Seminggu dua kali Yuni dan Nurul selalu pulang ke rumah. Kota tempat mereka menimba ilmu berbeda. Hari ini Nurul datang pagi-pagi dengan taksi online, sedangkan Yuni dijemput.
Jika semua anak-anak telah berkumpul seperti ini, selalu ada saja yang kurang. Jarot, selalu tidak bisa datang karena kesibukannya di luar kota. Kalau Emma, selalu pulang ke rumah. Misalkan ada jadwal pergi ke luar kota selalu diusahakan tidak bersinggungan dengan jadwal anak-anak saat pulang. Jadi satu rumah ada satu laki-laki dan tiga orang perempuan, ditambah lagi dua sopir, dan satu pembantu rumah tangga yang masuknya pagi dan pulang di sore hari.
Di pagi ini, Emma dan kedua anaknya sedang makan pagi bersama. "Gimana pelajaran kalian , apakah lancar tidak ada kendala?" tanya Emma.
"Tidak ada, Ma. Lancar-lancar saja," kata Nurul sambil melirik Yuni.
"Kamu, Nak? Ada kesulitan di sana?" Pertanyaan yang sama ke anak pertamanya.
"Sama, Ma. Tidak ada. Tumben Mama perhatian sama kami, tanya-tanya mata pelajaran. Biasanya tidak pernah. Tumben, Ma?" Yuni menjawab dan bertanya. Tapi ada sesuatu yang aneh, kenapa Nurul menatapnya seperti itu? Aneh.
"Ya, memang Mama belum pernah bertanya seperti itu. Tapi yang namanya orang tua kan harus memberi perhatian dan memberi semangat. Jika mungkin ada kendala dalam pelajaran, atau ada masalah di sekolah? Mama kan sibuk sekali? ... ini salah satu bentuk perhatian Mama pada kalian."
"Iya, betul Ma. Mama sibuk sekali sampai tidak ada waktu untuk kami. Jarang sekali jalan-jalan bareng Papa dan Mama. Kalian selama ini selalu cari uang. Padahal perasaan kita ini sudah berkecukupan. Mungkin uang yang di rekening Mama dan Papa jika digabungkan, tidak akan habis kami makan sampai tujuh turunan." jawab Yuni, sambil meletakkan sendok dengan kasar di atas piring. Sebel.
Emma diam sambil pelan-pelan mengunyah makanannya. Yang tadi gurih dan sedikit manis, sekarang ... terasa agak pahit, karena omongan anak-anak yang membuat hatinya terus terang, sakit.
Yuni dan Nurul tidak tahu bawah mamanya ini menyibukkan diri bekerja di kantor, dan jarang ada di rumah karena ada satu alasan. Dia ingin melupakan sesuatu di masa lalu. Waktu di mana suaminya pernah menikah siri diam-diam tanpa seijinnya.
Emma memergoki suami sedang makan di restoran dengan seorang wanita. Masih berpikiran positif, mungkin saja perempuan itu adalah salah satu rekan bisnis Jarot. Tapi semuanya jadi aneh saat ia melihat dua orang itu berpegangan tangan, dan Jarot mencium pipi dan bibir perempuan itu. Emma panas, dan langsung melabrak mereka saat itu juga. Pertengkaran di muka umum itu dilerai orang dan mereka pun pulang ke rumah. Saat di rumah, masih ingat kejadian itu ... Emma berkata.
"Sudah Pa, kita enggak usah banyak omong dan berdebat. Kamu sudah mengakui tadi bahwa perempuan itu adalah istri sirimu. Aku ini istri sahmu!"
"Aku bisa jelaskan Ma, kasihan pe-"
"Sudah! Aku bilang sudah! Tidak ada kata kasihan, Pa! Sekarang jawab saja pertanyaan ini. Jika kau masih berat dengan perempuan itu, ceraikan aku. Tidak masalah, kita pisah baik-baik dan anak-anak biar ikut aku! Tapi jika kau masih memilih aku untuk jadi istrimu? Ceraikan dia dan aku anggap masalah ini tidak pernah ada, dan anak-anak tidak perlu tahu. Bagaimana?"
Pilihan yang sulit, pikir Jarot. Istri benar-benar tidak bisa dibelokkan pikirannya. Hampir setahun aku mengejar gadis itu, dan bersusah payah untuk menjadikannya istri kedua. Aku merayu dan mengatakan berbagai hal-hal yang indah padanya, dengan harapan dia mau jadi istriku. Tapi jika seperti ini keputusannya ... maaf Lastri, aku terpaksa meninggalkanmu.
"Oke, Ma. Aku pilih dirimu."
"Nah, selesai masalah ini. Sekarang kirim pesan ke dia, ceraikan sekarang!" Mana ada perempuan bisa bicara seperti ini? Menyuruh suaminya untuk menceraikan istri siri dengan mengirim pesan, jika tidak ada kemarahan di dalam dada, dan panas di ubun-ubun?
Satu kata, kejam. Dan juga bentuk perlawanan, tidak mau ditindas harga dirinya.
"Tapi, Ma. Apa tidak sebaiknya aku ke rumahnya saja?"
"Enggak usah, Pa! Kirim saja pesannya! Aku nggak mau ribut lagi. Sekarang, kirim pesannya dan hidup kita akan berjalan normal seperti biasa. Cepat!" bentak Emma. Di mata Jarot sekarang, istrinya seperti perwira yang sedang memberi hukuman pada bawahan. Menyeramkan!
Seperti dicocok hidungnya, diketik sebuah pesan.
[Lastri. Maafkan aku, detik ini juga aku ceraikan kamu. Aku bukan suamimu lagi, dan kamu bukan Istriku lagi. Maaf ....]
Kirim.
...
...
Emma sangat puas, suaminya menuruti apa yang dia mau. Senang telah membuat sakit istri kedua Jarot. Tapi dia menyimpan dendam. Wanita ini membatin.
Jika kau bisa bermain api, aku juga bisa Jarot. Apimu sudah padam. Sedangkan apiku?
Baru menyala!
***
Ma? ... Ma?"
"Eh, ya?"
"Kok, melamun?" tanya Nurul.
"Ah, iya Nak. Udah, habisin makanan kalian. Hari ini Mama tidak ke kantor,"
"Cihuy!" Yuni bersorak. Meluapkan kegembiraan. Bisa ini, buat jalan-jalan, shoping?
"Iya, Mah. Aduh aku senang banget Mah. Mama tidak kerja hari ini! Jadi nanti kita mau shopping di mana, Ma?" tanya anak pertamanya antusias.
"Dasar, kamu. Ya, kamu maunya di mana?"
"Di sana saja Mah, di ...."
Saat Emma dan Yuni asyik ngobrol apa yang akan dibeli nanti, Nurul pelan-pelan membawa piring, gelas dan menaruhnya di dapur.
Hatinya tidak bahagia hari ini.
***
"Oke, Nak. Selesai makan kita langsung berangkat. Lho, mana Nurul?"
"Dia tadi udahan, Ma. Piring dan gelas sudah dibawanya ke dapur."
"Ya udah, kamu bilang ke adikmu itu supaya siap-siap. Kita berangkat habis ini."
"Ok, Ma."
***
"Kok, kamu nggak ikut, Rul?" tanya Yuni. Digesernya sebuah kursi. Dan dia duduk.
"Iya, Kakak aja yang berangkat sama Mama. Aku lagi males nih, pengen di rumah aja." jawab adiknya. Sambil bertopang dagu.
"Aneh, nih. Kenapa kamu nggak ikut kita shopping? Jarang lho Mama libur untuk kita?"
"Iya, aku lagi nggak mood begini. Kakak berangkat ajah sama Mama. Biar aku di rumah sama Bi Imah." jawab Nurul sambil membatin, kamu penyebabnya.
"Ya udah. Aku bilang Mama biar berangkat tanpa kamu. Oke, ya?"
Dua puluh menit kemudian mobil yang dikendarai Doni, Emma, dan Yuni telah meninggalkan rumah menuju salah satu mall terbesar di kota ini. Nurul lagi bete karena melihat Yuni menggandeng laki-laki itu tadi pagi. Perasaan cemburu karena Yuni bisa menggandeng Doni. Bagaimana caranya? Dan laki-laki itu juga tidak marah. Apakah mereka saling mencintai? Pernah Nurul melihat Yuni keluar dari kamarnya Doni Jam dua malam. Saat itu mama dan papanya sama-sama keluar kota tidak bisa pulang. Gadis ini tidak pernah berpacaran. Pendiam dan jarang bergaul dengan lawan jenisnya. Tapi setidaknya dia mengerti apa yang telah terjadi pada mereka berdua.
Umurku dua puluh dua tahun tapi aku tidak pernah punya pacar, Nurul membatin. Tiap laki-laki yang berusaha dekat denganku, ada semacam tameng dariku yang membuat mereka menjauh. Perisai ini bukan dari sikapku kepada mereka, tapi lebih pada bayangan calon pacar di pikiranku yang terlalu tinggi. Aku suka Doni. Dia laki-laki pertama yang membuatku benar-benar terpesona. Terlepas dari kejadian saat aku melihat dia dan kakakku di dalam kamarnya. Aku gak peduli. Misalkan mereka melakukannya. Aku maklum karena mana ada laki-laki kuat yang bisa menahan hasratnya jika dikasih umpan terus menerus seperti itu. Cinta telah membutakan mata dan hatiku. Doni ... aku sayang kamu. Kamu nggak tahu betapa aku cinta padamu. Biarlah dunia mengatakan aku gila, aku nggak peduli. Apakah aku harus terus terang untuk bersaing dengan Yuni untuk mendapatkan cintamu wahai kasih? Jujur, aku malu dan segan pada kakakku. Tapi jika tidak begitu, apakah aku bisa mendapatkanmu?
Detik ini juga Nurul membulatkan tekad akan dia lakukan segala upaya untuk menarik perhatian Doni, dan tidak akan takut jika suatu saat ada gesekan dengan kakaknya Yuni karena ini masalah cinta, sesuatu yang harus diusahakan dan dikejar. Bukan sesuatu yang bisa datang sendiri. Biarlah ada resiko bertengkar dengan kakaknya. Akan dia ambil juga.
***
Sore ini suasana di depan hotel yang ditempati Reno dan Renata terlihat sepi. Juga karena hujan lebat sedang mengguyur dengan derasnya. Angin lumayan kencang membuat pohon-pohon kelapa bergoyang-goyang bak penyanyi dangdut. Sangat hot dan erotis. Kadang goyangannya pelan, kadang kencang. Tergantung angin yang menerpa. Jarang terlihat orang berlalu lalang meskipun memakai motor atau kendaraan lainnya.Mereka berdua; Reno dan Renata, sedang duduk berdua di sofa menonton film di TV berjudul the Vow. Suasana terasa romantis, kondisi sangat-sangat mendukung untuk menghabiskan waktu berdua dengan kehangatan cinta.The Vow berkisah tentang perjuangan seorang suami dalam meraih cinta istrinya yang hilang usai mengalami kecelakaan. Dikisahkan Leo (Channing Tatum) dan Paige (Rachel McAdams) adalah pasangan muda yang belum lama menikah. Suatu ketika saat baru pulang dari menonton bioskop, mereka mengalami kecelakaan. Paige jatuh terpental keluar dari mobil. Sedangkan Leo ba
"Bukan! Bukan yang seperti kau pikirkan, Sayang!""Apaan?! Sudah jelas ada perempuan di belakangmu itu, nggak pakai baju lagi! Dasar!"Reno cepat-cepat menutup panggilan video itu. Dia mendesah, akhirnya aku ketahuan juga bermain dengan seorang gadis, pikir dia. Diliriknya seseorang di sebelah. Gadis itu menatapnya tanpa berkedip. Seperti meminta penjelasan; ada apa?"Jadi, dia pacarmu?" tanya Renata sambil memakai baju. Suasana di kamar ini sudah tidak nyaman lagi bagi dia."Iya." jawab Reno."Maafkan aku ....""Nggak. Bukan salahmu.""Telepon dia lagi. Bujuk dia."Sementara itu lastri di ujung sana sedang berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang mau jatuh ke pipi. Melihat dengan mata sendiri Reno sedang selingkuh di Bali, hatinya sakit karena merasa dikhianati. Di pikirannya, Reno dan Doni sama saja. Sama-sama brengsek. Kenapa semua laki-laki begini? Tidak bisakah mereka setia?"Lho-lho, Mbak. Ken
Pagi jam lima.Reno baru bangun tidur. Aku di mana? Lho, siapa dia? Batin laki-laki ini.Dilihatnya seseorang yang sedang tidur di samping dia. Renata? Duh, kok bisa aku ketiduran di sini, ya?Dilihatnya lagi posisi dia dengan gadis itu. Mereka berdua tidur di atas ranjang berdua! Gila! Apa yang aku lakukan semalam? Pikirnya, panik. Jangan-jangan ... laki-laki ini memeriksa sesuatu. Untunglah, sabuk itu masih mengikat celananya dengan baik.Jadi tidak terjadi apa-apa semalam. Nggak tahu lagi jika seperti ini. Nanti mau pulang, apa enggak? Aku nyaman di sini satu ranjang dengan dia. Hmm ... gimana, nih?Semalam, saat Reno sedang asyik bercerita. Dia lihat gadis itu sudah tertidur di atas ranjang. Gadis itu mengajak ngobrol di atas kasur alasannya; enak ngobrol sambil tiduran. Ha? Jadi dari tadi aku ngomong sendirian? Ya gini ini, jika m
"I love you ....""I love you too ...."Lastri mencium dengan hangat bibir Reno. Mereka saling berpagutan, berpelukan di atas ranjang yang sudah ternoda di malam harinya. Tangan laki-laki ini dengan sigap melepaskan kait penutup dada gadis ini dan ... terlihat sudah sesuatu yang sudah beberapa bulan ini tidak bosan-bosan untuk dimainkan. Gadis itu, super binal kelakuannya meskipun wajahnya kalem, cantik ada manisnya dengan potongan tubuh yang sangat bagus khas peragawati. Bicaranya lemah lembut, sopan, ada sedikit mendesahnya. Dia bisa sangat hot jika di atas ranjang. Reno sangat tergila-gila padanya."Mau lagi?" tanya Lastri di antara napas yang menderu. Dia sudah tidak tahan sebenarnya. Maunya, buru-buru diselesaikan cumbuan ini biar langsung ke gerakan inti. Gerakan dan permainan laki-laki ini sangat disukainya. Diciuminya leher sang kekasih. Wangi ...."Iya." jawab Reno, sambil melepas pakaiannya yang
Malam ini aku susah tidur, kenapa, ya? ... padahal mata sudah mengantuk sekali. Sebetulnya aku mau mengakui sesuatu, tapi malu sama diri ini. Apa sih yang kucari selama ini? Sudah hampir setahun aku berkutat dengan yang namanya jempol. Ketemu teman kencan, yang kulihat jempolnya. Mau ketemuan, hati dag dig dug juga karena jempol. Hah! ... pikiran udah gak bener ini. Pas udah ketemu orang yang cocok, aku gak cocok dengan jempolnya. Padahal orangnya udah kaya, lho? Bingung sendiri aku.Matre? Aku matre? ... ya iyalah, yang kaya jadi syarat mutlak untuk jadi suamiku, apalagi hari gini apa-apa pada mahal semua. Matre tuh jadi kebutuhan dan gaya hidup. Apalagi secara penampilan aku ini cantik, putih, modis, klop lah kalo ketemu dengan yang kaya. Tua juga enggak papa kok. Ah, segininya aku, ya?Kadang, cocok sama jempolnya tapi gak cocok sama tingkah lakunya. Yang ngupilan lah, yang main game terus lah, yang bau badannya bikin mual lah, yah ... sayang. Padahal lihat jempolny
Renata melihat Reno masuk ke dalam kamar mandi. Dia termenung, membayangkan laki-laki itu membawanya ke sini. Pasti dilihatin orang banyak. Duh malu, ntar dikira mabuk lagi? Batinnya. Tapi, eh ... memang aku kemarin minum beberapa gelas, kan? Belum pernah minum-minum juga ... ya jelas aku pingsan, teler.Suara pintu kamar mandi terbuka, "hey, Renata." Reno keluar dengan wajah yang segar. Rambutnya basah. Wajah itu tambah terlihat tampan dan mulus. Pasti pakai serum. Eh."Iya?""Jadi, aku ada jadwal manggung hari ini di sebuah tempat." kata laki-laki ini. Sekarang duduk di atas kasur di samping gadis itu, " tepatnya di pantai Kuta. Aku harus berangkat sekarang ketemu sama anak-anak. Aku juga lupa nggak kasih kabar ke mereka kalau aku di sini. Dan juga karena kudu persiapan dulu, belum sound ceck juga. Kamu mau balik ke hotelmu, kan?" tanya Reno."Kamu mau main di sana?""Iya, band aku jadi salah satu band pembuka di sana.""