Pagi pertama Arunika memasuki gedung Maheswara Group terasa asing, seakan semua mata menimbang-nimbang kehadirannya. Gedung itu menjulang megah, dinding kaca berkilau memantulkan matahari yang baru naik. Orang-orang berbaju formal lalu-lalang dengan langkah cepat, penuh percaya diri, seolah setiap detik waktu mereka bernilai emas.
Arunika berdiri di depan pintu putar, menarik napas panjang. Bajunya sederhana: blus putih dan rok hitam selutut, penampilan khas sekretaris. Tetapi hatinya berdebar jauh lebih keras daripada penampilannya yang tenang. Tas kecil di tangannya terasa berat—bukan karena isinya, melainkan karena beban rahasia yang kini ia bawa. Seseorang mendekat. “Arunika?” Arunika menoleh. Seorang pria muda dengan senyum ramah berdiri di hadapannya. Postur tinggi, wajah teduh, kemeja biru yang dipadukan dasi berwarna hitam. Senyum itu seketika memecah ketegangan. “Nama saya Arvan Maheswara,” katanya sambil mengulurkan tangan. Arunika menelan ludah. Jadi inilah kakak yang harus ia layani secara formal… sekaligus target pengawasan untuk Rakha. Arvan, putra sulung keluarga Maheswara, tampak sangat berbeda dengan adiknya. Kalau Rakha penuh aura dingin dan perhitungan, Arvan justru hangat dan mudah didekati. Senyum itu membuat Arunika hampir lupa bahwa ia sedang berada di permainan berbahaya. “S-selamat pagi, Tuan Arvan,” jawab Arunika, berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional. “Tidak usah terlalu formal,” Arvan terkekeh kecil. “Kau bekerja denganku, bukan untukku. Anggap saja kita satu tim. Oke?” Arunika mengangguk. Kata-kata itu membuat dadanya lega sejenak, meski dalam hati ia tahu: apa pun kebaikan Arvan, tugasnya tetap sama, mengawasi. Arvan mengajaknya berkeliling kantor. Lantai demi lantai dipenuhi ruangan modern, tim marketing yang sibuk, staf legal yang mengetik cepat, dan ruang rapat kaca tempat suara tertahan seolah menjadi rahasia. “Perusahaan ini bukan hanya tentang bisnis,” jelas Arvan sambil berjalan. “Ayah ingin kami membangunnya seperti kerajaan. Semua harus terkontrol, terencana, dan tentu… loyal.” Kata loyal membuat Arunika teringat kontrak gelap semalam. Rakha juga menuntut hal yang sama. Tapi bedanya, Arvan mengucapkannya dengan senyum tulus, sementara Rakha dengan tatapan dingin. Di meja kerja Arunika, yang ditempatkan tepat di luar ruang direktur Arvan sudah ada komputer, tumpukan dokumen, dan jadwal rapat. “Mulai hari ini, semua agenda masuk dan keluar aku serahkan padamu,” kata Arvan. “Kalau ada sesuatu yang mendesak, pastikan aku tahu dulu. Dan jangan sungkan bertanya.” Arunika mencatat, menatap layar komputer yang segera menyala. Tangannya mulai sibuk mengetik, tapi pikirannya melayang pada instruksi Rakha: ‘Catat semuanya. Setiap janji, setiap pertemuan, bahkan setiap orang yang membuatnya tersenyum.’ Siang harinya, saat Arvan keluar menghadiri rapat, ponsel Arunika bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk: “Laporan pertama. Jangan menunda. —R” Arunika menelan ludah. Ia tahu betul siapa pengirimnya. Dengan tangan gemetar, ia menuliskan pesan singkat berisi jadwal pagi Arvan, siapa yang ditemuinya, dan topik rapat yang didengarnya sepintas. Lalu ia hapus semua jejak, memastikan tidak ada yang tersisa. Rasanya seolah ia baru saja mengkhianati seseorang yang begitu baik padanya. Tapi kemudian bayangan Farel di rumah sakit kembali muncul, menegaskan alasan kenapa ia harus bertahan. Sore harinya, Arvan kembali dari rapat. Ia terlihat lelah, tetapi tetap tersenyum. “Arunika, bisa kau buatkan kopi? Yang hitam, tanpa gula.” Arunika mengangguk dan bergegas. Saat menyerahkan cangkir itu, Arvan berkata sambil bercanda, “Kalau kau ingin cepat akrab denganku, cukup ingat dua hal: aku benci gula, dan aku suka orang jujur.” Kalimat itu menancap seperti belati. Orang jujur. Bagaimana mungkin ia bisa jujur, sementara setiap detiknya penuh kebohongan? Arunika hanya tersenyum kaku. “Baik, Tuan.” Arvan menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca pikirannya, lalu tertawa kecil. “Santai saja. Kau tampak terlalu tegang. Anggap saja ini rumah kedua.” Sepulang dari kantor, Arunika kembali ke vila Maheswara. Kali ini bukan panggilan resmi, melainkan untuk menyetorkan laporan langsung kepada Rakha. Rakha menunggunya di ruang kerja, sama seperti semalam. Kali ini tanpa jas, hanya kemeja hitam yang lengannya digulung. Tapi aura dinginnya tetap sama. “Bagaimana hari pertamamu?” tanyanya datar. Arunika menyerahkan catatan yang sudah ia buat. Rakha membacanya cepat, lalu mengangguk pelan. “Bagus. Kau belajar cepat.” Arunika ingin menjawab, tetapi Rakha lebih dulu mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah. Sorot matanya menusuk. “Jangan pernah lupa siapa yang sebenarnya kau layani, Arunika. Senyum manis kakakku itu hanyalah kedok. Aku butuh kau untuk melihat lebih dalam… sampai ke retakan yang ia sembunyikan.” Arunika terdiam. Dadanya berdebar bukan hanya karena tegang, tapi juga karena intensitas tatapan Rakha. “Aku… aku akan berusaha,” jawabnya akhirnya. Rakha tersenyum tipis. “Bukan berusaha. Kau harus berhasil.” Arunika meninggalkan vila dengan pikiran kacau. Dua dunia kini menariknya ke arah berlawanan: dunia hangat Arvan yang penuh keramahan, dan dunia dingin Rakha yang penuh tekanan. Di dalam taksi, ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan dari nomor yang sama: “Ingat, bayangan tidak boleh terlihat. Besok aku akan menguji kesetiaanmu.” Arunika menutup ponselnya dengan tangan bergetar. Ia belum tahu apa yang dimaksud Rakha dengan ujian itu, tetapi satu hal pasti: permainan baru saja dimulai.Fajar baru saja menyapu langit ketika Arunika terbangun. Ia merasa seperti tidak tidur sama sekali. Pandangannya buram, tubuhnya kaku, tetapi pikirannya berputar tajam. Hari ini adalah hari yang ditentukan Rakha. Hari di mana ia harus membuktikan bahwa ia pantas menjadi “bayangan” yang diminta. Di cermin, wajahnya tampak pucat. Ia menarik napas panjang dan memaksa diri merias wajah agar terlihat segar. “Farel, demi kamu,” gumamnya, suara nyaris tak terdengar. Di halte bus menuju kantor Maheswara Group, Arunika menekan ponselnya berkali-kali, membaca ulang pesan instruksi singkat dari Rakha: “Dokumen rapat internal. Ambil sebelum jam dua. Sembunyikan rapi. Jangan tinggalkan jejak.” Tak ada kata tambahan. Bahkan tanda titik pun tidak. Namun kata-kata singkat itu cukup membuat jantungnya berpacu. Ia mencoba mengatur strategi. Bagian keamanan kantor terkenal ketat. Di setiap pintu ada akses kartu magnetik, dan ruang rapat hanya bisa dimasuki staf inti. Arunika mengingat letak lema
Arunika memandangi langit-langit kamarnya yang gelap. Jarum jam terus berdetak, menembus kesunyian malam. Matanya lelah, tapi otaknya terus bekerja tanpa henti. Katakata Rakha masih bergema, menusuk seperti pisau dingin: “Buktikan dirimu. Kalau gagal, Farel yang menanggung akibatnya.” Ia menggenggam bantal erat-erat. Hatinya berperang. Satu sisi ingin menyerah, berhenti dari semua permainan berbahaya ini. Tapi sisi lain mengingat wajah pucat Farel yang terbaring di ranjang rumah sakit, dengan berbagai alat medis yang hanya bisa tetap menyala jika biaya terus dibayar. “Farel…” bisiknya lirih, air mata menggenang di sudut mata. “Kakak harus kuat. Kakak nggak boleh gagal.” Malam itu, Arunika sama sekali tidak tidur. Pagi harinya, tubuhnya terasa berat. Kantung matanya terlihat jelas, meskipun ia sudah berusaha menutupinya dengan bedak tipis. Saat tiba di kantor Maheswara Group, langkahnya goyah, tapi ia memaksakan senyum ramah pada rekan-rekan kerja. Arvan sudah duduk di meja kerjany
Pagi pertama Arunika memasuki gedung Maheswara Group terasa asing, seakan semua mata menimbang-nimbang kehadirannya. Gedung itu menjulang megah, dinding kaca berkilau memantulkan matahari yang baru naik. Orang-orang berbaju formal lalu-lalang dengan langkah cepat, penuh percaya diri, seolah setiap detik waktu mereka bernilai emas. Arunika berdiri di depan pintu putar, menarik napas panjang. Bajunya sederhana: blus putih dan rok hitam selutut, penampilan khas sekretaris. Tetapi hatinya berdebar jauh lebih keras daripada penampilannya yang tenang. Tas kecil di tangannya terasa berat—bukan karena isinya, melainkan karena beban rahasia yang kini ia bawa. Seseorang mendekat. “Arunika?” Arunika menoleh. Seorang pria muda dengan senyum ramah berdiri di hadapannya. Postur tinggi, wajah teduh, kemeja biru yang dipadukan dasi berwarna hitam. Senyum itu seketika memecah ketegangan. “Nama saya Arvan Maheswara,” katanya sambil mengulurkan tangan. Arunika menelan ludah. Jadi inilah kakak yang
Malam itu vila keluarga Maheswara tampak lebih mencekam daripada biasanya. Angin laut yang berembus dari kejauhan membawa aroma asin yang bercampur dengan ketegangan dalam dada Arunika. Mobil hitam yang menjemputnya berhenti tepat di halaman.Sopir itu tidak banyak bicara; hanya satu kalimat dingin yang ia lontarkan, “Tuan muda sudah menunggu.” Arunika menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Rasanya jantungnya berdentum lebih keras daripada deru mesin mobil. Uang yang sudah diberikan Rakha kemarin memang berhasil menahan biaya rumah sakit Farel untuk sementara, tetapi ia tahu itu tidak cukup. Semua ini bukan sekadar bantuan itu adalah ikatan.Dan malam ini, ikatan itu akan diresmikan. Rakha menunggunya di ruang kerja lantai dua vila. Lampu gantung besar di langit-langit hanya menyala setengah, membuat ruangan itu lebih banyak bayangan daripada cahaya. Rakha duduk di balik meja kayu besar, rapi dalam jas gelapnya, menatapnya dengan sorot mata yang dingin, sorot mata seorang p
Suara monitor di ruang ICU berdenting pelan, ritmis, seolah jadi pengingat betapa rapuhnya nyawa seseorang.Arunika duduk di kursi besi yang dingin, menatap wajah pucat adiknya, Farel, yang masih terbaring koma.Sejak malam itu, malam penuh darah yang merenggut orang tua mereka, Farel tidak pernah membuka matanya lagi. Arunika menggenggam tangan adiknya erat. “Bertahanlah, Rel. Kakak nggak akan biarin kamu pergi. Apa pun yang terjadi.” Namun, tekad yang ia ucapkan dengan suara bergetar terasa begitu rapuh di hadapan kenyataan. Amplop cokelat yang tadi pagi diberikan pihak rumah sakit masih terselip di tasnya. Ia sudah membaca isinya berulang kali, tapi kalimat itu tetap menusuk seperti pisau. “Jika dalam tujuh hari tidak ada pembayaran, layanan perawatan akan dihentikan.” Arunika tahu artinya: jika ia tidak menemukan uang sebesar itu, Farel akan kehilangan kesempatan untuk tetap hidup. Ia mencoba segala cara. Menghubungi kerabat jauh yang bahkan jarang ditemuinya. Mengetuk pintu
Hujan masih deras ketika moncong senjata itu terarah tepat ke wajah Arunika. “Jangan bergerak,” ulang pria bertopeng itu dengan nada dingin. Arunika membeku, tubuhnya gemetar. Pelukannya pada Farel semakin erat, seakan bisa melindungi adiknya dari maut. Nafasnya tercekat. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: aku tidak boleh mati, Farel harus hidup… Dor! Suara tembakan memecah udara. Arunika berteriak spontan, menutup tubuh Farel dengan dirinya. Tapi alih-alih rasa sakit, ia mendengar suara logam jatuh ke tanah. Pria bertopeng itu merintih tertahan—bahunya ditembak seseorang dari arah lain.Arunika menoleh dengan cepat. Dari balik kegelapan hujan, sosok tetangganya, Pak Jaya, muncul dengan senapan tua di tangan. Wajahnya penuh keberanian meski tubuhnya basah kuyup. “Cepat lari, Nika!” teriaknya. Pria bertopeng itu mendesis marah. Ia melangkah mundur, lalu melarikan diri ke arah gang sempit. Hujan menelan bayangannya hingga hilang dari pandangan. Arunika nyaris roboh karena leg