Peter pun berjalan berhari-hari menuju di mana pasukan pejuang kocar-kacir, dia tak pernah menduga, kalau Tungga cs yang sudah bertemu para pasukan pejuang, manusia licik ini diam-diam mengatakan Peter telah kembali ke pasukan Belanda, dan berkhianat dengan para pejuang.
Hanya dua orang yang tidak percaya kata-kata Tungga, yakni Ki Janos dan gadis yang diam-diam punya hubungan khusus dengan Peter.
Di saat yang sama, terjadi perubahan besar-besaran, karena Indonesia kini mulai ditinggalkan pasukan Belanda, melalui Konprensi Meja Bundar 27 Desember 1949, Ratu Juliana mewakili pemerintahan Belanda dan Muhammad Hatta mewakili Indonesia, menyerahkan sepenuhnya daerah jajahannya ke Indonesia.
Negeri inipun merdeka setelah 350 tahun dan 3,5 tahun di jajah Belanda serta Jepang. Indonesia pun merdeka sepenuhnya dari Belanda, para pejuang kembali turun gunung dan kembali ke desa masing-masing.
Tungga, Bino dan Jabir juga kini bisa bernafas lega, mereka yang kini sudah memiliki masing-masing 2 biji intan berharga milyaran ini juga kembali ke Banjarmasin, mereka masih menyembunyikan harta itu, karena kondisi masih belum begitu kondusif pasca Belanda angkat kaki.
Peter juga mengetahui kalau Indonesia kini merdeka melalui keterangan warga yang dia temui di jalan, untung warga lokal tak menangkapnya karena dia bule, sebab ada perjanjian, warga Belanda yang ingin tinggal di Indonesia dibolehkan dan jangan di ganggu.
Sedangkan yang ingin kembali ke Belanda juga dipersilahkan, sehingga dia aman-aman saja. Dia tak jadi menyusul pasukan pejuang, dia kini menuju sebuah desa yang dia yakini di sana Ki Janos tinggal.
Hampir sebulan, barulah Peter berhasil bertemu Ki Janos dan hatinya makin gembira, gadis yang dia taksir ternyata juga ada di desa itu.
Peter pun menikahi gadis ini dan tak lama gadis inipun hamil, selama masa kehamilan itulah Peter terbuka soal harta karun itu, dan bersama Ki Janos membahas surat-surat berharga ini.
“Jadi ini surat yang menyatakan Bank Belanda yang kini dikuasai Indonesia menyimpan harta berupa emas dan intan berlian yang sudah dijadikan uang dalam bentuk gulden dan disimpan di bank itu ya?” kata Ki Jano.
“Betul Ki…penemu asli harta ini menyatakan, siapa yang membawa surat ini, maka dialah pemiliknya, ini kan luar biasa Ki…artinya sayalah yang berhak menguasai harta karun itu sekarang!” kata Peter berbinar-binar.
“Jadi apa langkah kamu berikutnya?” pancing Ki Janos.
“Saya akan ke Banjarmasin Ki, saya akan ke Bank Indonesia yang ada di Banjarmasin mengurus ini semua!” kata Peter.
Ki Janos hanya manggut-manggut dan meminta Peter berhati-hati, Ki Janos juga berpesan, agar Peter menghindari kalau bertemu Tungga, Bino dan Jabir. Karena nama Peter sudah difitnah oleh tiga orang ini, terutama Tungga.
Seminggu kemudian Peter benar-benar berangkat ke Banjarmasin, dia menumpang kapal sungai yang membawanya ke arah hilir Banjarmasin.
Istrinya juga berpesan agar Peter secepatnya pulang setelah urusannya beres.
Selama lebih 10 hari, barulah Peter sampai ke Banjarmasin, dia melongo melihat pesatnya pembangunan kota ini semenjak Belanda angkat kaki.
Sejak ditinggalkan pasukan Belanda Banjarmasin seperti daerah terbuka, dia juga tak aneh melihat masih ada bule-bule yang ternyata masih bertahan dan sama seperti dia memihak negeri ini, karena sudah mempunyai anak istri warga pribumi.
Termasuk banyaknya warga-warga keturunan yang hilir mudik di kota yang dijuluki kota seribu sungai ini.
Banjarmasin dalam waktu yang singkat bersiap menjadi kota besar dan modern di jaman itu.
Tanpa kesulitan berarti, Peter pun lancar berurusan di bank yang kini jadi milik pemerintah Indonesia.
Obligasi asli disimpan bank itu dan dia dapat salinan serta surat berharga yang resmi di bank tersebut.
“Semakin lama tak diambil, maka dana ini akan bunga berbunga pak Peter!” kata petugas bank itu tersenyum.
Si petugas bank ini berpesan pada Peter agar berhati-hati menyimpan surat berharga itu, dia juga di beri kunci khusus dari bank, sehingga Peter bisa kapanpun mengecek sendiri di bank ini simpanan uang jutaan gulden ini.
Peter mencairkan beberapa ribu rupiah, dia teringat mantan istrinya Salitin, dia bermaksud ingin mengunjungi dan ingin memberinya duit itu.
Inilah kesalahan besar Peter, saat bertemu Salitin dan menyerahkan duit itu, Peter keceplosan bilang kalau uang itu berasal dari harta karun yang dia peroleh di sebuah hutan.
“Sisanya ku tabung dan tak bisa diambil sembarangan, kecuali bisa memiliki surat-surat berharga ini,” kata Peter yang ternyata masih sayang dengan istri nya ini.
Awalnya Salitin yang mulai sakit-sakitan ini menyimpan rapat-rapat darimana uang dia peroleh, sehingga bisa berobat ke seorang dokter keturunan Belanda di kota ini dan sisanya dia perbaiki rumah, bahkan masih ada tabungan lagi.
Namun saat Tungga yang kini mulai kaya raya datang, anaknya ini bertanya darimana ibunya dapat duit banyak, hingga bisa berobat dan merehab rumah hingga bagus, Salitin pun keceplosan dan cerita apa adanya.
Salitin tak menduga betapa Tungga kaget setengah mati mendengar hal ini, kaget karena Peter masih hidup dan malah memperoleh harta karun.
Salitin tak pernah menduga anaknya lah yang hampir membunuh suaminya itu. Tungga tak mengira harta yang diperoleh Peter justru luar biasa banyaknya, mengalahkan nilai intan yang dia, Bino dan Jabir miliki.
Tungga pun mendatangi Bino dan Jabir, ketiganya lalu berniat akan merampas surat berharga itu dan akan menguasai harta yang kini dimiliki Peter.
Tungga benar-benar sudah kemaruk dan dalam hati beralasan, kalau bukan dia yang menemukan peta harta itu, tak mungkin Peter memperoleh kekayaan yang sangat banyak dan mengalahkan harta yang kini dia miliki, setelah menjual intan tersebut dengan kurs saat itu.
*****
Sampai di sini, Kakek Zainul beristirahat bercerita…dia kemudian minum kopi yang disediakan seorang pembantu yang baru seminggu di rekrut Mahyadin, untuk membantu di rumah ini.
“Hmmm…saya sudah paham, mereka berhasil menemukan alamat kakek Peter dan membunuhnya dengan licik, sedangkan nenek diselamatkan Ki Zainul dan akhirnya melahirkan ayah, Ki Durangga….!” kata Mahyadin, kakek Zainul menganggukan kepala.
“Lalu kenapa ayah masih takut bertemu Tungga, Bino dan Jabir dan membalas dendam kematian kakek?” tanya Mahyadin kurang paham.
“Turngga, Bino dan Jabir telah salah menerima ilmu, ketiganya membekali diri dengan ilmu hitam. Rupanya tau kalau ayahmu masih hidup, mereka ketakutan, terutama takut dengan kakek dan juga ayahmu. Ayahmu tau itu, tak mungkin mengalahkan mereka saking tingginya ilmu hitam yang mereka miliki, ayahmu juga tinggi ilmunya, tapi dia lebih ke ilmu putih bukan hitam, sehingga dia mampu masuk ke alam gaib. Ayahmu berpesan pada kakek, kalaupun ingin membalas, balaslah dengan cara yang lebih beradap, yakni dengan kelicikan juga!” kakek Zainul menghela nafas.
“Licik di balas kelicikan…!” gumam Radin tanpa sadar.
“Iyahhh…itulah sebabnya kamu diminta kuliah dan belajar dengan benar, ayahmu yakin dengan kemampuan kamu kelak, semua kelicikan Tungga, Bino dan Jabir akan habis oleh kecerdikan kamu…entahlah apakah ketiganya masih hidup kini, atau sudah meninggal, kalau pun masih berusia panjang, tentu usia mereka rata-rata di atas 75 tahunan,” kata kakek Zainul lagi.
Kakek Zainul juga mengatakan, Ki Durangga sudah bertekad dalam hati, tidak mau jadi pembunuh sebagaimana Tungga cs, dia ingin hidup tenang dan menghindari konfrontasi dengan siapapun.
Sampai tengah malam keduanya terus berbincang-bincang, kakek Zainul juga tak bosan-bosannya membekali anak gurunya ini dengan nasehat-nasehat panjang lebar.
Setelah hampi jam 2 subuh, keduanya akhirnya beristirahat, Mahyadin kini sudah dapat gambaran tentang musuh-musuh keluarganya.
Dia paham, ketiga orang itu kalau masih hidup, tentu sudah memiliki kekayaan yang luar biasa, kalau pintar memanfaatkan intan-intan yang sangat berharga tersebut.
Mahyadin juga berpikir, pasti anak keturunan ketiga orang itu rata-rata yang seumuran ayahnya, yakni 55 tahunan lebih.
“Musuh yang berat, pasti anak cucu keturunan Tungga cs sangat banyak…aku harus berhati-hati, karena tujuan utamaku pastinya bukan anak cucunya, tapi Tungga, Bino dan Jabir!” batin Mahyadin, tak lama kemudian diapun terlelap setelah terdengar denting jam 3 subuh.
*****
BERSAMBUNG
Satu setengah tahun sebelumnya…!Setelah bolak balik tak karuan, pemuda inipun bangkit dari kasurnya dan duduk termenung.“Mimpi buruk lagi….!” pemuda ini mengangguk pada seorang wanita parobaya, lalu dia bangkit dari tidur malamnya dan permisi ke wanita yang juga ibu kandungnya ini.Acil Galuh, ibunya hanya menatap anak tunggalnya ini dengan hati bingung. Ini sudah yang ke 3 kalinya Mahyadin bermimpi bertemu seseorang yang mengaku leluhurnya di masalalu. Galuh yang kini berusia 47 tahun adalah janda yang sudah lama hidup bersama Mahyadin.Suaminya meninggal saat Mahyadin dalam kandungan, Mahyadin duduk termenung di teras rumah sederhana dan dia mengisap sebatang rokok untuk menenangkan pikirannya.Mimpi bertemu orang yang mengaku-ngaku kakeknya membuat dia tak bisa tidur lagi dan memejamkan mata.“Mahyadin…kamu harus membuat perhitungan dengan keturunan Tungga, Bino dan Jabir, mereka telah merampas harta dan membunuh kakek buyutmu,…kakek tak akan bisa tenang sebelum kamu balas dendam
“Hmmm…pernah liat ibu-ibu ngasih ASI ke bayi ga?” tanya Dini nge-balik ucapan Mahyadin.Mahyadin yang memang lugu ini menganggukan kepala.“Pingin ga…?” pancing Dini tertawa kecil.“Emank punya Ka Dini bisa ngeluarin ASI?” Mahyadin yang polos akhirnya terpancing juga.Dini akhirnya langsung tergelak mendengar ucapan apa adanya remaja ini.“Nanti…kalau kamu mau…hmmm…catat deh nomor telepon ka Dini yahhh!” Mahyadin yang tak paham soal ini dengan polosnya langsung mencatat nomor hape Dini.Tak lama kemudian wanita yang memiliki pantat agak lentik dan menggoda ini keluar ruangan, dan tak sampai 10 menitan sudah datang kembali dengan gelas berisi minuman teh manis hangat. Hanya berselang 15 menitan, pa Kadis yang ditunggu-tunggu masuk ke ruang tunggu dan melihat Dini sedang berbincang dengan seorang anak remaja berseragam SMU, dia bertanya ada keperluan apa kepada Mahyadin.Mahyadin pun menyampaikan maksud dan tujuannya serta menyerahkan surat undangan itu. Setelah berbasa-basi dengan ho
Ingat masa remajanya…Mahyadin hanya tersenyum, tapi dia tak menyesali apa yang sudah dia perbuat dengan Dini dan kini masih terus berlanjut, Mahyadin telah jatuh cinta dengan janda muda ini.Bagaimana dengan Wine…yang kini sedang merasa nyaman bersandar di punggungnya…?Tak terasa Mahyadin kini sampai di kampus dan Wine senang sekali bisa berboncengan dengan Mahyadin.“Nanti pulangnya barengan lagi yahh,” kata Wine. Mahyadin hanya mengangguk sambil tersenyum.Melihat senyum Mahyadin, Wine menahan kakinya dan menatap pria yang sangat menarik hatinya ini.“Kapan kamu ada waktu ke rumahku?” pancing Wine.“Nunggu kamu putus dengan pacar kamu!” sahut Mahyadin cepat, Wine langsung tertawa dan berbisik emank pria saja yang bisa punya banyak pacar, wanita juga bisa.“Dasarrrr…uda ahhh yuks masuk kelas, bentar lagi perkuliahan di mulai!” kata Mahyadin sambil merapikan
Mahyadin bingung apa yang dia hadapi saat ini. Dibilang bertemu hantu, tapi kaki orang misterius itu menapak tanah, dibilang manusia, kenapa bisa menghilang tanpa ia ketahui…!Mahyadin yang merasa ngeri sendiri kemudian masuk lagi ke dalam rumah, lama baru bisa memejamkan mata, jelang tengah malam baru dia bisa tertidur disamping kekasihnya.Saat dia dan Dini untuk kesekian kalinya bercinta pada paginya, Dini sampai jengkel karena Mahyadin sudah hampir 1,5 jam lebih tak klimaks-klimaks juga, sampai perih punya dia dan menatap wajah kekasih mudanya yang seakan tak menikmati percintaan mereka.Dini lalu turun dari tubuh Mahyadin dan menatap cemburu wajah pria yang makin dewasa dan semakin tampan ini, terlebih kini brewoknya mulai tumbuh di kedua pipinya.“Kamu lagi mikir siapa…pacar baru yaa!” tegur Dini sambil menarik wajah Mahyadin dan menatapnya tak senang, karena cemburu.Mahyadin tersenyum dan menatap wajah kekasihnya i
Pria tua ini tersenyum lalu dia mendekati pemuda yang dia panggil Radin ini, lalu mengusap pelan wajah pemuda ini sambil mulutnya komat-kamit, seperti merapalkan bacaan ajian tertentu.Setelah mengusapnya perlahan, pria ini menekan dada Mahyadin dan antara sadar dan tidak, Mahyadin seakan menerima hawa panas yang menjalari tubuhnya.Dalam tidurnya, Mahyadin seakan bermimpi dan melihat ada 3 orang dengan wajah beringas sedang berjalan menuju gubuk tempat mereka.Sampai di halaman gubuk itu, pria itu berkacak pinggang dan berteriak.“Pet Jan Terling, hari ini juga kamu harus menyerahkan kitab itu, kalau kamu menolak, nyawa kamu taruhannya!” teriak pria ini, dia sudah menghunus goloknya yang tajam.Pria yang dipanggil Pet Jan Terling ini keluar dari gubuk itu, wajahnya tersenyum menatap siapa yang datang dan berteriak itu, dia terlihat sangat tenang dan tak ada ketakutan dari wajahnya, dia menatap 3 pria yang kini semuanya menghunus golok
Kadang Ki Janos menggendong Satem dan membawanya dengan kecepatan yang sulit dipercaya, Ki Janos bak melayang saja berjalan di dalam hutan dan jauh meninggalkan bekas perkelahian tak seimbang tadi.Anehnya, Mahyadin juga enteng saja mengikuti keduanya, Mahyadin juga seakan punya ilmu melayang.Uniknya keduanya sama sekali tak tahu kalau Mahyadin mengikuti mereka, seakan-akan Mahyadin ini adalah roh yang tak terlihat.Dua hari kemudian, Satem melahirkan bayi laki-laki yang dinamakan Durangga, sayangnya Satem yang masih berduka kehilangan Pet Jan suaminya ini, meninggal dunia setelah mengalami pendarahan usai melahirkan.Bayi Durangga yang malang ini akhirnya dipelihara Ki Janos sampai besar.Sampai di sini, bak menonton sebuah film, layar pun menyatakan film itu selesai.Mahyadin langsung tersadar…rohnya seakan masuk kembali ke raga dia dan kini dia sudah sadar kembali, se-sadar-sadarnya.Ia menatap kebingungan wajah Durangga ya
Saat melepas bajunya, Dewi sempat melirik Ki Sanus yang ternyata sudah duduk bersemedhi dari jarak 5 meter dari dia dan memejamkan mata. Sayup-sayup dia mendengar suara Ki Sanus.“Tak usah ragu…lepaskan pakaian kamu dan ikuti apa yang kubaca…!” Dewi bergidik kedinginan, tapi dia patuh dan kini badannya polos, lagi-lagi dia melirik Ki Sanus, namun pria itu tetap memejamkan mata dan tidak memperhatikan dia.Dewi pun tenang dan tak malu-malu lagi, dia pun kini duduk polos di sebuah batu datar dengan badan menggigil kedinginan.Baru pertama kali Dewi berani polos begini di depan seorang pria yang bukan suaminya. Namun tekadnya untuk memiliki keturunan mengalahkan rasa sungkan dan malunya itu.Keanehan mulai Dewi rasakan, saat konsentrasi dan ikut melapalkan apa yang dibaca Ki Sanus, badannya mulai hangat dan kini dia merasa nyaman tidak lagi menggigil kedinginan seperti tadi.Lama-lama Dewi pun kini tenggelam dalam semedhinya
“Ki…!” hanya itu ucapan Dewi dan selanjutnya bibirnya mencium bibir Ki Sanus, pria tua yang awet tampan ini tersentak kaget dengan perbuatan Dewi.Ki Sanus yang seumur-umur tak pernah berciuman dengan wanita ini terpana, akal sehatnya sempat hilang seketika, untung dia cepat ingat kalau Dewi adalah pasiennya, sehingga dia mampu menolak godaan nafsu dari Dewi.Ki Sanus tidak melupakan pesan Ki Janos gurunya.“Ingat…bila kamu sampai berhubungan badan dengan wanita yang bukan istri sah mu, maka semua kesaktian kamu akan lenyap,” pesan Ki Janos.Ki Sanus lalu menepuk bahu Dewi, dan wanita cantik itupun lunglai setengah pingsan, saat dia memandang Dewi yang polos dan seperti tertidur, Ki Sanus hanya menghela nafas panjang.“Maafkan aku guru…hampir aku melanggar pantangan berat…!” kata Ki Sanus dalam hati. Ki Sanus pelan-pelan membangunkan Dewi dan meminta wanita ini berpakaian dan mengajakn