“Bapak nggak tokcer kali.”
Satu kalimat itu, selalu terngiang di kepala Dewa sejak Rindu meninggalkannya siang tadi. Dewa sangat mengerti kalau mulut Rindu itu memang tidak bisa direm sama sekali jika berucap. Hanya saja, dari sekian banyak kalimat yang dimuntahkan gadis itu setelah Dewa mengenalnya, baru kali ia merasa tersinggung dan harga dirinya sebagai seorang pria seolah diobrak abrik oleh Rindu.
Perasaan kesal itu pun bertambah ketika ia melihat undangan Hening yang masih tergeletak di sofa. Dewa mengingat ucapan Riko yang mengatakan, bahwa mantan tunangannya itu akan pindah ke rumah yang lebih besar, karena tengah mengandung kembali.
Itu berarti, jika Dewa menghitung kembali ke belakang, Hening sudah hamil sebanyak tujuh kali. Sekali keguguran, lima kali melahirkan dan ditambah, satu lagi yang masih berada di dalam perut wanita itu. Sungguh tidak bisa dipercaya, jika Dewa tidak mengetahui hal tersebut secara langsung.
Memangnya, harus berapa k
Suara ketukan di daun pintu kamar kosannya, membuat Rindu langsung beranjak malas dari kasur lalu membuka pintu."Ada cowok yang nyari di bawah," ujar pria yang setiap hari ditugaskan untuk menjaga kosan tempat Rindu berada. "Namanya Dewa."Rindu mengetatkan dagu dengan bibir yang mengerucut maju. Untuk apa lagi pria itu datang menemui Rindu. Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan Rindu. Akan tetapi, kenapa pria itu datang sendiri dan tidak meminta orang suruhannya untuk menemui Rindu.Apa mungkin, pria itu marah karena Rindu sengaja tidak mengangkat telepon darinya?Ah … tapi, masa' sampai seperti itu?"Iya, Mas, tolong bilang tunggu sebentar, ya," pinta Rindu lalu keduanya sama-sama berbalik arah dengan tujuan yang berbeda.Rindu buru-buru melihat pantulan dirinya di depan cermin. Mengambil lip gloss untuk menyapu bibirnya yang kering. Lalu, sedikit parfum yang ia labuhkan pada leher, tepat di bagian bawah
“Loh … ini bukannya jalan ke rumah Pak Dewa?” tanya Rindu menegakkan tubuh seraya menoleh ke sekeliling untuk memastikan dengan benar. Setelah, sepanjang jalan tidak dihiraukan dan hanya didiamkan oleh Dewa, Rindu akhirnya kembali membuka suara untuk melayangkan protesnya.Sampai akhirnya mobil yang dikendarai Dewa berhenti di depan pintu pagar, pria itu tetap mengunci rapat mulutnya. Karena jika sekali Dewa membuka mulut untuk menanggapi ocehan Rindu, sudah bisa dipastikan kepalanya akan bertambah pusing.Ternyata, berdebat dengan Rindu lebih merepotkan, daripada saat Dewa berdebat dalam rapat kerja ataupun sidang paripurna di Senayan dengan rekan seprofesinya.“Diam di situ,” titah Dewa lalu keluar dari mobil untuk membuka pintu pagar rumahnya. Sebenarnya, Dewa bisa saja meminta salah satu dari bodyguard sang ayah untuk menjaga rumah agar ia tidak perlu repot-repot untuk membuka dan menutup pagar seperti sekarang. Namun, setelah
Rindu terhenyak diam, ketika Dewa menutup pintu kamar pria itu. Meninggalkan Rindu seorang diri, dan tidak mengerti harus melakukan apa.Setelah memberi titah untuk tidur di kamar tamu, Dewa langsung saja keluar tanpa menghiraukan protes Rindu sama sekali. Ia masuk ke dalam kamarnya, lalu segera menutup pintu sebelum Rindu merangsek masuk. Menguncinya, dan membiarkan gadis itu berada di luar sana.“Pak Dewa!” Rindu yang tidak bisa membuka pintu karena dikunci dari dalam itu, terus saja menggedor pintunya. “Pak Dewa buka,” rengek Rindu yang masih tidak mengerti dengan sikap Dewa kepadanya. Kenapa ia harus tidur di rumah pria itu malam ini, sedangkan mereka sudah tidak punya keterkaitan apapun lagi.“Pak Dewa!”Lima menit.
Rindu menggeram karena tidak memiliki pilihan. Dewa sama sekali tidak menanggapi permintaannya untuk memesankan taksi, ataupun ojek on-line agar Rindu bisa kembali ke kosan. Pria itu bahkan langsung menutup mata, dan tidak lagi memedulikan Rindu yang duduk di tepi tempat tidur.Karena hari juga telah larut, dan Rindu terjebak tidak tahu harus pergi entah ke mana, ia pun akhirnya menarik selimut lalu merebahkan diri di samping Dewa. Melipat kedua tangan di atas perut, sembari melarikan maniknya menyusuri sisi kamar yang bisa Rindu jangkau.Membingungkan.Apa yang diinginkan Dewa dari Rindu sebenarnya.“Pak …” panggil Rindu yang tidak kunjung bisa melelapkan pikirannya. “Kenapa Pak Dewa nggak tidur di kamarnya sendiri, kayak malam itu?”
Riko bengong menatap Reno yang kini tengah menahan tawa, dengan menggembungkan pipi. Ia baru saja diminta Dewa untuk menjelaskan sekali lagi, perihal kegiatan Rindu selama Riko mengawasi gadis itu. Entah di mana letak kesalahannya, tapi Riko rasa, semua yang diceritakannya sama saja seperti yang sudah-sudah. “Bos, lo, udah gila, Rik!” seru Reno dengan santainya. Menyilang kaki, sambil menyandarkan satu tangannya pada lengan sofa. Reno tidak menduga, kalau kedatangannya kali ini ke apartemen Dewa ternyata membawa ‘berkah’ tersendiri. Akhirnya, setelah sekian tahun berlalu, Reno bisa melihat Dewa kembali memikirkan seorang wanita. “Harusnya dia senang karena si Rindu itu nggak jadi hamil anaknya,” lanjut Reno. “Tapi ini, malah uring-uringan!” Riko hanya bisa memberi kekehan hambar dengan terpaksa untuk menanggapi Reno. “Berani sumpah, Pak,” kata Riko menatap wajah datar Dewa, yang sangat jarang ditampilkan jika pria itu tidak dalam keadaan kesal. “Laporan yang
“Rindu, kan?” tanya seorang pria dengan suara beratnya.Rindu yang tengah memilih beberapa cemilan untuk dibawa ke kosan, kemudian menoleh pada pria yang sudah berdiri tepat di sampingnya. Sedikit mendongak, lalu memiringkan kepala sebentar untuk mengingat-ingat.“Panji,” ucapnya memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan. “Kita belum sempat kenalan waktu itu.”“Oh!” Rindu membalas jabat tangan pria itu sebentar dengan mengulas senyum yang begitu manis. Akhirnya, Rindu bisa mengingat pria tersebut meskipun hanya sempat berjumpa beberapa saat. “Anak, temennya bapak yang waktu itu ke rumah, kan?”“Ya,” ujar Panji lalu berdecak. “Akhirnya, bisa ketemu. Aku sempat ke rumahmu lagi waktu itu, tapi ibumu bilang kamu lagi sibuk di kantor.”Mulut Rindu itu reflek mengeluarkan tawa masamnya. “Ibuku bilang begitu?” tanya Rindu tanpa ingin bertanya mengenai kedat
Pintu ruang divisi iklan itu terbuka, ketika briefing pagi baru saja hendak di mulai. Seorang office boy berdiri di bibir pintu dan maniknya berlari pada setiap orang yang berada di dalam sana.“Maaf, Bu Fila,” kata sang office boy pada manajer iklan yang berada di sana. “Ada ibunya Mbak Rindu di depan.”Semua mata peserta rapat yang ada di dalam ruang, reflek tertuju pada Rindu. Sementara itu, Rindu reflek mengumpat kesal di dalam hati. Untuk apa sang ibu datang ke kantor di pagi hari seperti ini, pikir Rindu.Dengan terpaksa, Rindu meminta izin pada Fila untuk menemui ibunya, lalu bergegas keluar ruangan. Manik Rindu langsung mengarah pada seorang wanita paruh baya, yang saat ini duduk di kursi lobi. Ibunya itu menatap Rindu, tanpa menampilkan senyum sama sekali.
“Hai!” sapa Rindu tersenyum kecil, lalu menarik kursi yang berada di samping pria itu. Duduk di sana, lalu menoleh. “Sorry, ngantri isi bensin.”“Nggak papa,” jawab pria yang tadi pagi sempat Rindu perbincangkan dengan sang ibu. “Harusnya aku yang minta maaf, karena ngajak makan siangnya mendadak.”Rindu melempar senyum sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada pelayan yang baru saja datang dan berdiri di tepi meja. Rindu terburu melihat daftar menu yang sudah berada di meja sebelumnya.“Geprek kejunya satu, sama es cappucino.” Rindu kembali menatap Panji yang ternyata belum memesan apa-apa. “Kamu?”“Samain aja, tapi aku cappuccino panas.”