"Kita mau ke mana, Mas?"
Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya.
"Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.
Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat.
"Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.
Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.
Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.
Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
Seorang wanita dengan pipi penuh jerawat tengah menguncir rambut yang sedikit kusut. Tubuh depannya berbalut apron merah yang warnanya tak lagi cerah. Kumal, dekil, dan robek di beberapa bagian.“Are you ready, Gami?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian meraih sepasang sarung tangan karet di meja kecil di hadapannya. Warnanya serupa dengan apron yang dikenakan.“Ready, dong, pastinya. Demi sebongkah berlian,” jawabnya sendiri sambil memasang sarung tangan.“Eh, enggak, deh. Demi Mas Wira,” ralatnya, lalu terkekeh geli. Kemudian memasang dua lapis masker yang sudah diolesi minyak angin roll on aromaterapi.Usai memakai atribut ‘perang’, wanita yang kerap dipanggil Gami itu meraih ember hitam. Isinya adalah sikat bergagang panjang, deterjen bubuk, sebotol karbol, sapu lidi, dan sendok semen. Dia bergegas keluar kamar, lalu memakai sepatu boots yang terparkir di samping pintu.“Di bawah mesin cuci
“Gami!” Wira memanggil sambil fokus menyetir.Di kursi belakang, Gami yang sedang mengelus kepala kucing di pangkuannya langsung menyahut. Dia menanyakan apakah Wira membutuhkan sesuatu.“Bukain, dong!”Tanpa menoleh, Wira mengapungkan sebungkus permen ke belakang. Gami langsung menyambut dan merobek bungkusnya. Bahkan mengeluarkan permennya dan hendak meletakkan di telapak tangan Wira yang masih mengapung. Namun, niat itu urung dilanjutkan, padahal biji permen nyaris menyentuh telapak tangan Wira. Tiba-tiba, seulas senyum jail terpajang di wajahnya.“Saya suapin aja, ya, Mas. Biar gampang.”Tanpa menunggu persetujuan, Gami mengapungkan permen mint itu ke depan mulut Wira. Dia memberikan instruksi agar Wira menganga.Seharusnya Wira menolak. Bukankah Gami adalah karyawannya? Bahkan status wanita itu setara dengan asisten rumah tangga.Sebagian majikan di luar sana mungkin akan menganggap perilaku Ga
Ratusan tetes air bertubi-tubi menghantam sekujur tubuh Gami. Kunciran yang semula belum kering sekarang malah kuyup. Kaus oblong yang semula longgar sekarang menempel ketat di kulitnya. Dia berlari sambil memayungi kepala dengan sebelah tangan. Menghampiri Wira yang menolong seorang korban.“Udah ditelepon?” tanya Wira sambil memapah seorang pria paruh baya yang kesulitan berjalan.Gami mengangguk. “Polisi sama ambulance udah on the way.”“Ya, udah. Sekarang coba kamu cek mobil putih itu.” Wira menunjuk mobil yang terjungkal dengan gerakan dagunya. “Kayaknya merekamasih hidup,” tambahnya.Mereka? Apakah Wira sudah memeriksa mobil itu dan mengetahui bahwa jumlah penumpangnya lebih dari satu?Pertanyaan yang bekelebat dalam kepala Gami hanya akan terjawab sesudah dia memeriksa sendiri. Kakinya bergerak ragu mendekati mobil yang terjungkal itu.Meskipun takut, Gami merasa harus turun tangan
BAB 4 : BOCAH BUCINSepasang tungkai kurus berbalut kain denim tampak bergerak-gerak dengan ritme cepat. Alas flat shoes-nya bertabuh dengan keramik, menciptakan suara genderang ringan, tapi acap. Kedua tangan yang berpangku di paha saling mengusap, pertanda bahwa wanita itu dirundung gelisah.Berbanding terbalik, pria di sebelahnya duduk dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap. Tidak ada gerakan berlebihan. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketenangan.Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Dua gelombang vertikal muncul di keningnya yang memar. Gelombang itu menjadi pertanda bahwa dia terganggu dengan keributan kecil di sebelah. Dia pun menoleh dan bertanya dengan nada jengah, “Kenapa, sih?”Seolah sudah menunggu diajak bicara, wanita itu langsung menyerongkan badannya, setengah menghadap Wira. Dengan rasa penasaran yang tinggi dia bertanya, “Pasangan pengantin itu bisa selamat enggak, ya?”Wira menggedikkan bahu
Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih sep
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut