Share

Chapter 6

31 Desember 2019

Virus Covid-19 yang menyerupai SARS dan MERS menyebar di seluruh Wuhan, China. Ilmuwan yang berselisih tak sengaja mengeluarkan virus percobaan dari sarangnya. Seluruh kota terkena dampak sifat virus itu, hidup pada inang makhluk hidup yang memberi makan mereka. 

Seluruh mahasiswa terkepung di dalam rumah inap mereka masing-masing, terutama yang kita sorot adalah mahasiswa asal Indonesia. Mereka terkepung virus itu di dormitori masing-masing tanpa bisa pulang ke Indonesia. Kampus di Wuhan meliburkan mereka sementara waktu, sampai waktu yang belum ditetapkan. Seluruh kampus di Wuhan meliburkan perkuliahan. 

Lama-lama seluruh Wuhan dan China melakukan lock-down karena laju penularan virus sialan itu sangat cepat.

"Ini bukan seperti virus influenza yang bersifat air soluble." Prof. Ling Chu menjelaskan pada publik. 

"Maksudnya apa, Pak?" Ketika siaran tivi menanyakan hal itu lebih jelas secara daring menggunakan zoom.

"Virus influenza dapat ditularkan melalui udara. Seperti juga dengan virus TB paru, sedangkan virus covid-19 tidak, dia akan menularkan satu sama lain lewat droplet virus yang menempel pada benda." Prof. Ling Chu menjelaskan lebih detail. "Jadi, apabila orang lain terinfeksi virus itu, lalu cairan batuk atau bersinnya menempel pada gagang pintu, siapa saja yang memegang gagang pintu tadi, kemungkinan sangat besar pasti tertular apabila yang memegang gagang pintu tadi memegang mata, mulut, dan hidungnya tanpa mencuci tangan." Profesor botak berkaca mata itu menutup penjelasannya.

"Baik pak, pertemuan kita pada hari ini." Penyaji berita di tivi menutup percakapan yang online itu.

Banyak para reporter berkeliling Wuhan dengan mobil untuk menyaksikan kota Wuhan yang kosong melompong akibat lock down. Hanya beberapa orang saja yang boleh keluar, seperti petugas yang memberikan makanan dari pintu ke pintu. Tampak universitas di Wuhan tutup dan sepi. Jalan-jalan setapak yang dulu penuh dengan pejalan kaki, kini persis seperti sepinya kuburan. Rumah sakit di Wuhan akhirnya penuh. Virus itu melumpuhkan perekonomian di sana dan menginfeksi hampir seluruh masyarakat, termasuk tenaga medis, paramedis, dan penunjang medis. Tenaga medis sangat kewalahan. Bingung karena peralatan tidak sebanyak jumlah pasien, sedangkan pasien yang sesak nafas sangat banyak, melebihi jumlah ruangan rawat dan jumlah alat bantu nafas. Halaman rumah sakit penuh. Perawat bingung memilih pasien mana yang paling butuh alat bantu nafas. Akhirnya berujung kematian yang tak terkira.

Kematian ratusan orang terjadi di China. Merambat ke Italia, Perancis, India, dan Amerika. Kematian massal setiap hari sudah tidak terkira jumlahnya. Kuburan sudah tidak muat lagi. Jalan-jalan umum mendadak menjadi tempat kematian. Burung-burung yang semula memenuhi jalan dengan riang ke sana kemari, awan putih berhias langit biru yang selalu setia menghembuskan kegembiraan hari-hari, mendadak ikut lockdown juga. Inilah duniaku. Sedang berduka.

"Kampus saya, Sher." Dokter Susan yang melihat tivi IGD memerhatikan berita terkini dari satu stasiun ke stasiun lainnya yang menyajikan berita yang sama dari seluruh dunia. Dokter Susan menonton tivi bersama perawat jaga hari itu. Ia yang merupakan dokter umum lulusan beasiswa dari Fakultas Kedokteran di Wuhan University merasa bernostalgia lewat berita yang mencengangkan itu.

"Jauh amat kuliah FK-nya, Dok." Kata Vivi yang juga perawat IGD. Mereka sedang menunggu bakso mercon kesukaan mereka.

Selang beberapa menit kemudian, datanglah seorang lelaki tak bermasker mengantar bakso mercon.

"Selamat siang, dok, sus." Sapa lelaki tua, kurir bakso mercon usahanya itu. "Ini baksonya." Katanya lagi sambil menyerahkan tiga bungkus bakso mercon kepada si penunggu ruangan. Kontan Dokter Susan beserta perawat jaga IGD berbahagia, bersorak sorai gegar gempita mengalahkan suara penyaji berita di tivi itu karena bakso terpedas di dunia itu telah hadir di tengah-tengah mereka.

"Makan yuuuk!" Teriak Vivi. "Pas banget siang-siang hujan di bulan Desember ini, saat malam tahun baru seperti ini, bakso mercon menemani kita yang tetap dinas 24 jam." Kemudian dianggukkan dr. Susan tanda setuju dengan pernyataan itu.

***

29 Maret 2020

Sudah tiga bulan virus covid-19 menguasai seluruh dunia. Maret 2020 virus itu pun akhirnya bertandang ke Indonesia. Tak bisa dipungkiri, Jakarta merupakan pusat perdagangan di Indonesia sehingga Jakarta jadi persinggahan pertama virus itu. Baru berapa hari korban virus psikopat itu sudah ribuan. Setelah bertandang ke Jakarta, tak sungkan-sungkan virus itu mendatangi lokasi lainnya yang tak kalah hebatnya. Virus itu mendatangi Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan akhirnya naik pesawat keliling Indonesia, tak terkecuali ke Sumatera. Termasuk Bengkulu yang jumlah pasien positif corona baru empat orang. Mereka dirawat di RSUD Muhammad selama dua minggu. Berawal dari manager bank konvensional, lalu merambat kepada aktivis agama, dan masyarakat sipil lainnya.

Masyarakat gempar dengan masuknya virus ini ke Indonesia. Bukan hanya melumpuhkan perekonomian yang berefek pada pengurangan jumlah karyawan, tetapi lebih kepada cara menguburkan jenazah yang kematiannya tidak boleh ditakziahkan, alih-alih dibantu masyarakat, keluarga inti pun tidak boleh berkumpul memandikan jenazah. Jenazah harus diurus oleh petugas khusus dari rumah sakit dan Dinas Kesehatan setempat yang memakai APD lengkap level 3 dengan hazmat, disholatkan oleh tenaga khusus berseragam hazmat, serta dikuburkan juga oleh petugas tersebut. Pada intinya waktu itu, bila ada keluargamu hari itu terinfeksi virus corona, mungkin terakhir kali kamu akan bertemu dengannya adalah hari itu juga, detik itulah perpisahanmu dengan mereka yang meninggal dunia dan dinyatakan positif.

Seru sedu sedan tangisan membanjiri kota dengan air mata keluarga yang tak sempat bertemu lagi dengan ayah mereka, ibu mereka, nenek kakek mereka, adik kakak mereka, dan sanak saudara mereka yang dinyatakan positif covid-19.

Dokter Susan merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Hanya dokter Susan yang sudah bekerja, empat lainnya sedang kuliah dan merantau ke Cairo-Mesir, Bandung, dan Jakarta.

"Dokter Andi, saya tukeran jaga dong. Harusnya hari ini, tapi bisa ganti dengan dr. Andi yang besok?" Tanya dr. Susan lewat telepon pagi-pagi sekali. Dokter Andi yang sudah terbiasa bangun subuh, mengiyakan permintaan rekan kerjanya.

"Ada apa dokter Susan?" Tanya dokter Andi untuk meminta penjelasan dokter Susan.

"Adik saya yang di Mesir Lockdown. Tapi karena Jakarta dan Bandung sebentar lagi harus lockdown, Adi dan Mira pulang siang ini pakai Garuda Indonesia. Saya harus jemput mereka ke Bandara dok." Jawab dr. Susan.

"Bukannya Jakarta dan Bandung sudah lockdown, Dok?" Tanya Dokter Andi. Kok bisa naik pesawat.

"Bisa naik pesawat, Dok. Bandara belum ditutup." jawab Dokter Susan lagi.

"Oia, jangan lupa Dok Andi kalau hari ini kita bakal kedatangan tamu, yaitu dokter internship yang baru. Jumlahnya 10 orang. Mohon dibantu dok." Dokter Susan mengingatkan.

"Baik Dok Susan. Titidije ya!" Kata Dokter Andi.

"Makasih lho Dok Andi sudah berkenan gantiin saya hari ini." Kata Dokter Susan lagi.

"Ya, gak papa dok. Sama-sama. Lain kali mungkin saya yang butuh minta gantiin jadwal." Ujar Dokter Andi lagi, lalu menutup telepon setelah mengucapkan salam.

***

2 April 2020

Suasana langit pagi hari ini cerah. Tenda darurat covid-19 biru, putih, dan orange kini mulai menghiasi lahan parkir mobil depan rumah sakit di samping tiga buah mobil ambulance yang siap siaga setiap hari mengantarkan jenazah atau melayani pasien rujuk ke rumah sakit umum daerah Bengkulu. Hari ini rumah sakit kedatangan tamu dari arah selatan. Dokter umum hari ini Dokter Susan, sedangkan dokter iship hari ini Dokter Rissa dan beberapa perawat bersiap-siap mengambil brankar IGD untuk menolong wanita paruh baya itu turun dari mobil kompong hitam. Ia ditemukan di jalan dengan nafas berat dan sesak, tanpa batuk dan pilek. 

"Cepat, Bonar tolong pindahkan segera pasien ke ruangan pemeriksaan." Uar dr. Susan yang didampingi dr. Rissa. 

Empat roda brankar berputar cepat menuju ruangan yang dituju. Pengantar pasien hilir mudik sambil menangis berdoa agar ibu mereka terselamatkan. Para perawat mengambil alat bantu nafas dan meletakkan pada hidung pasien, sedangkan perawat jaga yang lain sibuk menulis rekam medis pasien ke buku register. Para dokter sibuk dengan stetoskopnya, terutama dr. Susan yang merupakan penanggung jawab dokter pada hari itu.

"Keadaan umunnya tidak begitu jelek." Ujar dr. Susan yang dianggukkan dr. Rissa tanda setuju. 

"Kita observasi dulu Dok Rissa." Kata Dokter Susan lagi. "Tolong bantu saya screening pasien apakah covid atau tidak." Kata Dokter Susan lagi.

Dokter Rissa yang sejak tadi telah menggunakan APD level 2 lengkap dengan celemeknya menyanggupi permintaan rekan seniornya.

Dokter Rissa duduk di tepi pasien yang pernafasannya sudah kembali normal karena dibantu dengan alat bantu nafas.

"Maaf Bu, saya minta izin minta datanya ya." Kata dokter Rissa dengan sopan santun. Pasien itu mengangguk. Kini di sisi kiri pasien datang anak pasien yang telah berhenti menangis.

"Gimana keadaan ibu saya, dok?" Tanya anak gadis itu.

"Sedang diobservasi ya. Saat ini baik-baik saja. Sebentar lagi kita rontgen." Kata Dokter Rissa lagi. Kini Dokter Rissa memulai screening.

"Bu, ibu semenjak dua minggu terakhir ini adakah melakukan perjalanan, misalnya pergi ke daerah zona merah penyebaran covid-19 yang telah ditetapkan dunia menjadi pandemi saat ini?" Tanya Dokter Rissa.

Pasien menggeleng, tetapi tampak ragu. Mungkin belum mengerti apa arti daerah merah. Lalu Dokter Rissa mengulangi.

"Ibu dua minggu terakhir ini pergi ke Luar Negeri seperti China misalnya, Italia, India?"Tanya Dokter Rissa secara rinci.

Pasien menggeleng.

"Ibu dari luar kota antara dua minggu terakhir ini?"

Pasien menggeleng dengan ragu.

"Ibu batuk pilek?" Tanya Dokter Rissa lagi setelah menandai kertas screening pasien.

Pasien menggeleng.

"Ibu tinggal serumah dengan orang yang sejak dua minggu terakhir ini hilir mudik ke luar negeri?"

Pasien menggeleng.

"Ibu serumah dengan penderita covid?"

Pasien menggeleng.

Dokter Rissa kembali ke ruang pendaftaran IGD memberikan hasil screeningnya pada Dokter Susan. 

"Pasien ini aman. Tolong rekan perawat antar ibu itu ke ruang radiologi untuk diambil foto paru-parunya." Perintah Dokter Susan meminta tolong kerja sama para perawat.

Pasien tadi dirontgen di ruang radiologi dan hasilnya beberapa jam lagi baru bisa keluar.

"Alhamdulillah pasien kita aman semua, Dok." Kata Dokter Susan kepada Dokter Rissa. Dokter Rissa tersenyum di balik maskernya.

Malam ini Dokter Rissa sudah mandi. Ia terbiasa mandi malam di kota yang baru dipijakinya ini karena hendak melepas APD Level dua itu setelah menangani anak kecil usia dua tahun yang dehidrasi karena mencret tiga hari.

Dokter iship muda nan jelita itu masih dengan maskernya memandang tenda biru, putih, dan orange yang masih setia menunggu pasien covid. Tim covid RSUD Gading Cempaka Tipe D masih siap siaga di depan pos satpam dan tenda-tenda itu. Sebuah mobil kompong hitam melaju kencang dari pos satpam. Ia mengeluarkan pasien sesak nafas dari dalam bak di belakang mobil.

"Pasien yang siang tadi, dok!" Seru seorang perawat yang berlari-lari hendak mengambil brankar lagi.

Dokter Susan sedikit mematung. "Pasien siang tadi?"Lirihnya.

Dokter Rissa yang sudah mandi dan melepas APD level duanya, dengan gerakan gesit kembali mencari APD level dua yang baru di lemari jaga, yang stoknya tinggal satu-satunya. Dokter Susan yang juga sudah mandi kalah gesit dari Dokter Rissa dalam mengambil APD. 

"Ketersediaan APD ini sangat bermasalah!" Teriak Dokter Susan yang tetap berlari menuju ke arah pasien untuk menolong pasien tadi tanpa APD.

"Dok, biar Rissa yang tanganin. Dok Susan tidak pakai APD dan face shield." Ujar Dokter Rissa. Dokter Susan pergi ke ruang depan setelah mengucapkan terima kasih pada juniornya.

"Bu, ibu sesak lagi?" Tanya dokter Rissa kembali men-screening ulang pasiennya pagi tadi.

"Ibu tolong yang jujur ya bu. Apakah ibu ke daerah merah kah dalam kurun dua minggu terakhir?" 

Pasien mengangguk. 

"Emak saya baru pulang dari Jakarta seminggu yang lalu, dok. Beli baju di Tanah Abang untuk perlengkapan toko baju kami." Jawab anak gadis ibu tadi. 

Dag, dig, dug.

Dokter Rissa segera berkonsul dengan petugas radiologi dan dokter radiologi.

"Hasil bacaan rontgen Thoraxnya Bronchopneumonia." Jawab dokter radiologist malam itu secara teleradiologi. Setelah dicrosscheck di laboratorium, pasien positif bronchopneumonia dan hasil rapid testnya positif.

Rumah sakit gempar.

Pasien ini merupakan pasien PDP (Pasien Dalam Pengawasan) pertama di RSUD GadingCempaka. Hal yang membuat gempar adalah catatan yang dibicarakan Dokter Susan. Satu, seluruh petugas IGD yang menangani pasien ini kontak erat. Dua, setelah kontak erat dengan PDP, tenaga medis dan paramedis, serta penunjang medis radiologi merupakan orang yang berkontak erat dan menangani pasien yang lain. Ketiga, petugas yang menangani pasien ini pagi tadi di radiologi juga jadi orang yang terpapar. Keempat, petugas rumah sakit yang pulang ke rumah juga terpapar dan memapari keluarga mereka. "Aaarrgh! Sudah berapa banyak orang yang terpapar oleh ibu yang tidak jujur itu?!" Geram Dokter Susan. Ibu tadi tidak mengaku sebelumnya bahwa dia seorang yang baru pulang dari Jakarta seminggu yang lalu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status