Mengetahui bahwa diriku akan memiliki status baru dan mulai harus hidup mandiri maka aku kembali berusaha untuk menghubungi beberapa teman-teman dan orang-orang yang pernah kukenal di masa lalu, kuhubungi mereka untuk bertanya apakah aku punya kesempatan untuk ikut bergabung di tempat mereka bekerja atau mungkin beberapa teman bisa membantuku mendapatkan peluang untuk mencari nafkah.Kudapati nomor telepon Irma seorang teman masa sekolah yang merupakan pengusaha butik dan resto dari sahabatku Eva, kutelpon nomornya, kami saling menyapa, bercerita lalu aku memintanya untuk memberiku kesempatan bekerja. Gayung bersambut, temanku yang cukup baik itu kebetulan sedang mencari seseorang yang bisa mengawasi cabang toko yang baru dibuka miliknya."Kamu bisa kan bantu aku untuk mengawasi butik milikku yang aku buka di Jalan mutiara?""Tentu," jawabku."Baiklah, datanglah temui aku jam sembilan pagi di jalan Mawar nomor lima, butik Andaresta.""Baiklah.""Sepertinya ini memang rezeki kamu k
Sejurus, untuk beberapa menit kami benar-benar saling mendiamkan hanya suara ambar yang sesekali berceloteh dan tertawa kecil sambil menerima pelukan dan kasih sayang hangat dari ayahnya."Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa kau menganggap semuanya menjadi bisnis dan kau menjelma materialistis," keluhnya dengan suara lirih, aku hanya mendecih sambil tertawa. Mengeluh bisa-bisanya dia mengeluhkan tuntutanku setelah penghianatan yang dia lakukan. Sebesar luka yang telah diberikan saat mencampakkanku aku juga ingin dia belajar."Tolong ya, jangan menyinggung perasaanku sebelum aku juga menyinggung perasaanmu, Tidak pernah dalam hidupku ingin menyakitimu jadi jangan menyakitiku lebih dari apa yang telah kau perbuat," jawabku sambil meraih ambar dari pelukannya. Sungguh, Mas Indra tak mampu menyembunyikan kekecewaan saat aku merebut kembali anakku dan meletakkannya dalam gendonganku. Sengaja aku bersikap sibuk, mengambil ponsel dan kunci lantas menghubungi temanku Irma lalu berbi
Seminggu setelah bicara dengan Irma dan diterima bekerja di butik miliknya, aku merasa ada yang berbeda dalam hidupku. Hari-hari dan waktu putrasa lebih berarti dan aku lebih memaknai tentang mensyukuri hidup dan kesempatan yang diberikan tuhan. Aku bersyukur segala sesuatu berjalan dengan mudah serta Tuhan membantuku untuk memudahkan diri ini mencari rezeki. Alhamdulillah juga Irma sahabatku bukanlah tipe pimpinan yang pelit, dia tahu bahwa aku berada dalam kesulitan jadi dia memberiku sejumlah uang untuk ongkos pulang pergi setiap harinya ke cabang yang aku jaga untuknya.*Aku sedang membereskan rumah dan menikmati waktu sore saat tiba-tiba Mas Indra datang bersama dengan Intan. Aku sedang mengelap perabotan dan aksesoris yang ada di atas bufet ruang tamu saat dia masuk dan mengetuk pintu untuk mengalihkan perhatianku."Assalamualaikum."Aku tersentak kualikan tatapanku dan melihat wajah yang sudah lama tak ku temui itu memandangku dengan tatapan datar. Di belakangnya ada Intan yan
"Jangan katamu?" tanyaku dengan mata melotot kepada pria yang telah membersamaiku 4 tahun belakangan. Aku memikirkan Mata melihat ekspresinya dan benar-benar penasaran Apakah dia sungguh membenciku dan tergila-gila kepada Intan ataukah itu yang barusan terjadi hanya respon sesaat karena takut Intan terjatuh."Maksudku Jangan bersikap kasar seperti ini?""Kau melarangku untuk bersikap kasar tapi ketika wanita ini bersikap sombong dan arogan di dalam rumahku kau malah diam saja! jomplang sekali sikap dan perilakumu!""Aku berusaha netral.""Kalau begitu bersikap netral Sampai akhir. Diam dan lihat saja kami bertengkar hingga sampai saling membunuh, jangan melerai membela satu lalu meninggalkan yang lain, agar kau benar-benar terlihat netral.""Astaga bukan begitu juga caranya Nadira ....""Kau tahu dengan membawa wanita ini ke rumah, akan terjadi konflik yang besar dan tidak bisa dihindarkan, tapi kau tetap saja membawanya. Kau gila!" ucapku sambil memburu wanita yang kini berlindung di
"Oh-ouh, rupanya kau menjadi asisten di sini ya," ucap ibu mertua sambil bangun dan memperhatikanku. Melihat cara ia memandangku dengan cara berbeda, akunhanya bisa tersenyum miris sambil meremas tanganku. Dulu aku menempatkan ibu mertua di atas kepalaku, aku sangat menghormatinya dan mencintainya seperti Ibuku sendiri. Aku meletakkan semua kepentingannya di atas kepentinganku dan berbakti padanya. Tapi, semenjak ia memperlakukanku tidak adil semua rasa simpati dan cinta yang ada langsung menguap begitu saja, hilang bagai tetesan air yang tertimpa panasnya matahari. "Selamat datang," jawabku sambil mengangguk pelan "Ahahaha, aku tahu ini ini sulit bagimu, tapi kami adalah klien tetap butik ini jadi kuharap kau bisa bekerja sama dan tidak mendahulukan egomu di atas kepentingan jual beli dan bisnis yang kita lakukan." Intan mengatakan itu sambil melirik neneknya Ambar."Tentu saja, lagi pula butik ini bukan milikku, jadi aku akan bekerja sesuai prosedur, tenang saja.""Ya, memang har
Tanpa bisa ku jagain Mas segera menuju ke ruang depan untuk menemui kembali intan dan ibu mertuaku yang terlihat masih tertawa bahagia dan Santai dengan katalog yang ada di tangan mereka."Permisi ibu ...." Irma menyapa dengan senyum yang paling lebar sambil menggenggam kedua tangannya sendiri."Setelah saya lihat jadwal dengan konsultan saya dan melihat waktu pemesanan Anda sepertinya kami belum bisa menerima pekerjaan tersebut.""Lho kenapa?""Waktunya terlalu mepet sementara orderan kami juga menumpuk.""Tapi kami sudah buat janji jauh-jauh hari dan tadi katanya bisa kenapa mendadak tidak bisa sih Mbak tanya Intan dengan wajah yang sangat tidak senang?""Saya minta maaf sekali karena konsultan khusus kebaya akad berhalangan, Dia baru saja menelpon saya dan mengatakan bahwa hari ini dan sampai 5 hari ke depan dia tidak bisa masuk karena ibundanya sedang sakit jadi saya benar benar tidak berdaya dan minta maaf karena semua berjalan tidak sesuai harapan.""Ini aneh, Kenapa sih butik M
"Makasih ya Irma, karena kamu sudah mendukung dan membelaku, aku merasa sangat dihargai olehmu.""Tentu saja kamu itu adalah sahabatku jadi apa yang membuatmu senang pasti akan melegakan diriku. Lagi pula kehilangan satu klien tidak masalah kita tidak selalu harus bersikap sempurna," jawab irma sambil menepuk bahuku."Bagaimana kalau dia mempermasalahkan tentang penolakan kemarin dan membuat butikmu kehilangan reputasi?""Hei, gak semudah itu dong Say, aku juga sudah membangun reputasi dan mempertahankan kualitas sama bertahun-tahun jadi aku tidak akan peduli Jika ada salah satu orang yang menggoyahkan karena di belakang semua itu ada ribuan orang yang sudah kami layani dengan baik."Benar juga, aku mungkin harus berpikir seperti dirinya, tidak selalu harus berprasangka atau memasang ketakutan dan pesimis. Aku harusnya lebih percaya pada diriku dan yakin bahwa satu orang yang menyakiti pasti bisa diganti oleh ratusan orang yang menyayangi dan mencintai.Ya. Begitulah.*Di jam makan s
Kuhadiri persidangan di mana itu juga didatangi oleh Indra dan keluarganya. Sayangnya karena aturan sidang yang ketat jadi yang masuk Hanya Aku Dan Dia saja ke dalam ruangan untuk menemui majelis hakim yang sudah bersiap untuk menangani masalah kami."Apakah Pak Indra dan ibu Nadira sudah yakin?" Tanya hakim ketua yang menanyai kami dengan wajah serius."Ya, saya dan Nadira sepakat pisah," balasnya lancar."Apakah anda sudah mempertimbangkan perihal keutuhan keluarga dan bagaimana nasib anak Anda kedepannya?""Sudah, dan saya tetap mau cerai!""Bagaimana Ibu Nadira?""Ya, Saya menggugat beliau karena sudah tidak tahan lagi.""Baiklah, kalau begitu," jawab Majelis Hakim.Kelihatannya tidak ada yang perlu dipertanyai atau dibicarakan lagi karena kami berdua memang sepakat untuk tidak akan menjalin hubungan lebih lama lagi. Tidak ingin mempertahankan pernikahan atau memperbaiki segalanya jadi udah selesai. Setelah saling berembuk dan bicara, akhirnya majelis hakim membacakan putusanny