Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.
Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.
“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.
Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”
Mbak? Gami?
Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?
Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.
Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.Selesai
Dira melongo seperti orang bego. Matanya yang membulat itu hanya menyorot satu titik, yakni wajah Gita.Dalam penglihatannya, wajah Gita seperti disiram cahaya, benar-benar berkilau. Namun, kilauan yang terpancar di wajah gadis itu tidak membuat matanya menyipit kesilauan. Kilauan indah itu justru membuat pandangannya terasa nyaman dan tak sanggup berkedip sedetik pun.“Bang Dira? Habis dari mana?” tanya Gita yang bodoh. Ya, dia benar-benar bodoh. Dia lupa kalau seharusnya dia berakting tidak mengenal Dira.“Kamu kenal saya?” tanya Dira sambil menunjuk wajah sendiri.Gita memalingkan muka dalam keadaan terpejam. Lidahnya mendecak sangat pelan. Memaki diri sendiri dalam hati. Kemudian bersumpah tidak akan gegabah, mengontrol mulut dengan ekstra hati-hat, dan tidak akan bicara duluan sebelum pria itu membuka obrolan.“Emh, saya minta maaf kalau terkesan sok kenal sama Abang. Saya tau nama Abang dari Gami, adik saya,&rdqu
Pada umumnya, orang akan segan mengomentari kekurangan orang lain secara face to face. Tolong digarisbawahi, PADA UMUMNYA!Jangan harap situasi umum seperti itu terjadi kepada kaum low level seperti Gami. Warna kulitnya, jerawatnya, rambutnya yang bau, cara berpakaiannya, hingga tinggi badannya sudah sering menjadi bahan ledekan dan tertawaan seorang Suganda Yudistira.Namun, seakan belum puas, Gami ingin mendengar sekali lagi, bagaimana penilaian Dira terhadap dirinya--dengan cara yang berbeda. Yap, kali ini dia ingin mendengar penilaian Dira tentang Gami melalui perantara Gita.“Saya minta maaf banget, ya, Bang, kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak nyusahin kalian.” Umpan awal mulai dilempar.“No worries, Gita. So far selama ini Gami enggak pernah bikin masalah besar.”Gita tidak tahu, apakah Dira berujar demikian karena berhadapan dengannya atau memang seperti itulah kenyataan yang dia rasakan. Maksudnya, sekara
“Adik kamu baik, kok. Bertanggung jawab. Cuma, ya ... jarang mandi.”Dira tergelak sendiri, sedangkan Gita mengulas senyum. Wanita itu mati-matian menahan tangan agar tidak memukul lengan Dira.“Baunya itu kadang-kadang udah ngalahin ‘ranjau Usro’,” tambahnya.Sekarang saatnya Gita berakting. “Ranjau kucing?” beonya seolah tidak tahu apa-apa.“Itu ... kotorannya kucing. Di sini, ‘kan, kerjaan dia bersihin sama merawat kucing-kucingnya Wira.”“Wira?”Bagus Gita! Aktingmu perfect!“Who ...?”“Oooh, jadi kamu cuma tau nama saya, ya?” Dira tampak berbangga hati. Teringat saat pertemuan pertama di depan pagar, Gita langsung mengenali dan menyebut namanya dengan jitu.“Saya pikir Gami juga udah cerita kalau di rumah ini ada dua laki-laki; saya dan adik saya, Wira.”Gita ber-oh pendek sambil mengangguk-angguk