Share

Bag 10

Lisa menguyur tubuhnya yang sudah setengah basah itu menggunakan air dingin. Sejenak ia bersandar di dinding kamar mandi, merenungkan penderitaannya sekarang.

"Ayah, ibu… Aku rindu kalian," lirih Lisa.

Seutas ucapan kata rindu sudah cukup membuat Lisa menjadi lebih tegar. Dia segera beranjak keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya.

Lisa harus menyetorkan nasi uduk ke beberapa warung langganannya. Menyisakan sedikit untuk diberikannya kepada para pengemis. Sebab baginya mustahil harus menjual seratus porsi penuh dengan berkeliling.

Lisa tidak akan pernah menyesal jika harus membagikan dagangannya kepada para pengemis, meskipun hampir setengahnya sekalipun. Sedikit meringankan beban orang lain, setidaknya membuatnya cukup senang.

Yang namanya berjualan Lisa paham betul resiko akan merugi, tidak ada rasa penyesalan sedikit pun jika ia harus pulang membawa kembali dagangannya yang tidak laku.

Hari ini Lisa berencana untuk datang ke kantor tempat biasanya ia berjualan. Di sana memang banyak pelanggannya, meskipun itu hanya para pegawai cleaning service.

Rambut  yang diikat tak mengurangi keanggunannya. Lisa begitu cantik meskipun tanpa riasan sedikitpun.

Lisa mulai melangkahkan kakinya hendak mendekati gerbang kantor tersebut. Sebenarnya Lisa sedikit ragu karena mengetahui perusahaan tersebut adalah milik Kendra tukang mesum. Namun karena dia benar-benar membutuhkan uang, egonya akhirnya terkalahkan.

Sementara itu mobil Zae melaju hendak masuk melewati gerbang yang sama dengan Lisa. Zae juga melihat Lisa yang sedang membawa keranjang dagangannya kala itu. Ia pun segera memarkirkan mobilnya.

Zae turun dari mobil, mengamati Lisa lebih dalam lagi. Setelah memastikan bahwa itu benar-benar Lisa, Zae tak segan-segan melambaikan tangannya ke arah Lisa. "Alyssa !"

Lisa celingukan mencari sumber suara. "Siapa yang memanggilku?" lirih Lisa. Tatapan Lisa terhenti karena ternyata yang memanggilnya berada di parkiran, dengan segera Lisa membalas lambaian tangan dari Zae.

Zae memberi kode dengan tangannya agar Lisa menemuinya. Tanpa ragu – ragu Lisa menemui Zae yang sedang berdiri di depan sebuah mobil sedan mewah.

"Sepertinya aku pernah melihat mobil Zae," gumam Lisa.

Sambil berjalan mendekati Zae, Lisa mengingat-ingat mobil siapa yang ditumpangi oleh Zae.

"Ah, bodoh sekali aku. Mobil seperti itu banyak yang mempunyainya." Batin Lisa lagi.

Lisa berhenti memikirkan tentang mobil, ia segera mendekati Zae. "Selamat siang Tuan," tegur Lisa balik.

Zae sungguh tertawa karena Lisa memanggilnya dengan sebutan Tuan. "Sudah hentikan. Harus ku bilang jangan panggil aku Tuan. Lagi pula aku bukan seorang bos, aku hanyalah seorang pesuruh." Kira-kira seperti itu penjelasan Zae pada Lisa.

Lisa membalasnya dengan tersenyum. "Baiklah."

Mata Zae sebenarnya tertuju pada sebuah keranjang yang dibawa oleh Lisa. Sedari tadi memang Lisa terlihat sedang keberatan membawa keranjang tersebut sehingga memikat perhatiannya kepada  keranjang.

Zae menatap keranjang yang dibawa Lisa. "Hei apa itu ?"

"Oh ini?" Lisa tersenyum sambil menatap keranjangnya sendiri. "Aku menjual nasi uduk, apa kau ingin membelinya?"

"Bukankah kau ini seorang pelajar ya ? Ini kan seharusnya masih jam sekolah." Terselip rasa penasaran dalam benak Zae.

"Tenang saja, aku sudah hampir menyelesaikan studyku. Doakan saja sebentar lagi lulus." Di sela-sela jawabannya, Lisa tersenyum.

"Sungguh kau wanita hebat," batin Zae kagum.

Tiba – tiba muncul ide dari Zae, entah apa yang merasukinya namun rasa iba telah menjalar ke tubuhnya. "Bolehkah aku membeli semuanya?" tanya Zae.

Lisa tersenyum, "maaf Zae." Lisa kemudian menundukkan kepalanya bentuk rasa hormatnya kepada Zae. "Kalau kamu mau membeli semua daganganku hanya karena rasa iba. Mohon maaf, aku tidak bisa menjualnya kepadamu Zae."

"Deg…."

Jantung Zae terasa hampir copot. Tidak menyangka bahwa Lisa berbicara seperti apa yang dipikirkan. "Tidak, tidak.." Zae berkilah.

Tiba – tiba ide lain muncul dalam otak Zae. "Aku ingin membelinya karena aku sudah janji dengan teman – temanku untuk menraktir mereka. Memangnya aku tidak boleh menraktir mereka dengan daganganmu ??"

"Astaga, mengapa aku berpikir sejauh itu," batin Lisa sedikit merasa bersalah.

Untuk meyakinkan kepada Lisa, Zae sengaja memanggil para cleaning service agar menemuinya. Mereka sedikit bingung karena Zae tiba-tiba saja memanggilnya. Mereka bahkan tidak merasa bahwa sedang melakukan kesalahan.

"Maaf ada apa Tuan, memanggil kami kemari?" tanya salah seorang cleaning service.

"Ah tidak, seperti janjiku kemarin. Aku akan membelikan kalian makanan." Ucap Zae sambil tersenyum.

Para cleaning service nampak kebingungan dan saling bertatapan. Zae tidak pernah menjanjikan apa-apa.

Melihat hal tersebut, Zae segera mengambil tindakan. "Kalian pasti lupa ya, aku kemarin sudah bilang memang kalian tidak terlalu mendengarkannya. Tapi aku tetap mematuhi janjiku."

Zae langsung mengambil dompet dari sakunya. "Ayo, segera ambillah!" perintah Zae pada para bawahannya.

Tadinya mereka sangat kebingungan. Tapi karena Zae berucap dengan mantap, ditambah lagi sudah mengeluarkan dompetnya. Mereka segera dengan sigapnya mengambil makanan yang dijual oleh Lisa.

"Terimakasih Tuan."

"Sering-seringlah menraktir kami Tuan."

"Huft, dasar tidak tahu diri." Batin kesal  Zae.

Lisa masih tertegun menatap Zae. "Hei kau kenapa?" tanya Zae membangunkan lamunan Lisa. Lisa hanya menggelengkan kepalanya saja. "Sudahkah kau hitung mereka ambil berapa bungkus?" tanya Zae.

"Ternyata dia orang yang baik," batin Lisa sambil menyembunyikan senyumnya.

Dalam keranjang tersebut masih tersisa dua bungkus. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan Zae juga mengambilnya. "Berapa semuanya ?" tanya Zae.

Lisa sambil mengingat-ingat berapa bungkus yang dia bawa kemari. Jari jemarinya yang lentik digunakannya untuk berhitung. "Zae, sepertinya aku tadi membawa dua puluh bungkus. Semuanya jadinya dua ratus ribu."

Segera Zae memberi uang pas kepada Lisa. Dia tidak ingin uang lebihnya jika diberikan kepada Lisa akan membuat Lisa tersengging.

Lisa segera beranjak pamit dari hadapan Zae karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.

"Tunggu Lis," cegah Zae. Lisa yang sudah beberapa langkah menjauhi Zae kembali menoleh. "Apa aku boleh meminta nomor ponselmu?"

"Untuk apa?" tanya Lisa.

"Aku sungguh ingin berteman denganmu, aku hanya ingin lebih dekat denganmu."

Lisa tersenyum mendengarnya. "Aku juga ingin berteman denganmu. Tapi maaf Zae, aku tidak memiliki ponsel."

Zae sedikit kaget mendengarnya. Hampir tidak percaya, manusia hidup di zaman modern ini tidak memiliki sebuah ponsel. "Lalu bagaimana aku bisa menghubungimu?" tanya Zae lagi.

"Aku akan ke sini setiap dua hari sekali. Jadi meskipun aku tidak memiliki ponsel, tapi aku janji kalau aku bertemu denganmu aku akan menyapa." Janji Lisa.

"Baiklah." Pasrah Zae.

"Sungguh aku tidak percaya, mengapa masih ada manusia sesedarhana itu. Bekerja keras dan bisa hidup tanpa ponsel. Apa dia manusia yang hidup di zaman purbakala?" batin Zae yang sungguh tidak bermutu itu.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status