Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanya
Allah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hati
Aku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkang
Aku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu itu
Untukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar
***
Digandrungi banyak lelaki, mungkin adalah impian kebanyakan kaum hawa. Namun bagi Cinde, itu adalah salah satu momok dalam hidupnya. Sedari duduk di bangku TK hingga SMP, dia adalah the most di antara para siswi, entah itu seangkatan ataupun tidak. Bahkan, dia diperebutkan layaknya sekumpulan kucing kelaparan mengincar satu onggok tikus, betapa mengerikan.
Lihat saja mereka, mengendap di balik jendela, tampak sangat ingin mendekati Cinde. Andai saja bukan anak konglomerat, mereka pasti sudah memangsa seonggok manusia bak bidadari itu dengan segudang rayu dan gombalan.
"Ekhem."
Tentu siapa pun hapal dengan deheman itu. Pemiliknya tidak lain adalah Kanda, manusia yang tingkat ke-PD-annya melebihi lapisan langit ketujuh. Akan tetapi, setampan dan semenawan apa pun dia, Cinde tidak akan kepincut barang sedikit pun pada laki-laki buaya sepertinya. Itulah prinsip Cinde, buaya adalah racun yang harus dihindari. Heran, kenapa seorang playboy sepertinya malah menjadi idam-idaman para cewek? Padahal, sudah tahu ujungnya akan dicampakkan. Tidak habis pikir.
Sekarang, laki-laki itu berjalan di samping Cinde dengan gaya cool-lebih tepatnya 'sok' cool. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana biru, tak lupa satu tali tas tersampir di bahu kiri. Diulasnya sebuah senyum manis, lantas mulai bersyair, "Sungguh elok gadis di sampingku ini, tiada yang bisa menandingi. Kembang-kembang pun tertunduk layu, cemburu pada rupamu. Duhai Cinderella, sungguh Kanda tak berdaya. Siapatah gerangan sang pangeran berkuda? Sedang, Kanda hanyalah seorang pemuja setia, tak miliki apa-apa selain cinta."
Gadis berambut hitam sepunggung itu menghentikan langkah, merasa jengkel dengan setiap kalimat yang dilontarkan Kanda. Siswi berkacamata di sampingnya pun turut mematung, ialah Reta, teman sebangku. Menghela napas, tubuh ideal Cinde menghadap laki-laki berambut kecokelatan tersebut dengan senyum lebar, jelas tersemat keterpaksaan.
"Kak," panggil Cinde sepelan mungkin. Ditanggapi gumaman dan senyum yang kian merekah dari Kanda. Mulai mengumpulkan keberanian, Cinde menegaskan pada dirinya bahwa laki-laki seperti Kanda, patut mendapatkan untai kalimat indah ini dalam satu tarikan napas, "Kakak bukan tipe saya, jadi saya sama sekali tidak suka sama Kakak. Maka dari itu, jangan pernah muncul di hadapan saya lagi. Permisi."
Langkah Cinde bergegas meninggalkan pemilik senyum beracun itu, segera diikuti Reta. Sementara, Kanda hanya mampu terbengong bersama segumpal daging yang mulai terasa seperti berada di dalam wajan penggorengan-mendidih dan panas!
"Cinde ...!"
***
"Pacaran?" tanya Cinde, lengkap dengan kernyitan di dahi seraya melayangkan tatapan heran pada laki-laki berkacamata yang duduk tertunduk di depannya.
Ya, laki-laki malang bernama Gerald itu baru saja menyatakan perasaan sekaligus sebagai bentuk ajakan menjalin hubungan lebih dengan Cinde. Namun ketahuilah, detik berikut, Cinde akan mengatakan kalimat paling lumrah bagi kaum adam yang pernah menembaknya.
"Kakak bukan tipe saya dan saya tidak menyimpan perasaan apa pun sama Kakak."
Teramat jelas dan menusuk, hingga laki-laki berkacamata itu hanya bisa tersenyum sepat di balik tundukan wajahnya. Tanpa menatap Cinde, dia berkata pelan, "Iya, tidak ada yang akan menerima laki-laki seperti saya. Culun, jelek, dan ... tidak bisa melawan ketika di-bully. Maaf sudah menyita waktu berhargamu, setidaknya saya bisa melihat senyum indah itu untuk terakhir kalinya."
Laki-laki itu berdiri, menatap lekat pada Cinde seraya mengulas senyum. "Terima kasih sudah banyak memberikan bantuan tanpa pamrih selama ini. Saya jadi kembali bersemangat untuk melanjutkan sekolah setelah kamu hadir di kehidupan saya. Saya permisi," katanya, lantas berbalik. Tak sedikit pun Cinde tergerak untuk mengejar laki-laki itu, sebab dia pun kehilangan kata-kata untuk menimpali setiap kalimat yang dilontarkan olehnya.
***
Pukul tiga dini hari, Rella terbangun dari tidur dengan napas naik turun seperti orang habis lari maraton. Sekujur tubuhnya dibasahi peluh, lengkap dengan jantung berdegup kencang. Masa lalu itu, entah kenapa hadir di mimpi Rella dan entah hal tersebut adalah mimpi baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, tebersit perasaan aneh di benak Rella.
Mengembuskan napas panjang seraya memejam, perlahan detakan di dalam sana kembali normal. Pikiran Rella kembali tertuju pada mimpi itu, mimpi yang pada dasarnya adalah nyata dan pernah terjadi di masa lalu. Untuk pertama kalinya, Rella diberikan mimpi tentang masa yang telah berlalu dan ... sempat terlupakan.
Mungkin, Allah hendak mengingatkan kembali, bahwa apa yang ia dapat sekarang adalah sebentuk dampak dari perbuatannya dulu-jumawa dan sering kali memandang rendah orang lain. Akan tetapi, memandang dari sebelah sisi saja tidak cukup. Mungkin, Rella dulunya sombong, tetapi ada sisi lain yang menyimpan rahasia dan akan membuat setiap orang yang mengetahuinya berubah pendapat, dari negatif thinking, menjadi sebaliknya. Meski memang, setiap perbuatan akan mendapat ganjaran setimpal.
Rella menghela panjang, setetes kristal bening membasahi kedua pipinya. "Aku memang pantas mendapatkan ini semua," cicitnya dengan suara bergetar seraya menutup wajah menggunakan kedua tangan.
Cukup lama gadis itu menangis dalam diam, menyesali perbuatan tak beradabnya dulu. "Maafkan atas segala perbuatan hamba yang dulu, ya, Rabb, dan maafkan mereka juga. Jangan biarkan orang-orang yang pernah hamba sakiti, menaruh dendam terhadap hamba, jangan ...."
Sayup-sayup terdengar suara pengajian, membuat Rella menghentikan tangis. Astaga, ternyata sudah cukup lama ia terduduk menangisi diri. Menghapus jejak anak sungai pada pipi, lantas mencoba menenangkan diri. Merasa sedikit lega, sepasang netra gadis itu mulai mengedar ke sekitar ruangan temaram dan menemukan sosok Stella yang terlelap di ranjang. Menghela samar, pikiran Rella tentang mimpi tadi tergantikan oleh ingatan akan kejadian beberapa waktu lalu. Haruskah ia melupakan Alka? Pertanyaannya, mampukah?
Kembali menguarkan karbondioksida seraya memijit pelipis, Rella berusaha menepis bisikan-bisikan aneh agar dirinya membatalkan niat awal. Tidak, mungkin keputusan itu memang yang terbaik. Daripada ia harus kehilangan pegangan, lebih baik melepaskan sesuatu yang menjadi biang dari goyahnya iman. Ya, dengan jalan melupakan Alka.
***
Benda pipih berwarna silver yang tergeletak di nakas, membuat Alka mengalihkan fokus dari coretan sketsa perempuan berjilbab tanpa wajah pada buku. Mengambil gawainya, tampak nama Abil tertera di layar, lantas menempelkan ke telinga selepas menggeser tombol hijau. Laki-laki itu terdiam karena sosok di seberang sana mulai melontarkan kata demi kata dengan nada tak biasa.
"Gue butuh bantuan lo, Al."
***
To be continue
"Cinde ...!"
Panggilan menggelegar dari Kanda tidak dihiraukan Cinde. Langkahnya berpacu cepat dengan mimik wajah memerah. Untung saja Kanda tidak mengejar, menciptakan sedikit ketenangan di benaknya.
Cinde bergegas ke rooftop gedung kelas, diikuti oleh Reta. Sesampainya di sana, gadis kelas dua SMP itu meluruhkan diri ke permukaan yang ia pijaki dengan tangan memeluki kedua kaki yang terlipat. Perlahan bahu Cinde bergetar, terdengar pula tangisan yang memilukan.
Reta terlihat mendekat, lantas menemukan kedua lututnya dengan atap rooftop. "Nde, apa yang harus Reta lakuin, supaya Cinde tidak menangis lagi?" tanya gadis itu sembari mengelus sebelah pundak Cinde.
Kepala Cinde menggeleng beberapa kali, lalu berkata, "Reta tidak perlu melakukan apa-apa, Reta cuma perlu jadi sahabat Cinde, sampai kapan pun, dan jangan pernah tinggalin Cinde apa pun yang terjadi. Janji?"
Tampak Reta menitikkan air mata seraya mengangguk berulang kali. Kedua sahabat itu saling merengkuh, melepaskan tangis yang menyimpan beribu luka.
"Reta sayang sama Cinde ..."
"Cinde juga sayang banget sama Reta ...."
***
To be continue.
[Kyuni's Note]: Gimana sama part ini? Udah mulai penisirin bilim? 😂 Rella ternyata pernah sombong juga, loh. Hmmm
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali