“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”
Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.
Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.
“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.
Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?
“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.
Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”
Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai yang dituju, Nando mengambil posisi di belakang Cita dan membantu gadis itu keluar lebih dulu. Mereka berjalan menuju kamar yang telah disiapkan, dengan seorang bellboy yang berjalan di belakang.
“Besok, kira-kira jam berapa mau ke rumah sakit,” tanya Nando. “Biar aku antar.”
“Mungkin habis sarapan.” Cita sedang mencari cara untuk menolak tawaran Nando. “Tapi nggak usah diantar, soalnya ada kak Kasih yang jemput ke sini.”
“Oke, tapi jangan sungkan hubungi aku, kalau butuh sesuatu.”
“Siap, Bos.” Cita terkekeh, meskipun perasaannya semakin tidak enak dengan kebaikan Nando. Harusnya, pria itu bisa mencari perempuan lain dengan mudah. Melupakan Cita dan melanjutkan hidupnya. Bukankah Nando cukup tampan dan berasal dari keluarga ternama? Pastinya, banyak wanita yang tidak akan menolak perasaan Nando.
“Ah! Aku lupa!” Nando memasuki kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh bellboy yang bersama mereka. “Besok siang aku harus ke Singapur.”
“Tugas negara, ya, Mas.” Cita tahu benar, bagaimana kesibukan Nando selama ini.
“Iya.”
Sebenarnya, kepergian Nando bukan untuk urusan pekerjaan. Namun, Nando ingin memastikan sendiri perihal ucapan Pras siang tadi. Apa benar, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura berada di kursi roda?
Entah darimana firasat Pras itu berasal, Nando belum sempat bertanya karena padatnya agenda meeting hari ini.
“Biasalah, Cit.” Nando mengangguk pada bellboy yang memohon izin pergi setelah memastikan meletakkan barang Cita. “Jadi, ada niat balik Jakarta lagi? Atau, tetap mau menetap di Singapur?”
Setelah Nando melewatinya untuk duduk di sofa, Cita menjalankan kursi rodanya menuju jendela kaca. Cita membuka gordennya, lalu menatap hamparan kerlap kerlip Jakarta yang tampak menakjubkan di malam hari seperti sekarang.
“Tetap di Singapur.” Kembali ke Jakarta, hanya akan mengingatkan Cita dengan banyak luka. “Mami juga sudah betah tinggal di sana, tapi, belum ada niat jadi warga negara sana. Masih mikir-mikir dulu katanya.”
“Dan … kamu?” tanya Nando menghampiri Cita dan berdiri di samping gadis itu. “Ada niat jadi warga negara sana?”
“Sebenarnya ada, tapi, lihat nanti.”
Nando mengusap puncak kepala Cita. Andai dahulu kala ia lebih memprioritaskan Cita daripada pekerjaan, mungkin gadis itu tidak akan menikah dengan Pandu dan berakhir seperti sekarang.
“Cita … apa kata dokter masalah kakimu?” Tiba-tiba saja, Nando ingin bertanya langsung. Andai insting atau firasatnya bisa setajam Pras, Nando pastinya sudah bertindak dari dulu.
Cita mengerjap pelan. Terdiam beberapa beberapa detik, lalu tersenyum saat mendongak menatap Nando. “Kata dokter, ada trauma dengan tulang belakang jadi …” Cita mengendik cepat, lalu menunduk. “Ya, begini. Seperti yang Mas Nando lihat.”
Tampaknya, Nando harus percaya dengan Pras. Besok siang, ia akan langsung menemui seseorang yang sudah dihubungi omnya dan langsung mencari tahu semua hal.
“Semoga ada keajaiban.” Nando berkata dengan setulus hati. “Aku mau kamu sembuh dan bisa jadi news anchor. Seperti cita-citamu dulu.”
Cita terkesiap ketika Nando mengingatkan tentang cita-citanya dahulu kala. Satu-satunya ambisi, yang sudah terlupakan karena semua cobaan yang dihadapinya selama ini. Tiba-tiba saja, Cita sangat merindukan hiruk pikuk bermacet ria di Jakarta sembari mengejar nara sumber, sekaligus deadline.
“Ya, Mas. Semoga … keajaiban itu masih ada.”
~~~~~~~~~~~~~
Arya tahu pasti, ia tidak akan bisa merangsek ke kediaman Lukito. Karena itulah, Arya sejak pagi sudah berada di lobi rumah sakit, untuk menunggu kehadiran Cita. Tidak mungkin rasanya Cita menginap di rumah sakit, dengan kondisi yang seperti itu.
Karena itulah, sejak pagi Arya sudah berada di lobi rumah sakit. Ia memakai topi dan mencari tempat strategis yang bisa melihat langsung ke lift.
Saat Leoni menghubungi dan menceritakan semua hal yang didengarnya, Arya sungguh tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya. Namun, ada hal yang harus Arya cerna baik-baik, yakni perihal titah Pras pada Nando.
Pria arogan itu, menitahkan Nando mencari tahu tentang semua rekam medis Cita di Singapura. Yang lebih membuat Arya tidak habis pikir ialah, firasat Pras mengenai kelumpuhan Cita. Pria itu tidak yakin, Cita saat ini masih saja berada di kursi roda.
Arya yakin, pasti ada hal yang terjadi saat Pras menjenguk Harry di rumah sakit. Mungkin, ada pembicaraan atau sikap keluarga Lukito yang membuat kecurigaan di hati Pras.
Lantas, setelah dua jam lebih Arya menunggu, akhirnya … ia bisa melihat Cita dengan jelas. Gadis itu memakai kursi roda elektriknya dan ditemani oleh sopir keluarga Lukito yang sudah Arya kenal.
Arya berdiri. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghela kasar. Jika tidak hari ini, lantas kapan lagi Arya punya kesempatan bertemu Cita secara langsung?
Arya berjalan dengan tergesa, lalu berhenti tepat di depan Cita.
“Cita …”
Cita terkesiap. Kedua matanya melebar, saat menatap Arya ada di depannya. Untuk sesaat, Cita tidak bisa memikirkan hal apa pun. Sampai Aiman, sopir Harry yang berada di samping Cita tiba-tiba berdiri menengahi.
“Maaf, Mas Arya, silakan—”
“Saya mau bicara sama Cita, Pak,” sela Arya tergesa dan bergerak melewati Aiman. Arya belutut di samping kursi roda Cita, lalu menggenggam satu tangan gadis itu dengan erat.
“Pergi,” desis Cita dingin, tanpa mau menatap Arya. Dari mana pria itu mendapatkan informasi, Cita ada di Jakarta? Kasih dan Nando tidak mungkin memberi tahu hal tersebut, karena mereka sudah mengerti dengan situasi yang dialami Cita.
“Mas Arya, tolong pergi dari sini atau saya minta tolong security untuk nyeret—”
“Ini tempat umum Pak,” sela Arya memelas dan tidak melepas tangan Cita. “Dan saya nggak buat keributan. Saya cuma mau bicara sama Cita.”
“Tapi aku nggak mau,” tolak Cita berusaha melepas tangannya dari genggaman Arya, tetapi pria itu tidak jua melepasnya. “Kita sudah selesai dan aku benci kamu, Mas! Benci! Aku benci sama orang yang nggak bisa jaga komitmennya dan—”
“Cita, aku salah!” balas Arya terburu. “Aku akui aku salah dan aku sudah terima hukumannya selama dua tahun ini, Cit. Jadi tolonglah, aku mau bicara empat mata. Sekali aja, Cit, please!”
“Aku nggak mau, Mas!” tolak Cita sekali lagi. “Pak Aiman, tolong panggilkan sec—”
“Aryaaa!”
“Kas …” Arya menelan ludah ketika melihat Kasih melotot kepadanya. “Aku cuma mau bicara sama Cita, Kas.”
“Aku nggak mau, Kak,” balas Cita dengan gelengan memohon pada Kasih. Ia tidak mau bertemu Arya, pun bicara lagi dengan pria itu. Ada luka yang masih menganga dan sampai sekarang, Cita belum bisa melupakannya. Tidak hanya luka yang ditoreh oleh Arya, tetapi juga dengan keluarga Atmawijaya. “Aku nggak mau lagi ketemu sama dia!”
“Buruan pergi!” Kasih meraih siku Arya dan menariknya. Namun, pria itu tetap bertahan dan Kasih kalah tenaga. “Pak Aiman, tolong panggilin security aja,” pinta Kasih masih mencoba menarik lengan Arya. “Biar, Arya! Jangan kayak anak kecil gini.”
Saat Arya melihat Aiman pergi, ia melepas tangan Cita lalu berdiri. “Kas, harusnya kamu ngerti, semua masalah pasti selesai kalau ada komunikasi.” Bagaimanapun juga, kali ini Arya tidak akan menyerah. “Gimana masalahku sama Cita bisa selesai, kalau kami dilarang dan nggak pernah komunikasi sama sekali.”
“Ar—”
“Kas …” Duta menghampiri, lalu menyodorkan kantong kresek pada Kasih. “Pesananmu.”
“Kamu aja yang bawa ke atas,” pinta Kasih sambil meraih siku Arya. “Aku ada urusan sama Arya sebelum pak Aiman datang bawa security. Tapi, Ndut, tolong bawa Cita ke atas sekalian, ya!”
Duta melihat Arya yang menggeleng. Serba salah, karena ia juga tidak bisa menolak permintaan Kasih.
“Aku duluan, Kak.” Cita akhirnya berceletuk dan menepis tangan Arya yang sejak tadi memegang sisi kursi rodanya. “Tolong bilang ke mas Arya, kalau dia masih datang dan ganggu aku …” Tatapan Cita mengarah tajam dan dingin pada Arya. “Aku nggak segan pidanakan dia dan bawa urusan ini ke ranah hukum. Ingat itu baik-baik, Mas!”
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus