Cincin Pemikat Jodoh

Cincin Pemikat Jodoh

By:  JihanMarc  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
43Chapters
5.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Gami, wanita culun dan dekil menjelma menjadi putri jelita setelah mengenakan cincin permata hitam milik pengantin yang tewas dalam kecelakaan mobil. Dia memanfaatkan cincin itu untuk mendapatkan cinta bosnya, Wira. Selama menjadi putri jelita, Gami memakai nama panggilan lain, yakni Gita. Dia berkenalan dengan Wira yang ternyata juga memakai nama panggilan tidak biasa, yakni Gandi. Gita mengira kalau menjadi cantik akan memudahkan misinya mendapatkan hati Gandi. Ternyata tidak. Pria itu malah bersikap dingin setiap kali dia berubah menjadi Gita. Pada satu malam, terjadilah 'kekhilafan' yang membuat Gita hamil. "Karena itu anak saya ... ayo kita menikah." "Saya enggak mau menikah kalau kamu enggak cinta." "Mana yang lebih penting, cinta saya atau janin yang kamu kandung?"

View More
Cincin Pemikat Jodoh Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
43 Chapters
KALAH DENGAN KARBOL
Seorang wanita dengan pipi penuh jerawat tengah menguncir rambut yang sedikit kusut. Tubuh depannya berbalut apron merah yang warnanya tak lagi cerah. Kumal, dekil, dan robek di beberapa bagian.“Are you ready, Gami?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian meraih sepasang sarung tangan karet di meja kecil di hadapannya. Warnanya serupa dengan apron yang dikenakan.“Ready, dong, pastinya. Demi sebongkah berlian,” jawabnya sendiri sambil memasang sarung tangan.“Eh, enggak, deh. Demi Mas Wira,” ralatnya, lalu terkekeh geli. Kemudian memasang dua lapis masker yang sudah diolesi minyak angin roll on aromaterapi.Usai memakai atribut ‘perang’, wanita yang kerap dipanggil Gami itu meraih ember hitam. Isinya adalah sikat bergagang panjang, deterjen bubuk, sebotol karbol, sapu lidi, dan sendok semen. Dia bergegas keluar kamar, lalu memakai sepatu boots yang terparkir di samping pintu.“Di bawah mesin cuci
Read more
KECELAKAAN
“Gami!” Wira memanggil sambil fokus menyetir.Di kursi belakang, Gami yang sedang mengelus kepala kucing di pangkuannya langsung menyahut. Dia menanyakan apakah Wira membutuhkan sesuatu.“Bukain, dong!”Tanpa menoleh, Wira mengapungkan sebungkus permen ke belakang. Gami langsung menyambut dan merobek bungkusnya. Bahkan mengeluarkan permennya dan hendak meletakkan di telapak tangan Wira yang masih mengapung. Namun, niat itu urung dilanjutkan, padahal biji permen nyaris menyentuh telapak tangan Wira. Tiba-tiba, seulas senyum jail terpajang di wajahnya.“Saya suapin aja, ya, Mas. Biar gampang.”Tanpa menunggu persetujuan, Gami mengapungkan permen mint itu ke depan mulut Wira. Dia memberikan instruksi agar Wira menganga.Seharusnya Wira menolak. Bukankah Gami adalah karyawannya? Bahkan status wanita itu setara dengan asisten rumah tangga.Sebagian majikan di luar sana mungkin akan menganggap perilaku Ga
Read more
CINCIN PERMATA HITAM
Ratusan tetes air bertubi-tubi menghantam sekujur tubuh Gami. Kunciran yang semula belum kering sekarang malah kuyup. Kaus oblong yang semula longgar sekarang menempel ketat di kulitnya. Dia berlari sambil memayungi kepala dengan sebelah tangan. Menghampiri Wira yang menolong seorang korban.“Udah ditelepon?” tanya Wira sambil memapah seorang pria paruh baya yang kesulitan berjalan.Gami mengangguk. “Polisi sama ambulance udah on the way.”“Ya, udah. Sekarang coba kamu cek mobil putih itu.” Wira menunjuk mobil yang terjungkal dengan gerakan dagunya. “Kayaknya mereka masih hidup,” tambahnya.Mereka? Apakah Wira sudah memeriksa mobil itu dan mengetahui bahwa jumlah penumpangnya lebih dari satu?Pertanyaan yang bekelebat dalam kepala Gami hanya akan terjawab sesudah dia memeriksa sendiri. Kakinya bergerak ragu mendekati mobil yang terjungkal itu.Meskipun takut, Gami merasa harus turun tangan
Read more
BOCAH BUCIN
BAB 4 : BOCAH BUCINSepasang tungkai kurus berbalut kain denim tampak bergerak-gerak dengan ritme cepat. Alas flat shoes-nya bertabuh dengan keramik, menciptakan suara genderang ringan, tapi acap. Kedua tangan yang berpangku di paha saling mengusap, pertanda bahwa wanita itu dirundung gelisah.Berbanding terbalik, pria di sebelahnya duduk dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap. Tidak ada gerakan berlebihan. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketenangan.Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Dua gelombang vertikal muncul di keningnya yang memar. Gelombang itu menjadi pertanda bahwa dia terganggu dengan keributan kecil di sebelah. Dia pun menoleh dan bertanya dengan nada jengah, “Kenapa, sih?”Seolah sudah menunggu diajak bicara, wanita itu langsung menyerongkan badannya, setengah menghadap Wira. Dengan rasa penasaran yang tinggi dia bertanya, “Pasangan pengantin itu bisa selamat enggak, ya?”Wira menggedikkan bahu
Read more
TERBAWA PULANG
Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih sep
Read more
SIHIR CINCIN PENGANTIN
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Read more
GITA GANDI
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Read more
KOPI GAMI
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Read more
INGATAN YANG TEMARAM
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabul betina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Read more
OPERASI PLASTIK
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biar bisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
Read more
DMCA.com Protection Status