Share

Chapter 8

Lelaki itu akhirnya memunggungi kolam air mancur di taman Fakultas Kedokteran swasta milik Apaknya itu. Satu persatu ia menuruni anak tangga taman menuju ke parkiran mobilnya. Lalu ia menaiki Alphard hitamnya dan kembali ke rumah.

Langit siang ini cerah. Richi membelah jalanan Kota Padang. Kanan kiri kota itu sangat indah karena setiap bangunan pemerintahan maupun swasta selalu memiliki atap melengkung ke kanan dan ke kiri seperti tanduk kerbau. Sama seperti kampus kedokteran swasta tadi. Namanya atap gonjong. Seperti sejarah Minangkabau, yaitu berasal dari kata Minang yang berarti menang dan Kabau yang berarti kerbau. Kerbau yang menang. Terinspirasi dari tanduk kerbau, Minangkabau menjadi ranah yang memesona dan terkenal budayanya hingga ke pelosok dunia.

Richi telah sampai di rumahnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Negeri terkenal di Jakarta itu, kampus kuning, ia pulang ke Padang. Apaknya memang membuka Fakultas Kedokteran swasta di Padang, tetapi Apaknya menyuruh anak lelakinya kuliah di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. 

"Walau Apak mantan pedagang minyak tanah, cukuplah Apak saja. Biar kamu kuliah yang tinggi-tinggi." Kata Apak sebelum memiliki penyakit Diabetes Melitus tipe dua.

"Richi kan bisa kuliah di Fakultas Kedokteran universitas swasta yang Apak dan Amak bangun?" Tukas Richi. "agar bisa selalu menjaga Amak dan Apak di rumah." Lanjutnya.

"Harus di universitas terbaik, Nak." Jawab Apak lagi menentang. "Orang harus tahu kalau kamu menjadi dokter bukan karena kampus kita, tetapi karena memang kamu benar-benar terkualifikasi masuk kampus negeri elit dan terkenal itu. Kamu pewaris utama yang akan mengolah universitas ini setelah Apak. Jadi, kamu harus menjadi pengolah yang lebih baik dari hasil output kampus kamu."

Richi terdiam. Ia merasa hal ini merupakan beban yang memang harus dipikulnya. Begitu juga dengan enam adiknya yang lain. Mereka dikuliahkan Apak ke kampus kuning juga, dan yang satu ke Amerika mengambil Jurusan Manajemen Bisnis, dan empat orang lagi yang perempuan pewaris darah minang, masih bersekolah di Padang. Dua orang kelas satu dan tiga SMA, serta yang duanya lagi masih duduk di bangku SMP. Pas tujuh bersaudara.

"Duduk di sini dulu, Richi. Apak mau cerita." Richi yang dulu liburan semester lima di jurusan kedokteran kampus kuning itu mendatangi Apaknya yang duduk di sofa depan meja tivi.

"Ada apa, Apak?" Tanya Richi.

"Bagaimana kuliahmu? Apa rasanya merantau jauh dari Padang?" Tanya Apak lagi.

"Ehm, suka dan duka telah Richi lewati selama lima semester ini, Apak. Makanya kini Richi mau pulang dulu ke Padang. Ingin menikmati hawa sejuk Padang dan rumah kita." Jawab Richi pada garis besarnya saja.

"Seandainya dulu Apakmu ini dokter juga, pasti wanita itu memilih Apak." Lirih Apak.

"Wanita mana, Pak?" Tanya Richi.

"Awas nanti lewat Amakmu." Canda Apak. Amak yang sedang pergi shopping ke Andalas Mall tentunya tidak akan mendengar Apak berbicara.

Richi tertawa kecil diikuti Apak juga.

"Dulu ya, dulu...," kata Apak masih sambil tertawa, "Sebelum Apak menikah dengan Amak, Apak menjalin cinta dengan seorang gadis. Kami sangat dekat. Melihat atap rumahnya saja, Apak senang sekali. Apalagi kalau Apak mendapatkan balasan surat cinta Apak dari gadis itu. Rasanya dunia ini dipenuhi bunga mawar." Apak melanjutkan tawanya sebentar. Richi ikut tertawa geli.

"Apak, Apak....," komentar Richi.

Tapi kini wajah Apak agak berubah. Tapi kemudian tertawa lagi. Richi menjadi penasaran kalimat apa yang akan keluar dari mulut Apak lagi.

"Gadis itu bernama Mirna. Suatu hari Apak menerima surat lagi darinya. Tebak apakah Apak senang, Richi?" Tanya Apak main tebak-tebakan?

"Ya jelas senang kan, Apak?" Jawab Richi yakin sambil tertawa kecil lalu berdehem-dehem menggoda Apak.

"Ya, kamu benar." Jawab Apak lagi. "tapi Apak senangnya cuma lima menit saja." Apak melanjutkan.

"Nah lho?!" Richi penasaran mengapa. Lalu Apak melanjutkan ceritanya.

"Lalu Apak membuka surat itu. Apak tak sabar kalimat indah apa lagi yang akan Apak baca." Kata Apak tak melanjutkan.

"Ya apa dong, Apak?" Tanya Richi tambah penasaran.

Apak agak sedih. Tapi disembunyikannya wajah itu. 

"Yang harus kamu tahu, Amak kamu adalah wanita terhebat Apak. Ketika itu dia hanya lulusan, ehm, kalau kini setara SMP. Tapi zaman dulu, Amakmu sudah mengajar baca tulis pada anak-anak di kampung kita. Itulah salah satu dari Amakmu yang membuat Apak kagum." Jawab Apak lagi. 

"Lalu bertemulah Apak dengan Amakmu, kami tetangga di kampung itu. Makwo-mu sering memuj Amakmu kala itu. Amak kader bangsa lah, Amak wanita hebat seperti Kartini lah, Amak rancak (cantik) dan pintar memasak lah. Itu artinya Makwo-mu suka sama anak tetangganya itu, ya Amakmu." Apak tersenyum bahagia. Sorot matanya penuh cinta ketika menceritakan Amak sewaktu gadis.

"Waktu itu kami juga selalu bermain dan bertemu sahabat kami sejak dulu yang sangat setia. Namanya Pak Sutan Darmansyah, Pak Darmansyah, eh, Pak Darman Apak memanggilnya. Kami buka usaha bersama. Cuma dia dan istrinya akhirnya bisa kuliah di universitas di Padang. Waw, waktu itu cuma sedikit rakyat Padang yang bisa sekolah. Cuma anak orang kaya saja. Tapi Pak Darman membiayai kuliahnya sendiri. Istrinya yang kaya." Lanjut Apak seperti mengalihkan cerita. Tapi, Richi mengembalikan ceritanya lagi ke tempat semula.

"Apak, tadi sepertinya ada yang terlewat." Ujar Richi.

"Apa ya? Apak lupa tadi bicara apa?Mungkin Apak mulai pikun." Jawab Apak.

"Itu pak, surat dari gadis itu tadi apa isinya? Sepertinya Apak sedih sekali dengan kedatangan surat itu." Tukas Richi.

"Oh, tentang itu ya. Hahaha," Apak tertawa. Oh, kalau itu, gini, dulu kan Pak Darmansyah dan istrinya bisa kuliah, sedangkan Apak tidak bisa. Paman-pamanmu banyak yang harus Apak biayai. Kami anak yatim piatu, yang mengurus kami hanyalah Makwo-mu saja. Oleh karena itu, Apak pilih membantu Makwo Apak mencari nafkah. Apak bekerja siang malam. Kalau siang, Apak menjual minyak tanah, kalau malam, Apak menulis buku. Apak kirimkan buku-buku Apak ke penerbit. Sayangnya Apak kurang serius, buku Apak tidak ada yang diterima penerbit. Cuma beberapa tulisan Apakmu ini pernah terbit di koran lokal Padang Berita." Kata Apak lagi dengan bangga.

"Emangnya apa sih Apak isi surat itu?" Tanya Richi tak puas dengan jawaban Apak. Richi merasa Apak belum jelas bercerita. Richi belum paham isi cerita yang sebenarnya.

"Isi surat itu bahwa perempuan itu mau dijodohkan Apak dan Amaknya dengan calon dokter." Jawab Apak.

Richi masih terdiam merenungkan cerita Apaknya.

"Di surat itu, gadis itu menulis kalau Apaknya tidak setuju dengan Apak yang hanya pedagang minyak tanah." Apak diam. Lidahnya sedikit kelu. Apak sedang bernostalgia dengan cerita sedihnya.

"Hahaha!" Kini Apak tertawa ngilu dan membuat Richi kaget. Lalu Richi berkata, "Yang penting Apak jadi beruntung kan dapat Amak." Richi menghibur Apak. Apak senang.

"Ya, tentu dong, Nak." Kata Apak dengan sorot mata bahagia. "Amakmu Amak terhebat. Amak yang menolong Apak berjualan minyak tanah di sela-sela ia mengajar baca tulis pada anak kampung. Kami tidak sekolah tinggi, tetapi setelah menikah, kami bersepakat anak-anak kami harus sekolah tinggi dan menjadi lebih hebat dari kami." Kata Apak membuat Richi terharu.

"Apak lebih hebat dari calon dokter itu lho, Pak." Kata Richi. "Dan Apak beruntung karena tidak jadi menikahi gadis itu." Lanjut Richi berkomentar.

"Menurutmu kenapa?" Tanya Apak lagi.

"Dokter itu mencari pekerjaan, lalu dapat kerja, baru dapat duit, sedangkan Apak dan Amak malah membuka lowongan pekerjaan yang menarik pekerja se-Sumatera Barat dan Indonesia untuk bekerja di sekolah-sekolah yang Apak dan Amak dirikan, di kampus swasta Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi yang Apak dan Amak dirikan. Dan..., bahkan Apak lebih hebat dari Richi dan adik Richi yang kini Apak sekolahkan ke luar negeri, Amerika" Jawab Richi lengkap. "Apak kini malah mempekerjakan orang-orang pintar itu. Right, sebenarnya Apak yang lebih pintar." Kata Richi lagi dengan jujur dan antusias agar Apak terhibur. Jujur, Apak memang terhibur atas pembelaan anaknya itu.

"Lalu kenapa Apak beruntung tidak jadi menikah dengan gadis itu?" Tanya Richi yang tidak membutuhkan jawaban Apak. "Itu karena gadis itu memang tidak pantas untuk Apak. Dan juga gadis itu tidak setia. Ia lebih memilih dokter atau dalam tanda kutip, hanya sebagai profesi yang prestigius, bukan memilih lelaki yang mencintainya, artinya bukan memilih cinta." Lanjut Richi berpendapat.

Apak tersenyum karena menurut Apak, apa yang ia tanamkan pada anak-anaknya lebih penting daripada sekadar cerita lama yang hanya cocok dijadikan pelajaran saja.

Lalu Richi berkata lagi, "Artinya Apak adalah lelaki hebat dan jujur bahwa gadis itu sangat menyesal tidak memilih Apak."

"Mungkin memang belum jodohnya juga, Nak." Kata Apak masih dengan senyumannya yang mekar.

"Tidak, Apak. Apak memang hebat." Kata Richi lagi mencoba melambungkan Apaknya.

Apak hanya tersenyum, dalam. "Alhamdulillah!" Jawab Apak.

Setiap jalan hidup akan memberikan pengalamannya sendiri. Membangun jiwa yang patah menjadi kuat. Menorehkan luka yang berubah jadi asa. Melapangkan dada dengan belajar dari setiap kekecewaan yang pernah datang. Silih berganti ia. Ia pasti akan selalu datang dan pergi dalam kehidupan ini. Tinggal ketegaran dan kelapangan jiwa yang harus kita bangun dan miliki.

Lelaki bernama Richi itu memasuki kamarnya. Ia bangga dengan air mancur di taman kampus swasta tadi yang dibikin Amak dan Apaknya. Ia membaringkan badannya yang baru pulang dari bandara. Menunggu di kamar saat Apak dan Amak pulang. Ia menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan kilauan kuning emas pada flaponnya. Ia merenungkan cerita Apaknya enam tahun yang lalu. Lalu ia berkata dalam batinnya, "Aku harus menemukan perempuan seperti Amak!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status