Share

BAB 3

Pagi hari dikampung Nusa, salah satu wilayah yang jauh dari segala macam hiruk-pikuk keramaian kota Tasik. Sebagian besar dari wilayah kampung tersebut adalah persawahan dan perkebunan teh dan kopi, hampir setengah dari semua persawahan dan perkebunan itu dimiliki oleh PK Ujang.

PK Ujang adalah penduduk dari kampung Nusa yang namanya cukup terkenal Karena kekayaannya di kota Tasik. Salah satu usahanya adalah toko kelontongannya yang sudah tersebar di seluruh penjuru kota Tasik, bahkan dipusat kota PK Ujang sedang membangun sebuah supermarket yang sangat besar dipusat kota Tasik, yang nantinya akan bersaing dengan beberapa prusahan besar lainnya yang kebanyakan berasal dari ibu kota DKI Jakarta dan beberapa perusahaan asing.

Kini Harry sudah menyiapkan dirinya untuk mulai brangkat kerja lagi, setelah sisa dagangan yang kemarin di simpan dibagian depan motornya, dia langsung berangkat lagi menuju pabrik untuk merestok dan setor hasil dagangan kemarin.

Satu jam perjalanan menuju kota tempat pabriknya beroperasi sampailah dia ke sebuah bangunan yang cukup besar dikelilingi benteng tembok yang diatasnya dipasang besi-besi tajam untuk sekedar menyulitkan masuk apabila ada maling.

Setelah Harry berada di depan gerbang pabrik, salah satu dari dua satpam penjaga kemanan menyapanya dengan ramah dan akrab " pagi Harry !".

"Pagi PK Toto!" Jawab Harry sambil tersenyum, dan memandang satpam satunya yang hanya tersenyum melihat kedatangan Harry.

Setelah gerbang dibuka, Harry langsung masuk dan memparkir motornya didalam yang juga sudah berjejer motor-motor dari pegawai pabrik itu, mungkin ada sekitar 100 lebihan pegawai disana.

Perusahaan itu memproduksi makanan ringan yang disebut dengan makaroni, dari mulai bahan mentah hingga jadi diproduksi ditempat ini. Ada 5 gudang tempat penyimpanan dan pemasarannya, masing-masing makaroni ini, tapi yang menjadi pusat kantor dan produksi hanya ditempat pengambilannya Harry.

Harry berjalan menuju salahsatu ruangan yang hampir setengah dari tembok ruangan tersebut terbuat dari kaca, dan terlihat ada 3 orang didalamnya dengan masing-masing memiliki meja dan komputer. Diatas pintu masuknya tertulis Ruang Pemasaran.

Harry pun masuk dan menyapa ketiga staf diruangan tersebut, satu laki-laki dipojok samping, satu wanita ditengah dan satu lagi Wanita didepan menghadap pintu.

"Selamat pagi Bu Fira, Bu ana, PK Indra !" Harry sambil memandang masing-masing staf tersebut dan duduk di bangku yang sudah disediakan didepan meja Ibu Fira.

"Pagi PK Harry" Bu Fira ramah.

"Pagi !" Jawab Bu ana yang lagi sibuk dengan komputernya.

"Pagi juga PK Harry, gimana jualannya lancar ?" Jawab PK Indra antusias sambil tersenyum, yang langsung dijawab Harry dengan antusias pula "Alhamdulillah lancar selalu PK Indra ".

Harry langsung berkomunikasi dengan ibu Fira yang merupakan bagian admin penyetoran setoran hasil jualan Harry dan order kembali untuk dibawanya hari ini.

Setelah selesai dari pabrik Harry keluar gerbang dengan membawa banyak barang dagangan penuh dimotor yang sudah berumur lebih tua darinya, dibantu tas kurir dibelakangnya berisi makaroni sampai hampir meliputi kepalanya Harry yang tertutup helm hitam, terlihat motor tersebut masih sangat tangguh dan tentunya antik.

Harry pun berangkat bejualan menuju warung-warung langganannya yang sudah terjadwal oleh Harry dalam satu Minggu sekali dia kunjungan.

Cuaca panas saat ini tidak mengurangi semangat Harry, walau panasnya cukup menyengatkan kulit bila langsung terpapar tanpa pelindung.

Harry selalu Septy dalam berkendara, sepatu, kaos tangan yang jarinya bolong-bolong, helm, dan tidak lupa surat-surat berkendara.

Disebuah warung kecil pinggir jalan raya kota Tasik, Harry menghentikan motornya dan memparkir motor tersebut didepan pintu gerbang yang tertutup. Setelah Herry melihat stok makaroni dari Minggu kemarin sudah habis diwarung tersebut Harry langsung membawa makaroni baru dari motornya untuk mengisi kembali dan menagih yang sudah habis.

"Bu yang kemarin dua bal sudah habis ya, ini saya coba restok lagi tiga bal ya ?" Tanya Harry sambil memajang ketiga bal makaroninya didepan yang cukup mudah dilihat dan diambil apabila ada yang mau beli.

"Eh, main panjang - panjang aja, belum juga aku setuju" kata ibu penjaga warung tersebut protes, tapi walaupun begitu si ibu tersebut tidak marah, karena memang itu sudah biasa dilakukan Harry apabila makaroninya habis tanpa sisa. Terlebih karena Harry sudah cukup akrab dengan ibu penjaga warung tersebut dan sudah memperhitungkan tindakannya itu.

"Sudahlah Bu Tini, tidak apa-apa. Tidak harus bayar sekarang juga kan ? jadi tidak ada ruginya, malahan mh untung untuk Bu Tini bila ini sampai habis terjual semuanya" jawab Harry sambil sedikit tertawa ceria.

"Terserah kamu saja lah, susah ngobrol sama sales mh, ada saja jawabannya. Jadi berapa yang Minggu kemarin ?" Kata Bu Tini.

"Seperti biasa 95 ribu saja"

"Tunggu, Peasaan kemarin harganya jadi 90 ribu deh, kenapa jadi 95 ribu ?" 

Harry langsung tersenyum menggoda, seakan mengetahui bahwa Bu Tini sedang menego harga, dan berkata "trik lama masih saja dipake Bu Tini mh, sudah tidak mempan Bu" Harry sambil tertawa melihat Bu Tini yang juga tertawa.

"Harusnya ini harganya 100 ribu loh Bu, harga 95 ribu Bu Tini sudah dapat harga yang sangat spesial nih, karena sudah langganan ke saya"  

"Ya sudah, nih uangnya" Bu Tini sambil menyodorkan uang dari tempat duduknya didalam warung.

"Saya terima uangnya ya Bu. Sekalian ingin istirahat dulu ya Bu sebentar disini"

"Iya silahkan"

Harry duduk dibangku depan warung, seketika matanya terkesima melihat toko yang ada disebrang jalan raya, matanya berbinar seakan membayangkan sesuatu yang indah jauh dalam pikirannya.

Terlihat salah satu motor gede terpajang di teras toko sebrang jalan raya yang tidak terlalu padat oleh kendaraan seperti biasanya. Moge tersebut berjenis Harley Davidson, salah satu motor gede yang berkelas dan mewah.

"Andai aku mengendarai motor itu ..." Harry pun hanyut dalam bayangannya. "keren gila" ucap Harry terkagum-kagum.

Memang motor gede jenis Harley Davidson adalah salah satu impiannya yang sampai saat ini menjadi keinginannya Harry. Tapi dengan harga motor Harley Davidson untuk kelas perekonomian Harry yang selangit, seakan mustahil bagi Harry memiliki motor tersebut.

"Tiiid, tiiid, tiiid" suara keras dari kelakson mobil membuyarkan bayangan Harry.

"Hei! siapa sih yang memparkir motor butut itu sembarangan ?" Teriakan marah wanita yang mengemudi mobil merah. Dilihat dari mobilnya berjenis Lamborghini model terbaru wanita muda tersebut terlihat sangat cantik dan elgan dengan kacamata hitam dimatanya, pastinya dia merupakan anak orang kaya.

"Eh, maaf mbak itu motor saya" terserigap Harry dan langsung bergegas menuju motornya.

"Apakah kamu tidak punya mata ? Atau memang buta huruf ? Parkir sembarangan. Tuh lihat dong tulisan digerbang" kata perempuan itu dengan muka yang sangat kejam melihat Harry dengan angkuh.

"Iya mbak maaf, saya salah" ucap Harry yang terlihat sabar menahan kekesalannya ketika mendengar cacian dari wanita itu. "Sombong sekali wanita itu, memangnya tidak bisa berkata baik-baik hanya sekedar memindahkan motor saja. Sayang sekali, cantik-cantik tapi sifatnya angkuh dan sombong, kebalikan dari parasnya Itu. Andai aku ditakdirkan harus memiliki wanita kayak begini, mungkin harus berpikir seribu kali lagi. Kekayaan kalau kita tidak bijak memilikinya jadi seperti ini, hanya menjadi ajang keangkuhan, kesombongan dan gengsi duniawi, hatinyapun hanya akan diliputi kegelisahan dan ketidak puasan karena nafsu dunia yang dibanggakannya itu" ucapan Harry dalam hatinya pesimis pada gadis angkuh tersebut.

Ini merupakan sebagian dari proses perjuangan Harry dalam mengejar mimpinya, sudah banyak hinaan dan cacian yang diterimanya bahkan lebih dari itu. Keluarga besar Harry dari ayahnya yang sudah meninggal merupakan keluarga orang kaya, hanya saja keluarga Harry seakan dibuang dan dicoret dari daftar nama keluarga, apalagi setelah ayahnya meninggal.

Ibu Harry pernah bercerita sedikit tentang keluarga ayahnya itu ketika Harry masih dibangku SMP, katanya "ayah dan ibu dulunya tinggal dijakarta, tapi setelah krisi moneter, ayah dan ibu pulang ke rumah nenek ibu disini, karena memang hidup dijakarta sudah tidak kondusif, apalagi dengan perekonomian kita yang sudah tidak setabil, dari pada kita mati kelaparan lebih baik pulang kampung. Keluarga ayahmu sama seperti itu, tapi mereka masih bisa bertahan dan hidup sendiri-sendiri. Jadi lebih baik kamu tidak usah memikirkan tentang keluarga ayahmu itu".

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status