Share

Buka Hati

Rindu membawa motor maticnya untuk menyusuri komplek perumahan elite. Bahkan, Rindu harus menunjukkan kartu identitasnya ketika hendak melewati portal. Pergi ke mana lagi kalau bukan ke rumah Dewa untuk mengembalikan jas pria itu.

Ternyata biaya yang dikeluarkan Rindu dengan membawa jas itu ke laundry tidaklah murah. Kali ini, ia sudah salah langkah karena sudah sengaja menumpahkan cappucino ke jas yang dipakai Dewa.

Ya, Rindu sudah mengatur semua hal malam itu. Menunggu pria bermata sipit itu keluar dari ruangan pemimpin redaksi, barulah Rindu menjalankan semua rencananya untuk menabrakkan diri dengan Dewa.

Lantas, malam itu, Dewa benar-benar menurunkannya di dekat persimpangan yang diminta Rindu. Pria itu bahkan tidak berbàsa-basi untuk mempertanyakan rumah Rindu sama sekali.

Ck, apa impian Rindu saat ini terlalu tinggi? Berharap pada seseorang yang sudah jelas-jelas memiliki perbedaan jauh dengan dirinya.

Seperti langit, dan kerak bumi. Mungkin kiasan itu, memang pantas ditujukan untuk Dewa dan dirinya.

Kemudian, RIndu berhenti di depan sebuah pagar rumah yang terlihat berbeda dengan rumah di sekitarnya. Rindu merogoh ponsel di dalam tas dan memastikan sekali lagi kalau alamat yang diberikan oleh Dewa, benar adanya.

Rindu berdecak ragu. Karena jika dilihat lagi, bangunan rumah yang ditunjukkan oleh Dewa tidak semegah bangunan yang lainnya. Rindu menebak, rumah yang ditempati Dewa saat ini masih dengan desain asli perumahan tersebut, tanpa ada perubahan sama sekali.

Seorang wanita paruh baya lalu keluar, ketika Rindu sudah menekan bel sebanyak dua kali.

“Pak Dewanya ada, Bu?” tanya Rindu dengan sopan. “Saya Rindu, disuruh ke sini sama beliau.”

“Oh, disuruh pak Dewa.” Wanita paruh baya itu lalu menggeser tubuhnya tanpa membuka pintu pagar lebih lebar lagi. Menatap sebuah jas yang berbalut cover baju berbahan plastik transparan sejenak, lalu mempersilakan Rindu untuk masuk ke dalam.

“Pak Dewa lagi ada tamu, Mbaknya ikut saya aja dulu. Tunggu di dalam.”

Rindu mengangguk dan mengikuti wanita tersebut memasuki rumah dan masuk melalui pintu garasi. Meninggalkan motornya begitu saja di depan pagar. Di rumah dengan pengawasan yang ketat seperti ini, Rindu yakin kalau roda duanya itu pasti aman-aman saja berada di depan.

Kedua alis rindu pun tersentak pelan dengan dagu yang mengetat. Menatap beberapa koleksi mobil mewah ketika ia berada di dalam garasi. Rindu memang tidak mengerti dengan berbagai jenis mobil yang ada di dalam sana. Namun, satu yang pasti kalau semua roda empat yang berada di garasi, harganya pasti sangatlah mahal.

“Tamunya, kira-kira lama nggak, Bu?” tanya Rindu setelah dipersilakan duduk di teras samping, di belakang garasi. 

“Kurang tahu,” sahut wanita itu. “Biar saya sampaikan sebentar sama pak Dewa, Mbaknya tunggu sebentar, ya.”

Rindu mengangguk mengiyakan, lalu meletakkan jas yang sedari tadi dibawanya di atas sebuah meja persegi, yang berada di samping tempat duduknya. 

Tidak berselang lama, wanita paruh baya yang diyakini Rindu adalah asisten rumah tangga Dewa pun kembali menghampirinya.

“Mbak Rindu, diminta masuk sama pak Dewa,” kata sang asisten rumah tangga sembari menghampiri Rindu. “Jasnya biar saya yang bawa. Mbaknya masuk, belok kanan jalan aja terus sampe ke ruang tamu,” lanjutnya sembari menunjukkan arah jalan kepada Rindu.

“Makasih, Bu.”

Rindu pun berjalan masuk ke dalam rumah dan mengikuti instruksi yang sudah diberikan kepadanya. Berhenti dan menatap bingung ketika sudah berada di ruang tamu.

Ada seorang wanita cantik yang duduk pada sofa yang bersebelahan dengan Dewa. 

“Sudah datang, Beb?” Dewa menepuk sisi sofa yang berada di sampingnya. Meminta Rindu untuk duduk di sebelahnya tanpa berucap kata. “Tunggu sebentar, ya, habis ini kita jalan.”

Mata Dewa menatap Rindu tanpa berkedip. Berharap, Rindu mengerti akan pintanya dan langsung duduk di samping Dewa.

Jelas saja, Rindu mengerti akan maksud Dewa. Wajah bingung itu lalu berubah semringah seketika. Menghampiri Dewa dan langsung duduk tanpa jarak sama sekali.

"Kenalkan, Nes. Ini pacar saya, Rindu," ungkap Dewa tanpa ingin berlama-lama. "Kenalin, Beb, ini rekan kerjaku di Senayan," lanjutnya seraya menatap wajah Rindu dengan senyum manis yang tidak mampu terbantahkan.

Wanita yang bernama Ines itu, sudah memasang wajah datarnya ketika mendengar Dewa memanggil Rindu dengan sebutan 'beb'. Seluruh moodnya seolah porak poranda dalam satu kerjapan mata.

Mau tidak mau, Ines menyambut uluran tangan yang sudah dijulurkan oleh Rindu terlebih dahulu.

"Rindu," ucapnya memperkenalkan diri.

"Ines." Wanita itu langsung menyampirkan tas di bahu dan bersiap hendak berpamitan. "Kalau gitu, saya pulang dulu, ya, Mas Dewa. Nggak enak kalau ganggu."

Dewa tersenyum ramah dengan anggukan. Berdiri untuk mengantarkan Ines sampai  ke luar pagar. "Makasih rendangnya, ya, Nes!" seru Dewa berhenti di pintu pagar dan melambai ke arah Ines. Melihat wanita itu memasuki mobilnya yang terparkir di luar rumah, lalu Dewa kembali masuk ke dalam untuk menemui Rindu.

"Jadi, kita pacaran, nih ceritanya, Beb?" Rindu memasang senyum lebar, serta menaik turunkan alisnya untuk menggoda Dewa.

“Umur kamu berapa?” tanya Dewa lalu menghempas tubuhnya di sofa yang tadinya Ines duduki.

“Dua puluh!” Rindu mengacungkan dua jarinya dan meletakkannya di samping mata. Terus memasang senyum lebar kepada pria manis bermata sipit itu. “Udah siap lahir batin kalau mau dinikahi.”

Jika tidak salah ingat usia Hening juga masih sekitar dua puluh tahunan ketika dijodohkan dengannya dahulu kala. Atau, malah lebih muda?

Ah, Dewa sudah tidak ingin mengingat masa lalunya tersebut. Meskipun hubungannya dengan Hening saat ini masih baik-baik saja, tapi tetap, perasaan luka itu masih saja menyisa.

“Saya nggak mau nikahin perempuan yang masih labil,” jawab Dewa lalu berdiri dari tempatnya. Cukup sekali ia berhubungan dengan gadis muda, dan Dewa sudah jera menjalaninya. “Kamu sudah boleh pulang, Rin.”

“Air susu, dibalas air tuba.” Rindu juga ikut berdiri. “Sudah ditolong, langsung diusir,” decaknya lalu memangkas jarak dengan Dewa.

“Padahal, saya tiap bulan sudah nyumbang buat bayar gaji sama tunjangan Bapak sebagai wakil rakyat di Senayan, lho. Gaji saya tiap bulan sudah dipotong pajak buat bayarin bapak ibu, yang katanya wakil rakyat! Tapi, cuma begini balasan Bapak sama saya,” lanjut Rindu berujar santai. Kalau tidak begini, ia tidak akan mungkin mendapat perhatian Dewa.

Dewa mengambil napas dalam-dalam sembari menggaruk sisi kepalanya. Dari awal bertemu, gadis itu selalu saja menyindir Dewa dengan profesinya saat ini. Sebenarnya, ada masalah apa, sih, gadis itu dengan anggota dewan yang berada di Senayan, pikir Dewa.

“Sudahlah, kamu mau apa?” tanya Dewa tidak ingin melanjutkan perdebatan yang ada.

“Makan!” jawab RIndu dengan gamblang.

“Cuma mau makan?” tanya Dewa ingin memancing Rindu. Sebenarnya, apa yang diinginkan gadis cantik itu darinya sehingga tampak selalu ‘memburu’ Dewa. “Nggak pengen yang lain?”

“Iya, cuma makan. Tapi makan di luar, yang deket-deket sini aja, Pak.”

“Makan di emperan kaki lima mau?” tantang Dewa lalu melipat kedua tangan di depan dada. Andai Rindu menolak, maka fixlah sudah kalau gadis itu mengejar Dewa karena sebuah materi.

“Jangankan di emperan, Pak. di tengah jalan juga saya jabanin asal berdua sama Bapak.”

Tangan kanan Dewa reflek menepuk dahi Rindu karena geregetan. “Otak kamu itu, perlu di servis!”

“Servis di tempat Bapak, boleh?”

“Saya nggak buka tempat servis otak!”

“Kalau buka hati buat saya, bisa?”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Suka dengan peran utama cewek yg blak blakan......
goodnovel comment avatar
Kel Richard
spontan, gaya blak2an. menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
bagus bangettt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status