Pintu kamar terbuka dengan keras, membuat kedua wanita itu menoleh, mereka sangat terkejut hingga terpatung ditempat.
Seorang pria berdiri di ambang pintu. Siluetnya tegap dan berwibawa, jubah hitamnya berayun sedikit terkena angin dari luar. Mata emasnya yang tajam menatap ke arah mereka berdua. Kael. Tatapan itu membuat tangan Ibu Suri terhenti di udara. Ia membeku, lalu segera menarik tangannya kembali, berusaha menjaga martabatnya di depan Raja. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa aku mendengar suara seorang perempuan yang di hormati seakan menjatuhkan harga dirinya sendiri?" suara Kael terdengar tenang, tetapi penuh dengan otoritas yang membuat siapa saja mendengarnya merasa terancam. Arlena tidak berbicara. Ia hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang seperti biasa, meskipun di dalam dirinya, ia merasa puas dan menang karena kedatangan Kael tepat waktu. Bahkan dirinya tidak habis pikir, kenapa seorang Raja Kael yang terkenal dengan otoriternya mau membela seorang dayang seperti dia. Ibu Suri menoleh ke arah Kael dan mencoba mengendalikan emosinya. Dia tidak mau wibawanya turun, “Aku hanya ingin berbicara dengan gadis ini, Kael. Aku hanya memastikan dia tahu tempatnya, dia tahu jika dirinya tidak pantas ada disini!" Kael melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. “Dan tempatnya adalah di sisiku, dia sangat pantas ada disini bersamaku." Ibu Suri mengepalkan tangannya, tetapi tetap berusaha mempertahankan ketenangannya. “Kael, kau benar-benar ingin membiarkan ini terjadi? Kau ingin membuat kesalahan yang sama seperti ayahmu?” Kael berjalan perlahan ke arah Arlena, lalu berdiri di sampingnya. Ia menatap Ibu Suri dengan ekspresi tak dapat dibaca. “Aku bukan ayahku. Dan keputusan ini adalah keputusanku sendiri.” Ibu Suri menghela napas panjang, frustrasi. “Kael, dengarkan aku. Kau masih muda, kau masih bisa mengubah keputusanmu. Jika kau ingin perempuan ini di sisimu, jadikan dia selir, bukan permaisuri. Lady Mirana adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada gadis ini!” Kael tidak bereaksi terhadap saran itu. Ia justru menatap Arlena, lalu berkata dengan suara lebih tenang, tetapi penuh arti, “Arlena bukan perempuan yang bisa dijadikan selir.” Arlena tetap diam, tetapi dalam hatinya, ia mengakui bahwa kata-kata itu membawa beban lebih besar dari yang dia duga. Ibu Suri menghela napas panjang dan tajam. “Kau akan menyesali ini, Kael.” Kael tidak menanggapi. Ia hanya menatap Ibu Suri dengan dingin, memberi isyarat bahwa percakapan ini telah berakhir. Akhirnya, dengan wajah yang masih menampilkan kemarahan yang terselubung, Ibu Suri berbalik dan berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan keheningan antara Kael dan Arlena. Beberapa saat berlalu sebelum Kael akhirnya berbicara. “Apa yang dia katakan padamu?” Arlena menatapnya dengan ekspresi netral. “Hanya mengingatkanku bahwa tidak semua orang senang dengan keputusan Yang Mulia.” Kael mengangguk pelan, lalu menatapnya lebih dalam. “Dan kau? Apa kau senang dengan keputusan ini?” Arlena menghela napas pelan. “Yang Mulia, saya tidak ingin pernikahan ini langsung dilaksanakan.” Kael mengangkat alisnya sedikit, tetapi sebelum dia sempat berbicara, Arlena melanjutkan dengan nada serius, “Saya ingin memastikan bahwa Yang Mulia sudah menepati janji untuk menyelidiki tentang Klan Altheria.” Mata Kael sedikit menyipit, tetapi ia tidak marah. Sebaliknya, ia meletakkan jari telunjuknya ke bibir Arlena, memberi isyarat agar ia tidak berbicara terlalu keras. Lalu, ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan dalam, “Berhati-hatilah ketika membicarakan klan itu.” Arlena sedikit menegang, tetapi tetap mendengarkan dengan seksama. “Aku sudah berencana mengumpulkan para menteri untuk membahas ini,” lanjut Kael, “tetapi tidak ada yang boleh tahu siapa yang membuatku menyelidiki kasus lama itu.” Kael menatap sekeliling ruangan, lalu menambahkan, “Ingat ini, Arlena. Tembok, lantai, atap, bahkan tiang di istana memiliki telinga dan mata. Jika mereka tahu tentang ini, bukan hanya kau yang akan dijatuhkan, tetapi juga aku.” Arlena mengangguk pelan, memahami maksudnya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, ia merasakan sesuatu—sebuah gerakan samar di balik pintu. Kael juga menyadarinya. Ia langsung berjalan ke arah pintu dan membukanya dengan cepat. Di luar, seorang dayang muda berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk. Wajahnya tampak tegang, seolah-olah ia ketahuan sedang menguping. Arlena menahan napas, bersiap menghadapi kemungkinan buruk. Namun, sesuatu di mata dayang itu berbeda. Ia terlihat gugup, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengkhianati mereka. Dayang itu menunduk dalam-dalam. “Ampun, Yang Mulia… Saya tidak berniat ikut campur.” Kael menatapnya tajam. “Apa yang kau dengar?” Dayang itu menggigit bibirnya. “Saya… tidak mendengar apa-apa, Yang Mulia.” Arlena menatapnya lebih dalam, mencoba membaca niat dayang itu. Dari caranya berbicara, Arlena bisa menebak bahwa gadis ini tidak sepenuhnya berpihak pada musuh mereka. Tetapi, bisakah mereka mempercayainya? Kael menghela napas, lalu berkata pelan, “Jika kau tahu yang terbaik untukmu, tetaplah jaga mulutmu!” Dayang itu mengangguk cepat. “Saya mengerti, Yang Mulia.” Setelah itu, ia segera mundur dan pergi dengan langkah cepat. Arlena memandang Kael, dan Kael menatap balik. Tidak perlu kata-kata lagi. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa lagi sembarangan berbicara. Misi mereka baru saja menjadi lebih berbahaya. *** Pagi itu, Raja Kael sudah mengumpulkan para menteri di ruang rapat. Para menteri saling berbisik, bertanya-tanya tentang tujuan rapat pagi ini. Mereka sudah mendengar kabar bahwa Raja Kael hendak menikahi seorang dayang rendahan. Namun, sebelum ada yang berani menyanggahnya, Raja Kael justru langsung membuka rapat dengan pertanyaan mengejutkan. “Apa yang kalian ketahui tentang Klan Altheria?” Keheningan melanda ruangan. Para menteri saling berpandangan, seolah mencoba memastikan bahwa mereka mendengar dengan benar. Barulah seorang menteri, Lord Varric—Menteri Keuangan, berdeham dan berbicara dengan hati-hati, “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba menanyakan tentang klan itu?” Raja Kael menatap mereka dengan dingin. “Jawab pertanyaanku.”Pagi datang perlahan, menembus kaca jendela dengan sinar keemasan yang lembut. Arlena membuka matanya, duduk diam di ranjang dengan pikiran masih melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Kael... entah kenapa membuat dadanya sesak, tapi juga hangat di waktu yang sama. “Kenapa sih bisa serumit ini?” gumamnya sambil menarik nafas panjang. Di luar, persiapan untuk seleksi permaisuri sudah mulai terasa riuh. Para pelayan lalu lalang, membawa daftar nama, mengatur undangan, bahkan taman depan istana mulai dihias dengan bunga dan pita emas. Rasanya seperti pesta besar sedang direncanakan. Di ruangan lain, Lady Mirana sedang duduk di depan meja riasnya, dengan wajah penuh percaya diri. “Aku harus terlihat mempesona. Tidak boleh ada yang lebih mencolok dariku,” katanya sambil melirik pantulan dirinya di cermin. “Aku akan jadi permaisuri. Dan itu tak bisa diganggu gugat.” Tak lama, pintu diketuk. Pelayan masuk dan membisikkan bahwa Menteri Keuangan menunggu di halaman belakang. Mirana
Di ruang belakang sebuah penginapan tua yang biasa dikunjungi pedagang dan petualang, Lior duduk sendirian. Wajahnya lelah, pakaiannya masih berdebu, dan cangkir tehnya sudah dingin sejak tadi. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap kosong ke arah lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang lewat. Ia belum kembali ke istana, memilih diam sejenak, jauh dari keramaian dan sorotan mata para bangsawan. Pintu berderit pelan. Seorang pria masuk, mengenakan jubah lusuh, duduk di depannya tanpa diundang. Ia adalah pria yang pernah menyelamatkan Lior dari sergapan beberapa hari lalu. “Kau selalu muncul tanpa aba-aba,” gumam Lior tanpa mengangkat kepala. “Aku hanya muncul saat kau butuh bantuan. Seperti sekarang.” Pria itu menyeringai, suaranya tenang namun menusuk. “Kau terlihat seperti baru saja kehilangan arah.” “Bukan arah,” balas Lior pelan. “Tapi kepercayaan. Semuanya mulai terasa kacau. Yang baik ternyata menyimpan niat jahat, yang tampak jahat kadang justru satu-satunya ya
Istana kerajaan mulai berubah wajah. Sejak pengumuman resmi tentang seleksi permaisuri, segala sudut tampak dipoles ulang. Kain-kain sutra baru tergantung di lorong utama, patung-patung dibersihkan hingga mengilap, dan taman kerajaan dipenuhi bunga-bunga yang baru mekar dari penjuru negeri. Istana tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi kini juga menjadi pusat harapan, ambisi, dan permainan yang penuh intrik. Pelayan-pelayan sibuk menyiapkan aula utama untuk menyambut hari pendaftaran. Sebuah meja panjang berlapis kain beludru merah dipasang di depan aula, di mana para calon akan datang membawa dokumen, silsilah keluarga, serta surat rekomendasi dari bangsawan atau pejabat tinggi. Di belakang meja itu akan duduk tiga orang pejabat yang ditunjuk langsung oleh Ibu Suri—dua di antaranya dikenal sangat loyal kepada beliau, dan satu orang lagi adalah sekutu Menteri Keuangan. Brosur kecil mulai tersebar di kalangan para keluarga bangsawan. Di dalamnya tertera syarat-syarat uta
Malam itu, langit istana diselimuti awan tebal. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dari taman dalam. Raja Kael duduk sendiri di balkon kamarnya, memandangi halaman luas kerajaan yang tampak tenang namun penuh ketegangan. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," ucapnya tanpa menoleh. Dayang Ibu Suri masuk dan membungkuk sopan. "Paduka Ibu Suri memohon audiensi malam ini. Beliau menunggu di taman dalam." Kael mengangguk pelan. "Aku akan datang." Beberapa saat kemudian, Kael berjalan melewati lorong-lorong istana, lalu tiba di taman dalam. Ibu Suri sudah duduk di kursi batu di bawah pohon magnolia tua. Cahaya lentera di sekelilingnya memantulkan bayangan lembut di wajah beliau. “Kael,” sapanya dengan suara tenang namun tajam. “Aku mendengar kau belum memberikan tanggapan apapun pada usulan para menteri.” “Apa mereka datang padamu?” tanya Kael langsung. “Mereka khawatir. Dan sejujurnya, begitu juga aku,” jawab Ibu Suri, menatapnya dalam. “Kau Raja
Malam makin pekat, kabut turun pelan menyelimuti jalanan berbatu yang mereka lewati. Langkah Arlena dan Rion semakin cepat ketika suara langkah kuda terdengar dari arah belakang, jauh tapi ritmenya konstan. Rion langsung menarik Arlena ke sisi jalan dan bersembunyi di balik dinding rumah tua yang sudah hampir roboh. “Kita sedang dibuntuti,” bisik Rion, matanya tajam menatap dari celah bayangan. Arlena mengangguk pelan. Jantungnya berdegup keras, tapi dia menahannya, tak ingin terlihat panik. Kuda itu lewat, penunggangnya memakai jubah gelap, tak memperhatikan sekitar. Setelah yakin aman, mereka melanjutkan perjalanan. Tujuan Arlena malam itu adalah rumah seorang tukang catat tua yang konon pernah membantu Ayahnya dulu—pria itu menyimpan banyak dokumen tentang sejarah lama kerajaan, termasuk aktivitas tersembunyi para klan. Namun, saat mereka sampai di rumah itu, suasana terasa aneh. Pintu depan tidak terkunci, dan ketika Rion mendorongnya perlahan, mereka mendapati isi rumah ber
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l