Share

Cinta Cita ~ 6

“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.

Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.

“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.

Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”

“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”

“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”

“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma dua, ya?”

“Kasih pesannya dua.” Lagi-lagi, penghuni kamar rawat inap Harry bertambah satu. “Katanya buat mama, sama papamu yang nggak mau makan makanan rumah sakit.”

Cita mengangguk-angguk. Bersiap keluar dari lift, ketika sudah berhenti di lantai tujuan. “Kalau yang kemaren, Kak Duta juga yang masak?”

“Buburnya iya, tapi kalau ayam kejunya bukan,” jawab Duta jujur. “Chef di resto yang masak.”

“Tapi buburnya enak, lho, Kak.” Dengan dibantu Duta, Cita keluar perlahan dari lift dan menyusuri lorong menuju ruangan Harry. “Papa makannya habis, meskipun agak lama.”

“Kamu rasain buburnya?”

“Aku nyicip.”

“Mau aku masakin bubur juga buat makan siang?” Sepertinya, Duta telah mengajukan pertanyaan bodoh. Cita tidak sedang sakit dan jarang-jarang orang mau makan bubur untuk makan siang.

“Buat besok pagi aja gimana?”

“Kamu nggak sarapan di hotel?” Dugaan Duta benar, Cita tidak akan mau makan bubur di siang hari.

Cita menggeleng. Berhenti di depan kamar Harry dan menunggu Duta membuka pintunya. “Tadi, nggak enak sarapan sendirian di hotel.”

“Bentar.” Duta tidak membuka pintu dan memang sengaja melakukannya. Ada hal yang ingin ia sampaikan sebelum mereka masuk ke kamar inap Harry. “Sekali lagi maaf kalau aku lancang. Tapi, paling nggak … kasih Arya kesempatan sekali aja—”

“Bisa tolong bukain pintunya, Kak.” Pria itu tidak akan pernah tahu, bagaimana perasaan Cita saat ini.

“Cita—”

“Aku sudah pernah kasih dia kesempatan memperbaiki diri, tapi, aku juga punya batas kesabaran.”

“Kasih dia satu kesempatan lagi, Cit.” Duta memang tidak terlalu akrab dengan Arya. Namun, ia tahu benar, Arya adalah seorang pria yang sangat baik, humble, dan suka menolong sesama. “Biarkan dia bicara dan menjelaskan semuanya. Setelah itu, selesaikan semua secara dewasa. Kalau memang tetap pisah, pisahlah baik-baik. Tapi kalau kalian masih—”

Duta terdiam saat pintu kamar Harry terbuka sendiri. Sandra muncul dengan senyum dari dalam, tetapi wajahnya terlihat gusar. “Mami kira kamu—”

“Mami kenapa?” Melihat wajah Sandra yang tidak biasa, Cita yakin sesuatu telah terjadi. “Papa nggak papa, kan?”

“Bukan.” Sandra menggeleng lalu mempersilakan Duta masuk lebih dulu. Setelah pria itu melewatinya, Sandra membawa Cita sedikit menjauh dari pintu. “Pak David, mau jenguk papamu.”

Cita menahan napas. Lama tidak berjumpa dengan mantan papa mertuanya, membuat hatinya bergejolak tidak karuan. Hal inilah yang membuat Cita tidak ingin lagi menginjakkan kaki di Jakarta. Selain karena masalah Arya, ada juga permasalahan dengan keluarga Atmawijaya yang belum selesai hingga saat ini.

“Sama siapa?” Bayangan wajah Tessa yang begitu baik pada Cita, mendadak muncul dengan jelas di ingatan. Namun, kebaikan tersebut ternyata hanya digunakan untuk menutupi kesalahan putranya.

“Dia nggak bilang.”

“Kapan mau ke sini?”

“Kira jam 10 atau 11-an.” Sandra tidak tahu, apakah Cita masih mau bertemu dengan David, atau keluarga Atmawijaya yang lainnya. “Gimana? Kamu tetap di sini atau balik ke hotel?”

“Aku …” Bertemu dengan Arya saja, sudah membuat kepala Cita pusing. Bagaimana bila ia harus bertemu dengan keluarga Atmawijaya? Kemudian, Cita menggeleng. Ia ingin tetap berada dalam ambang batas kewarasan, demi kesehatan mentalnya yang sudah sangat rapuh. Lebih baik menghindar, daripada bertemu dengan penyakit. “Aku …” Saat melihat Duta keluar dari ruangan Harry, Cita lantas menunjuk pria itu. “Aku ikut sama Kak Duta.”

“Ha?” Duta yang hendak berpamitan pada Sandra, jelas saja kebingungan. “Ikut ke mana?”

“Ke restoran,” jawab Cita. “Nggak keberatan, kan, Kak?”

“Yaaa.” Duta tidak bisa menolak ketika Sandra mengangguk dengan tatapan penuh harap. “Iya … boleh. Kamu boleh ke resto. Nggak ada masalah.”

~~~~~~~~~~~~~

Sorry, pom bensin ngantri.” Duta menghampiri Cita, yang berada di sebelah kolam ikan di samping restoran. Gadis itu pergi sendiri dengan sopirnya, karena Duta sebelumnya pergi ke rumah sakit menggunakan motor matic.

“Kirain Kak Duta yang duluan sampe, soalnya bawa motor,” ujar Cita tersenyum kecil pada Duta. “Eh ternyata, aku duluan sama pak Aiman.” Cita memutar kursi rodanya menghadap Duta. “Sorry, ya, Mas, aku sampe ngerepotin.”

“Kamu nggak ngerepotin.” Duta sedikit bergeser, lalu duduk pada salah satu kursi restoran yang tidak jauh dari kolam. “Tapi, kalau boleh ngasih saran, masalah itu harusnya dihadapi dan diselesaikan. Bukan dihindari.” Duta mengangkat singkat kedua tangannya sebatas dada. “Sorry, aku nggak ada niat menggurui. Tapi, kamu bisa pikirkan lagi dengan omonganku barusan dan tanyakan ke dirimu sendiri dengan pertanyaan, sampai kapan?”

“Aku bisa ditinggal, kalau Kak Duta sibuk.” Cita kembali mengalihkan obrolan mereka.

Duta tersenyum. Beranjak menuju sudut kolam ikan, untuk mengambil pakan yang berada di rak. Duta membukanya, lalu memberi ikan-ikan di sana makan sedikit demi sedikit.  

“Bundaku dulu cerai sama ayah, waktu aku masih bayi.” Duta bercerita tanpa melihat Cita dan tetap fokus pada ikan-ikan peliharaannya. “Terus nikah sama papa Gilang dan hidup bahagia sampai sekarang. Ada juta Om Aga, tante Elok, terus papamu juga sama, kan? Mereka pernah cerai, tapi, setelah itu mereka bahagia dengan pasangannya masing-masing.”

“Kak—”

“Dengarin aku sebentar,” ujar Duta masih tidak menatap Cita. “Kalau kata bundaku, inti setiap hubungan itu komunikasi. Duduk berdua dengan kepala dingin dan lakuin deep talk sama pasangan. Sekarang aku tanya.” Merasa cukup memberi makan ikan-ikannya, Duta meletakan kembali tempat pakan di tempatnya lalu kembali ke tempat semula. “Apa kamu sudah duduk berdua dengan kepala dingin dan deep talk sama Arya?”

Cita memutar kursi rodanya membelakangi Duta. Semua ucapan Duta barusan memang terdengar biasa, tetapi penuh dengan makna.

“Mungkin …” Duta kembali beranjak dan berdiri di samping Cita. “Kamu nggak bisa maafin Arya, karena aku tahu isu perselingkuhan itu sensitif dalam pernikahan. Tapi, apa kamu pernah lihat bagaimana usaha Arya selama dua tahun ini untuk ketemu kamu, Cit?”

Duta menoleh pada Cita yang hanya diam dan tidak meresponsnya. “Apa pernah kamu berpikir, kalau Arya sebenarnya bisa dengan mudah punya pasangan lain? Coba lihat, apa yang dia nggak punya? Fisik sama dompetnya lumayan okelah, meskipun dia nggak setajir Nando atau Awan. Tapi, kamu tahu pasti dia itu pekerja keras, walau perusahaannya jungkir balik, karena papamu sama pak Pras, langsung narik investasinya bersamaan.”

“Itu hukuman buat dia,” respons Cita dengan kedua tangan mengepal erat.

“Dan dua tahun belum cukup?” balas Duta.

“Kenapa Kak Duta selalu belain Arya?” Cita mendongak. Sedikit memicingkan mata menatap Duta. Lama kelamaan, ia merasa kesal karena terus diceramahi seperti barusan.

“Aku kasihan.”

“Kasihan dengan pengkhianat.” Cita berdecih seusai menyelesaikan kalimatnya.

“Aku kasihan dengan kalian berdua.” Duta mengalihkan tatapan dari Cita dan kembali memandang ikan-ikan yang berkeliaran di kolamnya. “Yang satu terlalu naif dan satu lagi terlalu egois.”

“Egois? Maksudnya, aku yang egois?” 

“Kalau bukan egois, terus apa?” Duta melihat jam di pergelangan tangannya yang berbunyi singkat. “Aku ada briefing sebentar, sekitar 15 menit.” Duta mengeluarkan kunci dari kantong jaket yang masih menempel di tubuhnya. Kemudian, ia meletakkan kunci tersebut di pangkuan Cita. “Ruanganku ada di ujung jalan ini. Kalau kamu capek, bosan, atau mau baring, mau nonton tivi, ke sana aja. Dan … pikirkan lagi semua yang aku bilang tadi. It’s oke, kalau kamu nggak bisa maafin Arya. Tapi paling nggak, beri diri kalian kesempatan untuk bicara sebagai dua orang dewasa, yang ingin memperbaiki diri lebih baik lagi ke depannya. Oke, Cit! Aku cabut dulu.”

 

Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Siti Juli
bener sih apa yg diomongin duta cit... masalah jgn di hindari
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
keren bnget si ndut
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
Ndut dr kecil emang dewasa pemikiranya.....
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status