Sejujurnya, di luar sana banyak wanita yang kerap mendekati Dewa dengan terang-terangan. Sama seperti yang sudah dilakukan Rindu saat ini kepadanya. Dewa menyimpulkan, bahwa gadis muda itu sedang mengajaknya untuk menghabiskan malam panjang secara tersirat.
"Tidur sama kamu?" Dewa kembali mengulang ucapan Rindu dengan seringai miring. "Butuh uang berapa? Dan untuk apa?"
Saat ini, Dewa sudah lelah dan tidak ingin lagi menempatkan hati pada seorang Gadis. Mulai dari Dhea, Hening dan terakhir sahabatnya sendiri, Kiara. Pada akhirnya, mereka semua meninggalkan Dewa seorang diri. Padahal, jika dipikirkan lagi, apa yang tidak Dewa berikan kepada mereka bertiga?
Dewa bahkan sudah memberikan seluruh hati, berikut dengan semua yang dimilikinya saat itu. Namun, yang didapat Dewa hanyalah … kecewa.
Lantas, yang ada di benak Dewa saat ini adalah, Rindu seperti kebanyakan gadis yang menjual tubuhnya hanya untuk ditukar dengan sebuah materi. Untuk itulah, Dewa tidak segan untuk bertanya, seberapa banyak uang yang dibutuhkan oleh gadis itu. Mungkin saja, Rindu hendak membeli ponsel keluaran terbaru agar bisa dipamerkan kepada kawan-kawannya.
"Saya gak jual diri." Rindu terkekeh garing, merasa terjebak dengan ucapannya sendiri. "Yang tadi cuma becanda kali, Pak."
"Bercandamu menyesatkan!" Dewa kembali memutar tubuh untuk menghadap pintu lift.
"Kalau sesatnya berdua sama Bapak, saya sih mau-mau aja." Mulut usil Rindu itu kembali membeo tanpa beban sama sekali. Hal itu pun, sukses membuat Dewa kembali membalikkan tubuh.
"Yakin mau tersesat berdua dengan saya?" tantang Dewa. "Kita bisa pergi ke apartemen saya habis ini."
Suara denting pintu liff, langsung membuat Rindu menegakkan tubuh. Menunggu pintu tersebut bergeser sempurna, kemudian ia melewati Dewa dan berhenti sebentar di depan pria itu.
“Enggak deh, Pak. Sudah malam, nanti dicariin ibu kalau saya nggak pulang.”
Rindu menyematkan senyum miringnya dan lebih dulu keluar dari bilik persegi tersebut meninggalkan Dewa. Tidak lagi menoleh, barang sedikit pun.
Dewa langsung meloloskan satu tawa gelinya. Menggeleng pelan lalu ikut keluar dari lift. Berjalan dengan santai dan tetap menjaga jaraknya dengan gadis yang sudah berkelakar dengannya barusan.
Namun, dengan terpaksa Dewa menghentikan langkah ketika berada di pelataran gedung kantor. Berdiri di samping Rindu dan menatap ke arah yang sama. Yakni, langit kelam yang baru saja meneteskan titik beningnya ke punggung bumi.
“Rindu!”
Panggilan dari belakang tubuhnya, sontak membuat Rindu berbalik arah. Melihat Aldi, seorang wartawan magang yang selalu berpenampilan rapi menghampirinya.
“Mau hujan, aku antar, ya!”
“Gue diantar sama Pak Dewa, Bang!” seru Rindu yang langsung memangkas jaraknya dengan Dewa lalu menatap pria itu. “Ayo, Pak. Katanya mau ngantar saya! Rumah kita, kan, searah tadi kata Bapak?”
Pria yang kini berusia 30 tahun itu mengerjap bingung. Kenapa juga dirinya harus dilibatkan dalam kisah percintaan anak muda seperti ini.
“Pak Dewa? Ayo!” ajak Rindu memecah keterdiaman Dewa.
Dewa melihat Aldi sejenak, lalu menatap Rindu. “Ayo!”
“Bye, Bang Aldi …” Rindu melambai tangan, lalu dengan cepat memutar tubuh untuk menyusul Dewa. Pria itu sudah lebih dulu melangkah menuju ke arah mobilnya terparkir.
Tanpa diduga, Dewa membukakan pintu mobil bagian depan untuk Rindu, dan menyuruh gadis berusia 20 tahun itu masuk segera mungkin.
“Jadi, namamu Rindu?” tanya Dewa ketika sudah memasuki mobil lalu memasang sabuk pengamannya.
“Iyes, Pak.” Rindu menurunkan sedikit sandaran joknya. Memutar tubuh agar bisa memandang Dewa dari jarak dekat seperti ini. “Turunin saya sebelum perempatan ya, Pak,” pinta Rindu.
“Rumahmu di mana?” tanya Dewa tanpa mengacuhkan permintaan Rindu.
“Pengennya, sih, satu rumah sama Bapak, tapi nanti ada yang marah.”
Dewa menarik miring satu sudut bibirnya. Gadis itu memancingnya dengan permainan lama. “Memang siapa yang marah?”
Kedua bahu Rindu terangkat sebentar. “Gebetan, atau pacar, mungkin?”
“Saya single.”
“Saya juga,” balas Rindu pada detik berikutnya. “Mungkin, itu yang dinamakan jodoh, Pak!”
Rindu membawa motor maticnya untuk menyusuri komplek perumahan elite. Bahkan, Rindu harus menunjukkan kartu identitasnya ketika hendak melewati portal. Pergi ke mana lagi kalau bukan ke rumah Dewa untuk mengembalikan jas pria itu.Ternyata biaya yang dikeluarkan Rindu dengan membawa jas itu ke laundry tidaklah murah. Kali ini, ia sudah salah langkah karena sudah sengaja menumpahkan cappucino ke jas yang dipakai Dewa.Ya, Rindu sudah mengatur semua hal malam itu. Menunggu pria bermata sipit itu keluar dari ruangan pemimpin redaksi, barulah Rindu menjalankan semua rencananya untuk menabrakkan diri dengan Dewa.Lantas, malam itu, Dewa benar-benar menurunkannya di dekat persimpangan yang diminta Rindu. Pria itu bahkan tidak berbàsa-basi untuk mempertanyakan rumah Rindu sama sekali.
“Langsung aja, Rin, maumu apa?”“Mau makan.” Rindu memotong bakso jumbonya dalam potongan besar dan langsung melahapnya. Mengunyah dengan menggumam nikmat dan menunjukkan semua itu tanpa rasa sungkan di depan Dewa. “Dimakan, Pak. Kalau udah dingin nggak enak.”Dewa menarik napas dan langsung membuangnya dalam waktu singkat. Berdecak kecil lalu ikut melahap bakso, yang tempatnya tidak jauh dari komplek perumahannya. Mencoba mengabaikan keberadaan Rindu, karena gadis itu sedikit mengingatkannya pada Hening. Sedikit kasar dan apa adanya. Hanya saja, otak Rindu sepertinya lebih berisi daripada Hening.“Bapak kenapa belum nikah-nikah? Padahal sudah tua.”Dewa sontak terbatuk dan hampir saja tersedak dengan pentol bak
“CK!” Wajah Rindu memberengut dengan bibir tertarik maju. “Bapak, sih, bawa motor kayak siput! Basah semua, kan, jadinya!” Rindu buru-buru membuka tas rajutnya dan mengeluarkan semua isinya di atas meja teras. Hasilnya … semua basah tidak bersisa. Pandangannya segera tertuju pada ponsel yang terlihat kuyup. “Hape!” Meraih ponselnya lalu mencoba menekan semua tombol yang berada di samping. “Pak! Hape saya mati, Pak!” Tubuh Rindu langsung merosot lemah, lalu duduk di kursi teras. Masih mencoba menekan tombol yang ada hingga berkali-kali. “Gara-gara Bapak, kan!” “Masuk dulu,” titah Dewa setelah membuka pintu rumah, dengan tubuh yang lebih basah dari Rindu. “Kamu mandi, terus ganti baju.” Masih dengan wajah yang tertekuk masam, Rindu mengangkat kepala dan menatap k
“Harusnya, kamu bilang kalau masih perawan, Rin.” Mata Dewa terpejam, menikmati aliran dopamin yang baru saja terlepas begitu nikmat. Masih tersengal, karena sebuah rasa puas yang yang tidak bisa diungkap dengan kata. Sekaligus merutuk, karena pikiran dan tubuhnya tidak bisa menolak pesona Rindu sama sekali. Terlebih, ketika Dewa mengetahui bahwa dirinyalah, pria pertama yang menyentuh gadis itu. “Udah nggak lagi,” hela Rindu yang masih mengatur napas dan merasakan sebuah rasa nyeri pada bagian inti tubuhnya. Akan tetapi hal itu sepadan dengan sensasi nikmat yang ia rasakan untuk pertama kalinya. Bagi Rindu, semua ini seperti bermain judi. Menyerahkan diri pada Dewa tanpa adanya sebuah ikatan, adalah sebuah hal yang benar-benar gila. Namun, ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan keinginannya. Meskipu
Hampir semalaman Dewa tidak bisa melelapkan pikirannya. Hingga pagi menjelang, barulah kedua mata itu terpejam. Namun, hanya selang beberapa jam, Dewa kembali terbangun dan memilih untuk mandi lalu ingin berbicara serius dengan Rindu. Setelah semua aktivitas paginya selesai di dalam kamar. Dewa keluar dan langsung menuju kamar yang ditempati oleh Rindu. Sebelumnya, Dewa melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Gadis itu pasti sudah terbangun, atau, mungkin masih tertidur lelap. Dewa mengetuk pintu kamar tamu sebanyak dua kali dengan perlahan. Tidak mendengar jawaban, ia pun berinisiatif untuk membuka pintu. Namun, sosok Rindu sudah tidak ada di dalam sana. Dewa masuk lebih dalam dan langsung menuju ke kamar mandi. Namun, kosong dengan pintu yang terbuka dengan lebar. Berbalik, dan berhenti sejenak. Ia baru menyadari kalau sprei yang membungkus tempat tidur, kini sudah tidak ada di atas sana. Bergegas keluar dan menuruni tangga,
“Dari mana aja semalam, Rin?” tanya Radit, bapak tiri Rindu yang tiba-tiba muncul dan sudah berada di samping gadis itu. “Hapemu nggak bisa dihubungi.” Rindu yang sudah berada di depan pintu kamar, reflek memundurkan langkah untuk menjaga jarak. Bagi Rindu, tatapan pria paruh baya yang menikah dengan ibunya tujuh tahun yang lalu itu, selalu saja membuatnya bergidik jijik. Radit bukan melihat Rindu seperti seorang ayah yang memandang putrinya, tapi, pria itu melihat Rindu sebagaimana pria melihat wanita. Rindu sebenarnya heran, jika Radit bisa memiliki pemikiran seperti itu. Pasalnya, pria itu juga memiliki seorang putri bernama Lita, dari mendiang istrinya terdahulu. Bahkan usia Lita kini hanya terpaut satu tahun lebih tua daripada Rindu. Selain anak perempuan, Randi juga membawa satu orang anak laki-laki y
“Dari mana aja semalam?” Untuk kedua kalinya, pagi ini Rindu mendengar pertanyaan yang sama. Namun, kali ini pertanyaan tersebut meluncur dari mulut sang ibu yang baru saja kembali dari pasar. Rindu yang tengah berjongkok dan sedang mengelap roda dua miliknya yang sudah dicuci itu, kemudian mendongak. Mendapati sang ibu sudah berdiri di sebelah motor yang baru dicucinya. “Tempat teman.” Manik Rindu beralih sebentar pada Fandy yang sedang memarkirkan motornya di belakang sang ibu, yang tengah menghadap Rindu. Fandy menoleh sebentar padanya kemudian melangkah pergi ke dalam rumah, dengan membawa banyak barang belanjaan tanpa mengucap satu patah kata pun. “Hapemu ke mana? Gak bisa di telepon semalaman.” Tiara, ibu Rindu itu kembali mengajukan pertanyaan. Rindu kembali menoleh pada Tiara. “Mati, kehujanan kemarin.” Tiara menatap putrinya curiga. Merasa kalau Rindu menyembunyikan sesuatu darinya. “Temanmu perempuan?” Rindu menahan napas men
Jelang siang, tamu yang ditunggu-tunggu oleh Radit akhirnya datang juga ke rumah. Satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya dengan anak lelakinya itu, mengobrol panjang lebar di ruang tamu dengan gelak tawa yang bisa Rindu dengar sampai ke dapur. Jelas saja Rindu bisa mendengarnya, karena rumah mereka memang tidaklah begitu besar.Hanya ada ruang tamu, ruang keluarga yang jadi satu dengan meja makan, dan dua kamar di sebelahnya. Serta dapur yang ukurannya juga tidak seberapa, karena ada tambahan tangga untuk jalan menuju kamar Fandy yang ada di atas.Sesuai instruksi dari Tiara, mendekati makan siang, Rindu harus menata makanan yang sudah dirinya dan sang ibu masak di meja makan. Sementara Lita, saudara tiri Rindu itu lebih memilih berada di dalam kamar, untuk bersantai dengan menggulirkan sosial medianya sambil rebahan.Setelah melakukan semua yang diminta oleh sang ibu, Rindu kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di samping Lita. Belum