Share

Cinta Cita ~ 5

“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”

Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.

Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.

“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.

Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?

“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.

Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”

Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai yang dituju, Nando mengambil posisi di belakang Cita dan membantu gadis itu keluar lebih dulu. Mereka berjalan menuju kamar yang telah disiapkan, dengan seorang bellboy yang berjalan di belakang.

“Besok, kira-kira jam berapa mau ke rumah sakit,” tanya Nando. “Biar aku antar.”

“Mungkin habis sarapan.”  Cita sedang mencari cara untuk menolak tawaran Nando. “Tapi nggak usah diantar, soalnya ada kak Kasih yang jemput ke sini.”

“Oke, tapi jangan sungkan hubungi aku, kalau butuh sesuatu.”

“Siap, Bos.” Cita terkekeh, meskipun perasaannya semakin tidak enak dengan kebaikan Nando. Harusnya, pria itu bisa mencari perempuan lain dengan mudah. Melupakan Cita dan melanjutkan hidupnya. Bukankah Nando cukup tampan dan berasal dari keluarga ternama? Pastinya, banyak wanita yang tidak akan menolak perasaan Nando.

“Ah! Aku lupa!” Nando memasuki kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh bellboy yang bersama mereka. “Besok siang aku harus ke Singapur.”

“Tugas negara, ya, Mas.” Cita tahu benar, bagaimana kesibukan Nando selama ini.

“Iya.”

Sebenarnya, kepergian Nando bukan untuk urusan pekerjaan. Namun, Nando ingin memastikan sendiri perihal ucapan Pras siang tadi. Apa benar, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura berada di kursi roda?

Entah darimana firasat Pras itu berasal, Nando belum sempat bertanya karena padatnya agenda meeting hari ini.

“Biasalah, Cit.” Nando mengangguk pada bellboy yang memohon izin pergi setelah memastikan meletakkan barang Cita. “Jadi, ada niat balik Jakarta lagi? Atau, tetap mau menetap di Singapur?”

Setelah Nando melewatinya untuk duduk di sofa, Cita menjalankan kursi rodanya menuju jendela kaca. Cita membuka gordennya, lalu menatap hamparan kerlap kerlip Jakarta yang tampak menakjubkan di malam hari seperti sekarang.

“Tetap di Singapur.” Kembali ke Jakarta, hanya akan mengingatkan Cita dengan banyak luka. “Mami juga sudah betah tinggal di sana, tapi, belum ada niat jadi warga negara sana. Masih mikir-mikir dulu katanya.”

“Dan … kamu?” tanya Nando menghampiri Cita dan berdiri di samping gadis itu. “Ada niat jadi warga negara sana?”

“Sebenarnya ada, tapi, lihat nanti.”

Nando mengusap puncak kepala Cita. Andai dahulu kala ia lebih memprioritaskan Cita daripada pekerjaan, mungkin gadis itu tidak akan menikah dengan Pandu dan berakhir seperti sekarang.

“Cita … apa kata dokter masalah kakimu?” Tiba-tiba saja, Nando ingin bertanya langsung. Andai insting atau firasatnya bisa setajam Pras, Nando pastinya sudah bertindak dari dulu.

Cita mengerjap pelan. Terdiam beberapa beberapa detik, lalu tersenyum saat mendongak menatap Nando. “Kata dokter, ada trauma dengan tulang belakang jadi …” Cita mengendik cepat, lalu menunduk. “Ya, begini. Seperti yang Mas Nando lihat.”

Tampaknya, Nando harus percaya dengan Pras. Besok siang, ia akan langsung menemui seseorang yang sudah dihubungi omnya dan langsung mencari tahu semua hal.

“Semoga ada keajaiban.” Nando berkata dengan setulus hati. “Aku mau kamu sembuh dan bisa jadi news anchor. Seperti cita-citamu dulu.”

Cita terkesiap ketika Nando mengingatkan tentang cita-citanya dahulu kala. Satu-satunya ambisi, yang sudah terlupakan karena semua cobaan yang dihadapinya selama ini. Tiba-tiba saja, Cita sangat merindukan hiruk pikuk bermacet ria di Jakarta sembari mengejar nara sumber, sekaligus deadline.

“Ya, Mas. Semoga … keajaiban itu masih ada.”

~~~~~~~~~~~~~

Arya tahu pasti, ia tidak akan bisa merangsek ke kediaman Lukito. Karena itulah, Arya sejak pagi sudah berada di lobi rumah sakit, untuk menunggu kehadiran Cita. Tidak mungkin rasanya Cita menginap di rumah sakit, dengan kondisi yang seperti itu.

Karena itulah, sejak pagi Arya sudah berada di lobi rumah sakit. Ia memakai topi dan mencari tempat strategis yang bisa melihat langsung ke lift.

Saat Leoni menghubungi dan menceritakan semua hal yang didengarnya, Arya sungguh tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya. Namun, ada hal yang harus Arya cerna baik-baik, yakni perihal titah Pras pada Nando.

Pria arogan itu, menitahkan Nando mencari tahu tentang semua rekam medis Cita di Singapura. Yang lebih membuat Arya tidak habis pikir ialah, firasat Pras mengenai kelumpuhan Cita. Pria itu tidak yakin, Cita saat ini masih saja berada di kursi roda.

Arya yakin, pasti ada hal yang terjadi saat Pras menjenguk Harry di rumah sakit. Mungkin, ada pembicaraan atau sikap keluarga Lukito yang membuat kecurigaan di hati Pras.

Lantas, setelah dua jam lebih Arya menunggu, akhirnya … ia bisa melihat Cita dengan jelas. Gadis itu memakai kursi roda elektriknya dan ditemani oleh sopir keluarga Lukito yang sudah Arya kenal.

Arya berdiri. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghela kasar. Jika tidak hari ini, lantas kapan lagi Arya punya kesempatan bertemu Cita secara langsung?

Arya berjalan dengan tergesa, lalu berhenti tepat di depan Cita.

“Cita …”

Cita terkesiap. Kedua matanya melebar, saat menatap Arya ada di depannya. Untuk sesaat, Cita tidak bisa memikirkan hal apa pun. Sampai Aiman, sopir Harry yang berada di samping Cita tiba-tiba berdiri menengahi.

“Maaf, Mas Arya, silakan—”

“Saya mau bicara sama Cita, Pak,” sela Arya tergesa dan bergerak melewati Aiman. Arya belutut di samping kursi roda Cita, lalu menggenggam satu tangan gadis itu dengan erat.

“Pergi,” desis Cita dingin, tanpa mau menatap Arya. Dari mana pria itu mendapatkan informasi, Cita ada di Jakarta? Kasih dan Nando tidak mungkin memberi tahu hal tersebut, karena mereka sudah mengerti dengan situasi yang dialami Cita.

“Mas Arya, tolong pergi dari sini atau saya minta tolong security untuk nyeret—”

“Ini tempat umum Pak,” sela Arya memelas dan tidak melepas tangan Cita. “Dan saya nggak buat keributan. Saya cuma mau bicara sama Cita.”

“Tapi aku nggak mau,” tolak Cita berusaha melepas tangannya dari genggaman Arya, tetapi pria itu tidak jua melepasnya. “Kita sudah selesai dan aku benci kamu, Mas! Benci! Aku benci sama orang yang nggak bisa jaga komitmennya dan—”

“Cita, aku salah!” balas Arya terburu. “Aku akui aku salah dan aku sudah terima hukumannya selama dua tahun ini, Cit. Jadi tolonglah, aku mau bicara empat mata. Sekali aja, Cit, please!”

“Aku nggak mau, Mas!” tolak Cita sekali lagi. “Pak Aiman, tolong panggilkan sec—”

“Aryaaa!”

“Kas …” Arya menelan ludah ketika melihat Kasih melotot kepadanya. “Aku cuma mau bicara sama Cita, Kas.”

“Aku nggak mau, Kak,” balas Cita dengan gelengan memohon pada Kasih. Ia tidak mau bertemu Arya, pun bicara lagi dengan pria itu. Ada luka yang masih menganga dan sampai sekarang, Cita belum bisa melupakannya. Tidak hanya luka yang ditoreh oleh Arya, tetapi juga dengan keluarga Atmawijaya. “Aku nggak mau lagi ketemu sama dia!”

“Buruan pergi!” Kasih meraih siku Arya dan menariknya. Namun, pria itu tetap bertahan dan Kasih kalah tenaga. “Pak Aiman, tolong panggilin security aja,” pinta Kasih masih mencoba menarik lengan Arya. “Biar, Arya! Jangan kayak anak kecil gini.”

Saat Arya melihat Aiman pergi, ia melepas tangan Cita lalu berdiri. “Kas, harusnya kamu ngerti, semua masalah pasti selesai kalau ada komunikasi.” Bagaimanapun juga, kali ini Arya tidak akan menyerah. “Gimana masalahku sama Cita bisa selesai, kalau kami dilarang dan nggak pernah komunikasi sama sekali.”

“Ar—”

“Kas …” Duta menghampiri, lalu menyodorkan kantong kresek pada Kasih. “Pesananmu.”

“Kamu aja yang bawa ke atas,” pinta Kasih sambil meraih siku Arya. “Aku ada urusan sama Arya sebelum pak Aiman datang bawa security. Tapi, Ndut, tolong bawa Cita ke atas sekalian, ya!”

Duta melihat Arya yang menggeleng. Serba salah, karena ia juga tidak bisa menolak permintaan Kasih. 

“Aku duluan, Kak.” Cita akhirnya berceletuk dan menepis tangan Arya yang sejak tadi memegang sisi kursi rodanya. “Tolong bilang ke mas Arya, kalau dia masih datang dan ganggu aku …” Tatapan Cita mengarah tajam dan dingin pada Arya. “Aku nggak segan pidanakan dia dan bawa urusan ini ke ranah hukum. Ingat itu baik-baik, Mas!”

Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
kalau ingetndi season 1 Cita cuma sengsara dan ga ada bahagianya jadi wajar dia bersikap seperti ini... Arya ini orang paling tau seberapa terlukanya Cita tapi dia tega menghianati Cita jadi wajar kalau Cita membencinya
goodnovel comment avatar
Siti Juli
sesakit hati itu cita sama Arya
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
ada apa sebenarnya.....
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status