“Tentu saja bukan,” sanggah Max dengan nada kesal.
“Lalu, beri aku pilihan lain. Bagaimana dengan memijat? Bukankah pundakmu sering pegal?”
Sang CEO mulai memutar bola mata. Selang beberapa saat, ia memberikan boneka beruang kutub itu kepada Gabriella. “Sekarang, tepati janjimu!”
Dalam sekejap, mata Gabriella berkaca-kaca memperhatikan pemberian orang tuanya. Setelah membelai boneka itu dengan lembut, ia memeluknya dengan mata terpejam. Setetes air mata mengalir saat ia menghela napas dari tenggorokannya yang mendadak gersang.
“Aku sangat merindukanmu,” gumamnya sukses menyentuh hati Max.
“Jadi, aku berhasil mengobati kerinduanmu?” tanya pria itu setengah berbisik.
“Ya,” desah Gabriella seraya menatap sang CEO setulus hati. “Terima kasih.”
Sebisa mungkin, Max menahan bibirnya agar tidak melengkung.
“Kalau begitu, pijat aku sekarang!”
“Ya,” angguk sang gadis sambil mendekap Snowy dengan erat.
Dengan langk
Hai, Wider! Apa kabar kalian? Semoga sehat selalu. Terima kasih sudah mengikuti cerita Gabriella sampai bab 18. Semoga terhibur, ya... Ikuti terus kelanjutan kisahnya. Bakal makin seru, loh... Jadi menurut kalian, Max mau ngajak Gabriella ke mana nih? Ketik di kolom review, yaaa.... Pixie tunggu.
Mata Gabriella berkaca-kaca saat kakinya menginjak tanah yang sudah lama tidak ditapakinya. Setelah menelan ludah dan menarik napas cepat, ia menoleh ke arah pria yang sedang menggenggam tangannya. “Kenapa kau membawaku ke sini?” “Untuk menepati janjiku,” sahut Max ringan. Senyum di wajahnya meskipun tipis tampak tulus. Tanpa bertanya lagi, Gabriella melangkah menuju makam orang tuanya. Begitu tangan gadis itu menyentuh batu nisan, air mata otomatis bergumpal dan jatuh dari pelupuknya. "Mama, Papa .... Maaf, aku gagal menjaga rumah." Napas sang pria mendadak terasa berat mendengar rintihan Gabriella. "Maaf karena aku gagal menjaga diri sendiri," ucap gadis itu di sela desah napas yang tidak beraturan. Kepala Max tak bisa lagi tegak. Ia terlalu malu untuk menampakkan muka di hadapan makam orang tua gadis yang sudah ditidurinya. Selama beberapa menit, Max hanya berdiri menyaksikan Gabriella menangis memeluk
“Wah, Anda cantik sekali calon Nyonya Evans!” puji seorang desainer yang didatangkan khusus oleh Enchanted Bridal. “Semua gaun terlihat lebih bersinar di tubuh Anda.”Gabriella hanya menaikkan sudut bibirnya tipis. Gaun yang dipenuhi butiran kristal itu merupakan gaun kesepuluh yang dicobanya.“Jadi, apakah calon istriku sudah menemukan gaunnya?” tanya Max tiba-tiba masuk dan duduk di sofa. Tanpa menunggu perintah, sang pelayan menghampiri tuannya.“Bukankah Anda berencana pergi sore ini, Tuan?” tanya Minnie dengan suara pelan.“Urusanku sudah selesai. Sekarang, aku ingin melihat calon istriku,” ujarnya seraya tersenyum kepada Gabriella. Gadis yang melirik itu sontak mengalihkan pandangan.“Dari semua gaun yang telah dicoba, kekasih Anda paling cocok mengenakan gaun ini, Tuan,” terang sang desainer seraya menarik Gabriella ke hadapan sang pria.“Benarkah? Berputarlah!”Setelah sempat ragu, sang gadis akhirnya berputar dengan
“Di mana?” tanya Max membuat gadis di hadapannya semakin terdesak. Bibir Gabriella mulai bergetar menanti kata. Namun, tiga detik kemudian, saraf pusatnya masih belum mengirimkan respon. Sorot mata Max telah membekukan pikirannya. “Ayo, tunjukkan!” tantang Max sembari membawa jemari Gabriella mendekati pipinya. Sang gadis spontan menarik tangan dan menggenggamnya di atas pangkuan. Dengan wajah yang tertunduk, ia menyembunyikan kegugupan. “Kenapa? Kau tidak bisa menunjukkannya, hm? Bukankah itu berarti kau memang menguping pembicaraan kami?” simpul pria yang masih membungkuk dengan kedua tangan membentengi kursi. “A-aku tidak sengaja mendengar,” ucap Gabriella tak ingin mengakui kesalahan. Tingkahnya itu sukses membuat Max menaikkan sudut bibirnya. “Tampaknya, kau sudah tidak sayang dengan bonekamu, huh?” Mata sang gadis pun terbelalak. Bayang-bayang Max membunuh Snowy telah melintas di benaknya. “Baiklah, aku menguping.”
Gabriella tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan seorang pria kaya nan rupawan. Seumur hidup, ia hanya mengenal piano dan partitur. Tidak sedetik pun gadis itu memikirkan persoalan cinta. Namun, sekarang, ia termenung menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Aku benar-benar menikah?” batinnya tak percaya. Sedetik kemudian, ia menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak gersang. “Gabriella?” Perempuan itu perlahan menegakkan kepala, menghadap wajah tampan yang memanggilnya. “Dan, laki-laki yang bahkan belum kukenal ini adalah suamiku?” Sang pengantin menarik napas panjang, membebaskan rongga dadanya dari sesak. “Apakah keputusanku ini tepat?” “Gabriella,” panggil Max seraya memberi sentakan kecil pada jemari yang digenggamnya. Sang wanita akhirnya mengerjap. “Ya?” Sang pria memberi sinyal lewat lirikan mata. Gabriella pun mengikuti arah pandangnya yang berakhir pada sebuah cincin dalam k
Gabriella dapat merasakan Max hampir tiba. Semakin dekat jarak mereka, semakin erat pula ia mengepalkan tangan. Pipinya yang merona sedikit lagi menyamai tomat.Tepat sebelum sang pria memagut bibirnya, bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian. Gabriella dapat mendengar dengus kecil dari hadapannya. Saat itulah, ia baru bisa kembali bernapas dan membuka mata.“Ya?” Max menatap ke arah pintu dengan alis terangkat tak senang.“Maaf, Tuan. Sekretaris Anda menunggu di pos penjaga. Dia bersikeras ingin masuk menemui Tuan,” seru seorang pelayan dari balik pintu.“Katakan saja kalau aku sedang memberlakukan protokol lima!”“Dia tetap memaksa, Tuan."Embusan napas cepat langsung terdengar. “Tolong sampaikan kepadanya untuk menghubungiku via telepon!” Usai memberi perintah, Max meraih ponsel dan mengaktifkannya.Mengetahui kekesalan sang suami, Gabriella tidak berani berkutik. Sesekali, ia
“Lihatlah, siapa yang lebih dulu menyentuh?” goda Max seraya menaikkan sebelah alis. Merasa kesal, Gabriella pun mengempaskan tangan suaminya. “Sudahlah! Aku mau tidur!” Dengan kasar, sang wanita membanting tubuhnya di kasur lalu berbaring membelakangi sang suami. Beberapa detik kemudian, ia mengubah posisinya menjadi telentang, lalu berbaring miring ke kanan. Ke arah mana pun wajahnya menghadap, matanya tetap tidak mau terpejam. “Kenapa? Kau tidak bisa tidur karena memikirkanku?” ledek Max dengan senyum terkulum. Gabriella berdecak kesal lalu melempar suaminya dengan boneka. “Berhentilah menggangguku!” “Wow! Ternyata, kau sudah tidak sayang lagi kepada Snowy? Baiklah.” Max memeluk boneka beruang kutub itu dan kembali fokus pada ponsel. Melihat tingkah sang suami, Gabriella pun terpancing untuk duduk kembali. “Hei, kembalikan bonekaku!” “Ini bukan bonekamu lagi. Kau sudah memberikannya kepadaku,” sahut Max santai
“Pria itu cerewet sekali. Lipstikku saja mau dia komentari,” gerutu Gabriella sebelum mengoleskan pewarna merah di bibirnya. Selang beberapa saat, matanya berkedip-kedip datar. “Apakah terlalu tebal?” gumamnya sembari memperhatikan cermin lebih dekat. Sedetik kemudian, perempuan itu menarik tisu dan menghapus lipstiknya. “Ah, ini terlalu pudar.” Setelah beberapa menit, Gabriella akhirnya mendapatkan warna yang tepat. Senyum puas pun tersungging di wajahnya. “Apa kau pikir dirimu cantik?” tanya seorang wanita yang baru memasuki pintu. “Kau senang karena berhasil merebut Max dariku?” Gabriella spontan menoleh dan mengerutkan alis. “Amber?” Dengan tangan terlipat di depan dada, wanita angkuh itu berjalan menghampiri. “Di mana kau mendapatkan ini?” tanyanya seraya memperhatikan keaslian lipstik yang baru saja diambilnya dari tangan Gabriella. “Max memberikannya kepadaku,” jawab si perempuan jujur dengan nada kaku.
Tanpa membuang waktu, Max bergegas memeriksa bilik demi bilik. Jantungnya berdetak lebih cepat setiap ia mendapati ruang kosong. Begitu pula dengan paru-parunya yang dipaksa mengirimkan banyak oksigen untuk menjaga akal sehat. Gemuruh napas Max baru tertahan ketika ia tiba pada pintu terakhir yang terkunci dari luar. Firasat buruk seketika membuat seluruh sarafnya menegang. “Gabriella?” Hingga Max selesai menelan ludah, tidak ada jawaban yang terdengar. Dengan hati yang berdebar, pria itu membuka kunci dan mendorong pintu. Dua detik kemudian, seorang perempuan tanpa busana telah menyengat jantungnya. Dengan mulut ternganga tanpa kata dan bola mata bergetar hebat, ia memperhatikan wajah Gabriella yang penuh dengan warna merah. Tepat ketika wanita yang menatapnya berkedip, kesadaran menyentak tubuh sang pria untuk mulai bergerak. “Apa yang terjadi?” tanya Max seraya melepas jas dari badannya. Lalu, ia membalut tubuh sang istri agar tidak