“Maaf Jod.. apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Mas Kristo hanya ngobrol kerjaan.” Sarlita merasa serba salah.
Tanpa banyak bicara, Jody tarik lengan Sarlita dan menyeretnya menjauh dari Kristo. Kristo hanya tercengang melihat perlakuan Jody pada Sarlita. Di dalam mobil, Jody tidak berkata sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan dengan berbagai kekecewaan yang berkecamuk dibenaknya. “Jod.. aku salah, maafin aku ya..” Sarlita memelas pada Jody“Udahlah.. nanti saja kita bicarakan, jangan salahkan aku kalau nanti aku selalu mencurigai kamu, Sar.”Sarlita hanya bisa menitikkan airmata, posisinya memang sedang salah. Tidak ada pembelaan yang patut dia lakukan. Sampai di kosan, Jody langsung mencecar Sarlita dengan berbagai pertanyaan, “Seperti apa sih sebetulnya hubungan kamu dengan Kristo? Kok dari awal aku kenal kamu, dia sangat intens mendekati kamu?”“Lho? Kan aku selalu terbuka sama kamu, Jod? Setiap ada job dari mas Kristo, kamu selalu tahu?”Rahang Jody mulai mengeras, wajahnya pun memerah, “Soal jobnya aku tahu, Sar!! Tapi, hubungan dibalik itu yang aku tak tahu!!”Sarlita merasa kalau Jody sedang mencari-cari kesalahannya. Dan itu merupakan siasatnya untuk melepaskan tanggung jawabnya. “Saat kamu mulai mendekati aku, kamu tidak mempersoalkan kedekatan ku dengan mas Kristo. Kenapa baru sekarang kamu persoalkan!!?” Sarlita pun meluapkan amarahnya. “Beda, Sar!! Sekarang kamu isteri aku, aku harus menjaga kehormatan kamu!!”“Bullshit!! Kamu munafik, Jod!! Kamu sudah merenggut kehormatan aku, Jod!!”Jody terhenyak karena ucapan Sarlita, di luar dugaannya kalau Sarlita akan mengungkit soal itu. Sarlita sangat sedih, karena Jody sudah merampas segalanya dari dirinya, bahkan kebebasannya. Jody mencoba untuk mengalah, dia tidak ingin Sarlita malah semakin tertekan perasaan. “Sar.. aku ini suami kamu, setidaknya kalau kamu mau jalan minta izin dulu sama aku.”“Ajarkan aku untuk mempercayai kamu, Jod. Kamu sendiri selalu berbohong sama aku, apa aku harus selalu percaya sama kamu?”Jody tidak menyangka kalau Sarlita sangat kritis dalam berpikir. Padahal selama ini di mata Jody Sarlita sangat lugu dan polos. Jody sampai kehabisan kata-kata menghadapi Sarlita. Namun, sedikitpun dia tidak ingin introspeksi diri. “Kamu tahu gak? Job dari mas Kristo itu sangat aku butuhkan, Jod! Hanya itu cara aku meringankan beban kamu.. Kan kamu tidak bekerja, Jod?”“Sar.. Meskipun aku tidak bekerja, aku mampu menjamin kehidupan kamu dan anak kita.”Sarlita tetap pada pendiriannya, dia tidak ingin hanya mengharapkan bantuan Jody yang bukan hasil jerih payahnya. Sarlita tetap ingin punya penghasilan sendiri, walaupun tidak seberapa. “Aku juga bisa hidup dari kiriman orang tua, Jod. Tapi, kita kan harus bisa mandiri dari sekarang. Sampai kapan kita hidup dari bantuan orang tua, Jod?”Jody yang tidak pernah berpikir seperti itu, dia menganggap cara berpikir Sarlita sangat rumit. Dan Jody merasa tidak sefaham dengan Sarlita dalam hal itu. “Ke depan, aku akan berpikir seperti itu, Sar. Tapi, sekarang ini aku tidak mau rumit memikirkan hal itu. Sekarang aku cuma bisa hidupi kamu dari bantuan orang tuaku.”Jody tetap bertentangan dengan prinsip hidup Sarlita. Dia tidak peduli Sarlita setuju atau tidak. “Kalau dipikir aneh juga ya? Kita ini sangat berbeda, tapi kita bisa dipersatukan.”“Kenapa kamu baru persoalkan sekarang, Sar?”“Ya.. karena baru sekarang kita bermasalah dalam hal ini. Dan aku baru tahu kalau kamu laki-laki tidak mau berpikir rumit.”Jody merasa kalau Sarlita terus menyudutkannya, dia merasa tidak ada benarnya di mata Sarlita. Jody sudah tidak bisa berdalih apapun, dia serahkan pada Sarlita sepenuhnya. “Inilah aku, Sar... Suka tidak suka, kamu harus terima aku apa adanya.”“Apa rencana kamu dengan pernikahan kita sekarang ini? Seperti apa kamu mau hidupi anak yang akan aku lahirkan nanti?”“Kok kamu sepertinya gak yakin aku bisa hidupi anak kita, Sar?”“Bukan tidak yakin, Jod!! Aku Cuma ingin tahu apa rencana kamu ke depan!!”Waktu berlalu begitu cepat, penderitaan Sarlita semakin berat. Sudah satu minggu Jody menghilang begitu saja, ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Sarlita tidak mungkin mencarinya di kampus. Dalam kepanikankannya, Sarlita berniat untuk ambil cuti semester. Dia ingin mencari pekerjaan yang bisa untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun, kiriman dari orang tuanya masih lancar. Tapi, Sarlita ingin mengantisipasi keadaan, kalau tiba-tiba orang tuanya tahu keadaan yang sebenarnya. Dengan berat hati, Sarlita menghubungi Kristo, “Hai mas.. apa kabar? Mas kecewa ya dengan kejadian waktu itu?”“Sar.. aku tidak ingin kamu menghadapi masalah, kamu sedang hamil, Sar.”“Justeru aku sedang bermasalah, mas. Aku butuh pekerjaan, Jody Ghosting, mas. Aku bingung menghadapi masalah ini sendirian.”Kristo memberikan saran pada Sarlita, agar mencari Jody ke rumahnya. Sementara Sarlita menghindari itu, dia tidak ingin bertemu dengan orang tua Jody. “Ya gak bisa gitu, Sar, kamu harus lakuk
Jody dan Windi terperanjat di atas tempat tidur, Jody tidak mengira kalau Sarlita seketika datang. Sarlita seakan kehabisan kata-kata, dia terduduk di lantai meluruh dalam kemarahan yang memuncak. Jody menghampiri Sarlita dan tangannya menggapai Sarlita untuk mengajaknya bangkit, namun Sarlita menepis tangan Jody. “Ini sangat menyakitkan, Jod.. Apa salah aku Jod.. ?” ucap Sarlita lirih. Sarlita tertunduk menumpahkan kesedihannya dalam tangis pilu. Jody menatap Sarlita yang ada di bawahnya, tidak ada usaha Jody untuk mensejajarkan dirinya dengan Sarlita. Bahkan, dari raut wajahnya tidak terlihat perasaan merasa bersalah. “Kamu Cuma lihat aku ngobrol sama mas Kris, kamu begitu murka. Sekarang, perlakuan kamu lebih dari itu, Jod!!” suara Sarlita meninggi, namun masih terasa pilu. “Aku salah, Sar.. Aku minta minta maaf..”“Untuk apa, Jod? Kalau itu tidak mengubah perilakumu? Aku udah capek, Jod!!” Sarlita katakan itu tanpa menatap Jody. Dia tidak ingin mempresentasikan dirinya mengham
Jody memperlihatkan sikap manisnya pada Sarlita. Namun, Sarlita yang sudah mengenal watak Jody tidak mengubah sikapnya. Dia tidak ingin terhanyut dengan muslihat yang diperlihatkan Jody, Sarlita tidak terlalu menghiraukan kehadiran Jody. “Sar.. aku antar kamu ke dokter ya? Biar kita tahu bagaimana perkembangan janin yang ada dikandungan kamu.” Jody berusaha mengambil hati Sarlita. “Gak usah! Kalaupun aku mau periksa, tidak perlu kamu antar.”“Kenapa Sar? Apa aku sudah tidak pantas bersikap baik terhadap kamu?”“Bukan tidak pantas! Aku hanya ingin melatih diri tanpa kamu, Jod!!”Sarlita seakan tidak mempercayai semua kebaikan Jody. Baginya, apa yang sudah dilakukan Jody itu tidak termaafkan. Bahkan Sarlita sudah mempersiapkan diri jika harus berpisah dengan Jody. “Kenapa kamu tidak memberikan ruang sedikitpun padaku, Sar? Jangan bikin aku bingung menghadapi situasi ini.”“Pilihannya ada di tangan kamu, Jod. Aku hanya menerima apapun yang akan menjadi keputusan kamu.”***Hari demi ha
Saat Mama Sarlita sudah berada di Jakarta, hal pertama yang menjadi pusat perhatiannya adalah perubahan fisik Sarlita. “Wajah kamu kok tembem gitu, Sar? Kamu gak sedang hamil kan?”“Masak hamil sih, Ma? Perut rata gini dibilang hamil?” Sarlita balik bertanya sembari memegang perutnya. Mama Sarlita melihat perut Sarlita dan memegangnya, hampir saja Sarlita menepis tangan Mamanya. “Kamu sudah punya pacar?” Selidik Mama Sarlita“Kok Mama tiba-tiba tanya itu sih? Kan wajar Ma, seusia aku pacaran?”Mama Sarlita menatap wajahnya dengan pasat, “Kenapa? Kamu keberatan Mama tanya soal itu? Mama cuma mau ingatkan kamu, di Jakarta harus hati-hati bergaul.”Deg! Jantung Sarlita serasa dihujam mendengar kata-kata Mamanya, Sarlita berusaha memperlihatkan ekspresi wajah yang biasa saja. “Sarlita tahu diri, Ma .. Mudah-mudah Sarlita bisa menjaga diri.” jawab Sarlita dengan tenang. Mama Sarlita mengajak untuk pindah ke hotel, karena kamar Sarlita terlalu sempit dan tidak cukup untuk bertiga. S
Seketika wajah Jody pucat pasi melihat Windi yang ada disampingnya, “Kenapa Jod? Kamu tengsin sama aku?” canda Windi. “Eeh.. Win! Kenalin nih Dissa temannya Sarlita, aku kebetulan ketemu dia.” Jody salah tingkah sambil memperkenalkan Dissa pada Windi. “Gacoan baru, Jod?” Windi sengaja tanyakan itu di depan Dissa. Jody ajak Dissa segera meninggalkan club. Windi tersenyum puas menatap kepergian Jody dan Dissa. “Dasar playaboy cap topi miring!!” ucap Windi dengan kesal. “Itu siapa, Jod? Mantan kamu?” tanya Dissa sesaat sebelum masuk ke mobil. Setelah duduk di belakang stir, Jody baru jawab pertanyaan Dissa, “Dia pernah aku tolak cintanya, karena bukan tipikal cewek yang aku sukai. Mulutnya lemes, Dis.”“Oh ya? Bukannya Sarlita itu tipikal cewek yang kamu sukai? Kok kamu lepehin begitu aja, Jod?”“Menurut Sarlita, Mamanya gak suka sama aku. Jadi aku dilepehin sama dia.” ***“Nanti juga aku kenalin sama Mama, tapi anaknya cuek, Ma. Mama pasti suka deh, anaknya handsome kok.”“Nah! Gi
Terpampang di ponsel Sarlita beberapa foto kemesraan Jody dan Dissa saat Berdansa. Sarlita merasa kalau Dissa sudah mendustainya, karena dari foto-foto itu jelas terlihat sebuah kemesraan. Sangat berbeda antara ucapan Dissa dengan kenyataan yang ada. Sarlita bertanya dalam hati, “Apa tujuan Dissa menceritakan pertemuannya dengan Jody?”Setelah sampai di tempat kost-nya, Sarlita mencoba untuk menenangkan diri. Meskipun berbagai pertanyaan dan kecurigaan terus bersemayam dalam benaknya. Sarlita kembali mengingat persahabatannya dengan Dissa. Tidak pernah Dissa memperlihatkan ketertarikannya pada Jody, saat dia perkenalkan Dissa dengan Jody. Namun, Sarlita tidak bisa menduga kalau Jody diam-diam menyukai Dissa. ***Di kamarnya, Jody tidak bisa memejamkan mata. Dia tidak menyangka kalau Dissa menolak ajakan kencannya. Bagi Jody, itu bak pukulan telak yang menghantam rahangnya. Belum pernah dia ditolak gadis yang diajaknya kencan, baru Dissa yang menolaknya. Malam menjelang larut Jody
“Mau apa kamu datang malam ini, Jod? Inikan sudah larut malam?”“Aku ingin menemani kamu tidur, Sar.” jawab Jody sembari memaksa masuk. Sarlita tidak kuasa menahan keinginan Jody, dia sadar kalau Jody adalah suami sahnya. Dibiarkannya Jody masuk, dia hanya bisa menatap Jody yang langsung berbaring di tempat tidurnya. “Okey.. aku izinkan kamu tidur di sini malam ini. Tapi, pagi-pagi kamu sudah harus bangun dan pergi dari sini. Aku tidak ingin Mama memergoki kamu ada di kamarku.” pinta Sarlita. Sarlita mengambil bantal dan gulingnya, serta selimut yang digelarnya di lantai. Melihat Sarlita ingin tidur di lantai, buru-buru Jody melarangnya. “Kamu sedang hamil, Sar, jangan tidur di lantai. Biar aku yang tidur di lantai, kalau kamu gak mau tidur bersamaku.” Jody turun ke lantai, dia minta Sarlita pindah ke atas tempat tidur. Sarlita tidak menyangka kalau Jody begitu perhatian dengan kondisinya yang sedang hamil. Sarlita mengikuti keinginan Jody dan pindah ke atas tempat tidur. Sement
Sarlita kembali kecewa, dia berharap Jody menginap di kosannya. Ternyata, setelah berhubungan intim, Jody ingin segera meninggalkan Sarlita begitu saja. “Gak salah kamu, Jod!? Emang kamu mau kemana lagi? Kok enak banget habis begitu kamu mau langsung pergi?” Sarlita bangun dari tidurnya dan menatap Jody dengan kecewa. “Kalau aku paksakan tidur di sini, aku akan bangun kesiangan, Sar. Lebih baik aku pulang dan tidur di rumah.”“Terus! Kamu ke sini Cuma mau melepaskan hasrat kamu aja? Aku Cuma kamu anggap sebagai tempat pelepasan ya!!?” Sarlita tak kuasa lagi menahan amarahnya. “Aku minta maaf kalau aku salah, Sar. Tapi, aku memang tidak mungkin tidur di sini.” Ujar Jody sembari terus ngeloyor pergi. Dia tidak lagi menghiraukan kata-kata Sarlita yang semakin tajam menghujam jantungnya. Sarlita hanya bisa menahan tangisnya, seakan tidak ada lagi airmata yang tersisa. Berbagai penyesalan menumpuk di dada Sarlita. Cincin pertunangan yang penuh kepalsuan itu menjadi sumber malapetaka y