Veronica memandangi jendela kamar tidurnya (yah, secara teknis, adalah kamar kosong di mansion Stephen yang disiapkan oleh Stephen untuknya sebagai tempat tinggalnya untuk sementara waktu) seraya menikmati suara dari tetesan air hujan yang membasahi Waterford city. Suara hujan yang turun di awal musim dingin kali ini entah kenapa berhasil menenangkan pikirannya yang kalut karena memikirkan banyak hal yang terjadi belakangan ini, sehingga ia kini memahami alasan di balik perusahaan startup yang bergerak di bidang pengembangan diri seperti Forest––aplikasi manajemen waktu dengan teknik Pomodoro favoritnya––mau menginvestasikan waktu mereka untuk menciptakan suara air hujan sebagai bagian dari fitur khusus untuk pelanggan premium. Salah satu dari aplikasi pertama yang langsung ia unduh begitu ia mendapatkan smartphone sebagai hadiah kelulusan SMA-nya dari kakak perempuannya dua tahun lalu.
Ben
Halo semuanya, Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca Choosing Between Dragon and Werewolf. Jika kalian suka dengan ceritanya, kalian bisa tinggalkan kesan kalian pada ceritaku di kolom komentar dan dukung ceritaku dengan memberikan gem agar membantuku untuk tetap bisa menulis karya ini. Instagram: @zhenxinxin5081
“Hadiah untukku?”“Ya. Katakan saja.”“Nggak perlu, aku nggak ingin merepotkan—”“Kamu nggak merepotkanku, Vero. Kamu kan adik perempuan kesayanganku. Satu-satunya keluarga yang kupunya. Nggak perlu sungkan. Kebetulan minggu depan aku gajian.”“Ka—kalau begitu, akan kupikirkan nanti. Aku masih belum tahu sekarang.”“Jangan terlalu lama mikirinnya,” kakak perempuannya menjawabnya santai. “Ah, aku sampai lupa. Apa kamu akhir-akhir ini menonton berita?”“Berita? Berita apa yang kamu maksud?”
Febrina mengakhiri panggilannya, menjejalkan smartphonenya ke dalam saku straight jeans-nya, kembali memusatkan perhatiannya pada Gavin yang masih sabar menunggunya sedari tadi."Sudah selesai? Bagaimana kabar adikmu?""At least she is fine. She still did not know the news until I mentioned it, though," dia tertawa kecil menanggapi pertanyaan Gavin seraya mengendikkan bahu. "Aku kadang ragu kalau adikku itu benar-benar ingin menjadi pengacara di lembaga sosial atau tidak. Berita seperti ini saja dia nggak tahu. Kerjaannya nonton Netflix terus. Benar-benar mengkhawatirkan.""Wajar, lah. Anak-anak seumuran Vero memang sering seperti itu. Biarkan saja dia.""Ya. Memang, sih. Jauh lebih baik adikku yang seperti itu diba
Proses pemulihan tubuhnya berjalan lancar sesuai yang diperkirakan oleh seorang warlock wanita kenalan kakeknya yang bernama Nora Lavender, sehingga ia tidak lagi harus terus berada di dalam kamarnya dan berdiam diri tanpa bergerak terlalu banyak seperti sebelumnya. Seperti sekarang. Ia tengah melatih tubuhnya yang sudah lama tidak ia gunakan untuk bertarung bersama kakak laki-lakinya, Klauss Berthold, yang mengurangi kecepatan frekuensi dari serangannya untuk memberikan waktu pada tubuhnya yang baru saja pulih agar bisa beradaptasi. Pertarungan jarak dekat tidak memungkinkan baginya untuk sementara, sehingga kakak laki-lakinya itu memusatkan jadwal latihan bertarung baru untuknya dengan pertarungan jarak jauh. “Kita sudahi dulu. Gerakanmu sudah jauh lebih baik,” Klauss menyeka keringat di keningnya, menawarkan diri u
Ia tiba di ruang makan keluarga tepat sebelum acara makan malam dimulai. Kakek dari pihak ayah––Pierre Berthold––tampak senang begitu mendapati keberadaannya, mempersilakannya untuk langsung duduk. Sepertinya di mata kakeknya, kakeknya masih melihatnya seperti orang yang baru saja pulih dari kematian dan rapuh sehingga harus diperlakukan dengan penuh kehati-hatian seperti layaknya vas bunga koleksi kakeknya. Begitu juga dengan keluarga besarnya. Bahkan ibunya langsung menghampirinya, memutar tubuhnya berulang kali untuk memastikan bahwa ia sudah benar-benar pulih dari lukanya. “Aku baik-baik saja, Ma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ia mencoba menarik kursi yang ada di sebelah kanannya agar bisa langsung duduk, namun kakak perempuannya––Cassandra––langsung mengambil inisiatif dengan membantunya menarik kursi tersebut.
Stephen terus memandangi Nikki yang tengah mendengarkan penjelasan dari Karl dengan penuh seksama. Tampang serius yang dipasang Nikki itu jika ia boleh jujur, sebenarnya tidak begitu cocok dikenakan oleh wanita berwajah imut itu. “Karena itu, sampai sekarang aku dan Stephen belum bisa memastikan seperti apa situasinya,” Karl berdeham, mengakhiri sesi presentasi tentang kasus yang sedang mereka tangani. Hal yang sejujurnya enggan ia beritahukan pada Nikki. Ia tidak ingin Nikki tahu tentang masalah besar yang melibatkan nasib dunia bawah tanah. Kalau bukan karena Karl yang terus memaksanya untuk memberitahu semua fakta yang baru mereka temukan beberapa waktu yang lalu, mungkin ia akan terus diam saja. Membiarkan wanita itu tidak mengetahui apa pun. Baginya, semakin sedikit Nikki mengetahui soal dunia makhluk supernatural, semakin bagus. Itu berarti ia tidak perlu menempatkan wanita itu
Ia bergeming, tidak bisa memercayai apa yang baru saja kakek dari pihak ayahnya katakan padanya baru saja. Matanya mengerjap penuh tidak percaya, memandangi kakek dari pihak ayahnya, Pierre Berthold, yang memberikan anggukan pelan dengan senyum simpul terlukis di wajah pria tua yang sudah berumur ribuan tahun tersebut. Buru-buru ia meletakkan peralatan makannya di atas meja makan. Memandang ke semua anggota keluarga Berthold yang tidak begitu banyak di ruang makan tersebut yang juga memberinya respon yang sama seperti kakek dari pihak ayahnya tersebut. “Keputusanku barusan sudah bulat. Aku akan memberikan jabatanku pada keturunan Berthold yang memiliki kekuatan yang sama denganku. Seperti yang selalu kukatakan sejak dulu,” lanjut kakek dari pihak ayahnya. “Apa ada yang keberatan?”
Erick memandangi sosok Theo yang saat ini berdiri di hadapannya dari atas ke bawah, berulang kali, hingga membuat pacar laki-lakinya itu kebingungan dengan reaksinya. “Ada apa? Apa ada yang aneh denganku?” Ia mengangguk, membenarkan perkataan pacar laki-lakinya itu tanpa ragu. “Apa tidak ada pakaian yang lebih santai lagi dibandingkan pakaian yang kamu kenakan sekarang? Kita hanya akan pergi ke museum dan pantai, bukan ke teater.” “Tidak pergi ke teater?” pacar laki-lakinya tampak terperangah tidak percaya begitu mendengar perkataannya. “Ta––tapi kupikir tadi kita akan kencan.” “Memang. Tapi aku nggak bilang kalau kita akan pergi ke teater. Hari ini,” ia mendekati pacar laki-lakinya yang kini menunduk
Karl menghentakkan kaki kanannya segera begitu ia duduk di kursinya, merutuki Stephen yang lebih memilih untuk keluar dari ruang kerja pria itu sendiri dan meninggalkan ia dan Nikki di sana. Berulang kali ia mendecak penuh frustrasi. Ingin rasanya ia melempari sahabatnya itu menggunakan sepatunya jika ia tidak ingat bahwa sepatu yang ia kenakan itu baru saja selesai ia buat kemarin. Perhatiannya lalu teralih pada Nikki yang kembali memusatkan perhatian pada laporan yang ia tunjukkan pada Nikki. Walaupun ia yakin seratus persen bahwa wanita itu juga sebenarnya menyimpan perasaan jengkel yang sama terhadap Stephen, namun wanita itu malah jauh lebih berhasil tidak menunjukkannya di wajah imut wanita itu saat menanggapi sikap Stephen. Malah, wanita itu berhasil melakukan hal yang tidak pernah ia lihat dari seluruh wanita lain yang pernah mendekati Stephen atau berada di sekeliling Stephen