Hampir semalaman Dewa tidak bisa melelapkan pikirannya. Hingga pagi menjelang, barulah kedua mata itu terpejam. Namun, hanya selang beberapa jam, Dewa kembali terbangun dan memilih untuk mandi lalu ingin berbicara serius dengan Rindu.
Setelah semua aktivitas paginya selesai di dalam kamar. Dewa keluar dan langsung menuju kamar yang ditempati oleh Rindu. Sebelumnya, Dewa melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Gadis itu pasti sudah terbangun, atau, mungkin masih tertidur lelap.
Dewa mengetuk pintu kamar tamu sebanyak dua kali dengan perlahan. Tidak mendengar jawaban, ia pun berinisiatif untuk membuka pintu. Namun, sosok Rindu sudah tidak ada di dalam sana.
Dewa masuk lebih dalam dan langsung menuju ke kamar mandi. Namun, kosong dengan pintu yang terbuka dengan lebar. Berbalik, dan berhenti sejenak. Ia baru menyadari kalau sprei yang membungkus tempat tidur, kini sudah tidak ada di atas sana.
Bergegas keluar dan menuruni tangga,
“Dari mana aja semalam, Rin?” tanya Radit, bapak tiri Rindu yang tiba-tiba muncul dan sudah berada di samping gadis itu. “Hapemu nggak bisa dihubungi.” Rindu yang sudah berada di depan pintu kamar, reflek memundurkan langkah untuk menjaga jarak. Bagi Rindu, tatapan pria paruh baya yang menikah dengan ibunya tujuh tahun yang lalu itu, selalu saja membuatnya bergidik jijik. Radit bukan melihat Rindu seperti seorang ayah yang memandang putrinya, tapi, pria itu melihat Rindu sebagaimana pria melihat wanita. Rindu sebenarnya heran, jika Radit bisa memiliki pemikiran seperti itu. Pasalnya, pria itu juga memiliki seorang putri bernama Lita, dari mendiang istrinya terdahulu. Bahkan usia Lita kini hanya terpaut satu tahun lebih tua daripada Rindu. Selain anak perempuan, Randi juga membawa satu orang anak laki-laki y
“Dari mana aja semalam?” Untuk kedua kalinya, pagi ini Rindu mendengar pertanyaan yang sama. Namun, kali ini pertanyaan tersebut meluncur dari mulut sang ibu yang baru saja kembali dari pasar. Rindu yang tengah berjongkok dan sedang mengelap roda dua miliknya yang sudah dicuci itu, kemudian mendongak. Mendapati sang ibu sudah berdiri di sebelah motor yang baru dicucinya. “Tempat teman.” Manik Rindu beralih sebentar pada Fandy yang sedang memarkirkan motornya di belakang sang ibu, yang tengah menghadap Rindu. Fandy menoleh sebentar padanya kemudian melangkah pergi ke dalam rumah, dengan membawa banyak barang belanjaan tanpa mengucap satu patah kata pun. “Hapemu ke mana? Gak bisa di telepon semalaman.” Tiara, ibu Rindu itu kembali mengajukan pertanyaan. Rindu kembali menoleh pada Tiara. “Mati, kehujanan kemarin.” Tiara menatap putrinya curiga. Merasa kalau Rindu menyembunyikan sesuatu darinya. “Temanmu perempuan?” Rindu menahan napas men
Jelang siang, tamu yang ditunggu-tunggu oleh Radit akhirnya datang juga ke rumah. Satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya dengan anak lelakinya itu, mengobrol panjang lebar di ruang tamu dengan gelak tawa yang bisa Rindu dengar sampai ke dapur. Jelas saja Rindu bisa mendengarnya, karena rumah mereka memang tidaklah begitu besar.Hanya ada ruang tamu, ruang keluarga yang jadi satu dengan meja makan, dan dua kamar di sebelahnya. Serta dapur yang ukurannya juga tidak seberapa, karena ada tambahan tangga untuk jalan menuju kamar Fandy yang ada di atas.Sesuai instruksi dari Tiara, mendekati makan siang, Rindu harus menata makanan yang sudah dirinya dan sang ibu masak di meja makan. Sementara Lita, saudara tiri Rindu itu lebih memilih berada di dalam kamar, untuk bersantai dengan menggulirkan sosial medianya sambil rebahan.Setelah melakukan semua yang diminta oleh sang ibu, Rindu kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di samping Lita. Belum
Setelah briefing pagi di ruang divisi iklan selesai, Rindu tidak langsung keluar dari tempat tersebut. Rindu merebahkan separuh tubuhnya pada meja meeting yang berada di tengah ruang iklan, sembari menatap ponselnya yang tidak bisa lagi menyala. “Dilembiru napa, Rin, daripada dilihatin mulu,” ucap salah satu rekan kerjanya yang bernama Eca. Rindu melirik malas, tanpa bergerak sedikit pun. “Elo yang mau beliin?” “Ogahlah, lo, kan, punya duit. Masa’ gue yang beliin,” sewot Eca meletakkan tas selempangnya di meja lalu mengambil lipstik dan sebuah kaca kecil dari dalam sana. Rindu hanya diam dan memperhatikan Eca menyapu lipstik berwarna peach tersebut ke bibir tebalnya. “Makanya cari cowok, Rin. Biar beban hidup, lo, sedikit berkurang,” ujar Eca menasehati dengan sok bijak. “Kalau mau apa-apa, lo, tinggal minta aja sama cowok, lo. Beres!” Hal seperti inilah yang membuat otak polos Rindu lama-lama terkontaminasi. Eca selalu saj
Sedari pagi, Rindu sudah mengirimkan banyak chat kepada Dewa. Namun, tidak ada satu pun yang dibaca oleh pria itu itu. Pesan di aplikasi hijau itu, hanya menunjukkan tanda centang dua, tanpa berubah warna. Pesan yang dikirimkan Rindu sebenarnya tidak ada yang aneh, ia hanya bertanya di mana posisi Dewa saat ini dan ingin menemui pria itu karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan. Rindu jadi bertanya-tanya, apa ponsel pemberian Dewa ini, merupakan bayaran atas kegiatan panas mereka malam itu? Jika iya, itu berarti, tidak akan ada lagi hubungan yang akan terjalin di antara mereka berdua ke depannya. Rindu harus berlapang dada, jika kegadisannya ternyata hanya diberi harga senilai ponsel merek ternama, keluaran terbaru. Miris. Kalau begini, lebih baik ia jual diri saja sekalian. Atau, mencari seorang pria yang mau menjadikannya seorang sugar baby. Sesat! Pikiran Rindu benar-benar sudah terlampau sesat, karna semua perlakuan yang suda
Dewa menarik satu sudut bibirnya ke atas, ketika melihat Reno memasuki kafe lobi gedung apartemen yang ditempatinya saat ini. “Rindu, Rindu …” ucap Reno sembari menggeser kursi lalu duduk di sana. “Cuma gara-gara Rindu, sampai ngungsi ke apartemen. Ckckck.” Dewa tertawa pelan mendengar ucapan mantan asisten, yang kini sudah menjabat sebagai direktur utama di perusahaan milik Abraham, ayah Dewa. Dulunya, Renolah yang mengurus segala sesuatu tentang Dewa, sampai Abraham meminta sahabat sekaligus asisten putranya itu, untuk menduduki posisi penting di perusahaan. Sejak saat itulah, Reno sudah terlalu sibuk dan keduanya sangat jarang bertemu seperti sekarang. Sementara Dewa, masih ingin mendedikasikan hidupnya untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di Senayan. Ia masih betah begelut di dalam pemerintahan untuk lebih memperluas jaringan relasi yang ada. Agar nantinya, Dewa bisa dengan mudah masuk ke dalam setiap lini untuk mempermudah jalannya untuk lebih b
Sejak pertengkaran malam itu, Rindu tidak lagi menginjakkan kaki di rumah milik Radit. Meskipun sang ibu berkali kali mengirimkan chat serta menelepon untuk membujuknya pulang, tapi Rindu sudah tidak ingin lagi kembali ke sana. Selama beberapa hari ini pula, Rindu membuang semua rasa malunya dengan menginap di rumah Eca sampai tanggal gajian tiba. Atau, mungkin sampai Rindu mendapatkan kosan yang murah, hingga ia bisa membagi uang gajinya untuk membayar cicilan motor, dan menyisihkan untuk kuliahnya. Jika tidak dapat juga, mau tidak mau Rindu akan mengorbankan kuliahnya terlebih dahulu. Mengambil cuti untuk sementara, dan fokus pada pekerjaannya saat ini. Yang menjadi dilema adalah, jika Rindu tidak meneruskan kuliah dan tidak mendapatkan gelar diplomanya, nasibnya mungkin akan begitu-begitu saja. Karena jika Rindu ingin melamar kerja dengan jabatan yang lebi
Manik sipit Dewa itu mengerjab cepat, saat mendengar penjelasan dari Riko dengan seksama. Cukup membingungkan, tapi, itulah fakta yang telah disampaikan oleh asisten pribadinya. “Jadi, dia pindah ke kos dan ambil cuti kuliah tiba-tiba?” tekan Dewa sekali lagi untuk lebih memastikan semua ucapan Riko. Riko hanya mengangguk, karena sudah menyampaikan informasi sesuai dengan apa yang didapatnya. “Dan sampai sekarang, kamu masih belum tahu alasan sebenarnya Rindu keluar dari rumah itu?” tanya Dewa lagi. “Ya, sama seperti yang kemarin, Pak, jawabannya,” ungkap Riko menjelaskan sekali lagi. “Menurut info yang terima, Rindu mau hidup mandiri.” Dewa yang sedari tadi berdiri di samping jendela kaca ruang tamu apartemennya, menoleh pada Riko yang tengah duduk di sofa. “Nggak masuk akal, Rik. Kalau mau hidup mandiri, seharusnya sejak keluar dari rumah itu, dia langsung pindak ke kosan, tapi ini nggak, dia numpang dulu di tempat temannya, kan?” Ri