengambil dompet dan menarik dua kartu debit berwarna biru dan hitam. Elya membulatkan matanya melihat itu. S
Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng
Saat ini Bariqi dan Elya tengah duduk di ruang tamu rumah Bariqi. Tadi saat Elya sudah masuk ke mobil Bariqi dan Bariqi tengah membayar apel, ibu Bariqi nyelonong masuk ke mobil Bariqi dan ingin ikut anaknya bersama seorang gadis bernama Elya. Mau tidak mau Bariqi pun membiarkan ibunya ikut ke mobilnya. Ibunya memaksanya pulang bersama Elya. Bariqi duduk diam, sedangkan Elya di sampingnya pun juga mengunci mulutnya rapat. Bu Putri pergi mengambil minyak telon untuk mengobati tubuh Bariqi dan Elya yang penuh gigitan semut juga terkena bulu ulat. Dalam hati Bariqi, pria itu terus mengomeli ibunya yang pakai acara bertamasya dengan grub senamnya di Wisata Petik Apel. Ibunya sungguh mengganggu acaranya dengan Elya. Tidak hanya ibunya yang mendapatkan rutukan Bariqi, melainkan ibu-ibu yang lain. Sudah tahu tim senam, tapi pakai acara petik apel. Sudah senam paling semangat, tapi saat pulang makan gorengan, beli punten, sompil, lontong dan lain-lain. Bagi Bariqi, orang paling tidak konsis
Elya masih terdampar di rumah Bariqi. Bahkan saat ini di depannya ada sepiring nasi lengkap dengan urap dan bandeng, makanan kesukaan Elya, tetapi ia tidak enak hati ketika akan memakannya. “Nak, dimakan. Ibu ke dalam dulu, nikmati makanannya,” ujar Putri setelah menyodorkan satu teko air pada Elya. Putri memilih pergi dari ruang tamu agar anak-anaknya tidak canggung. Elya menatap pintu penghubung ruang tamu yang sudah menelan punggung Bu Putri. Elya tidak habis pikir kenapa orang yang sangat kalem dan cantik seperti Bu Putri mempunyai anak seperti Bariqi. “Dimakan, Elya!” titah Bariqi. “Kamu anak hadiah beli pasta gigi ya?” tanya Elya pada Bariqi. Bariqi mengerutkan alisnya bingung. “Kalau tidak gitu, pasti kamu anak pungut. Bagaimana bisa Bu Putri yang lemah lembut punya anak seperti kamu?” tanya Elya lagi. Bariqi menampilkan raut kesalnya, pria itu menjitak kepala Elya dengan pelan. “Mau aku anak hadiah dari pasta gigi atau anak pungut juga bukan urusan kamu,” ketus Bariqi.
Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga sudah dipukul dengan kencang. “Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Ia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi. “Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit. Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi. “Pulang,” jawab Elya. “Oh iya mau aku pesenin ojek online?” Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Nam
“Elya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Vino sedikit ragu. “Boleh,” jawab Elya. “Kamu ada hubungan apa sama Chef Bariqi?” “Babu dan atasannya,” jawab Elya dengan santai. “Maksudku bukan begitu. Em … seperti misalnya teman tapi mesra.” Brakk! “Demi langit bumi bersaksi, apa kamu gila, Vino?” teriak Elya dengan spontan memukul meja dengan kencang. Vino tersentak kaget karena ulah Elya, pria itu mengusap dadanya pelan. “Teman tapi mesra dari mananya? Setiap aku bertemu sama dia, sama saja aku bertemu dengan setan yang sangat ingin aku hindari. Mungkin saat dulu di dalam kandungan aku sangat nakal, suka gigit-gigit jantung ibuku dan main sepak bola dalam perut, makanya saat aku sudah gede, aku dipertemukan sama orang yang freak seperti Bariqi. Melihat tampangnya saja sudah membuatku ingin mencakarnya sampai habis. Lihat wajah sombongnya itu, apa kamu pikir aku mesra sama dia? Jadi temannya saja aku tidak sudi.” Elya mengoceh bertubi-tubi dengan nada yang sangat menggebu-ge