Pagi itu hujan turun tipis di Florence. Bukan hujan deras yang menghentak jendela, tapi yang lembut seperti bisikan mengalun pelan di sela-sela waktu.
Averine duduk bersandar di kursi rotan di balkon, mengenakan kaus Darian yang kebesaran dan legging hitam. Tangan kirinya menggenggam secangkir cokelat hangat, sementara tangan kanan mengusap perutnya perlahan.Darian muncul dari balik pintu, rambut masih basah usai mandi, membawa sepiring croissant dan potongan apel. “Untuk ratu yang sedang bertarung dengan punggung pegal dan lapar tengah malam,” katanya, meletakkan piring di meja kecil.Averine menyambutnya dengan senyum kecil. “Punggungku rasanya kayak dipukul palu kecil setiap lima menit.”Darian duduk di hadapannya, menyeruput teh.“Waktu yang tepat untuk mulai mikirin nama bayi, gak sih?” tanyanya.Averine menoleh, setengah ragu. “Kamu yakin? Kita bahkan belum tahu dia laki-laki atau perempuan.”“Justru itu serunya.Langit sore mulai memudar warnanya jadi jingga pucat ketika Averine membuka jendela besar di studio. Angin membawa aroma cat minyak, debu kayu, dan wangi lavender kering yang menggantung di pojok ruangan. Hari itu sepi sekali. Rasanya seperti semua orang di dunia sedang menunggu dia menemukan sesuatu. Dan dia benar-benar menemukannya. Di antara tumpukan lukisan tua peninggalan Camilla yang baru saja dikirim dari rumah keluarga Almanda ada satu kanvas yang tampak berbeda. Usang, warnanya memudar, tapi begitu mata Averine menatapnya, ada sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas sebentar. Bukan karena gambar lukisannya. Tapi karena ada amplop kecil yang diselipkan di belakang kanvas, ditempel rapi di bagian yang nyaris tak terlihat. Averine menyentuhnya pelan. Kertasnya rapuh, menguning, sedikit berdebu. Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Ada rasa yang sulit dijelaskan antara takut, penasaran, dan… rindu. Amplop itu terbuka dengan bunyi kertas tua yang lelah. Di
Langit Florence mulai gelap saat mobil berhenti perlahan di depan gerbang rumah tua keluarga Almanda. Suasana sepi. Angin membawa aroma tanah lembap dan sisa musim gugur. Daun-daun berguguran di jalan setapak seperti potongan waktu yang tak sengaja dijatuhkan.Dari dalam mobil, Averine duduk diam. Matanya tak lepas dari bangunan di depannya. Rumah itu berdiri dengan tenang, namun menyimpan gema masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Dulu ia membencinya. Sekarang... ia belum tahu harus merasa apa."Kamu yakin mau masuk?" tanya Darian, tangannya menggenggam jemari Averine.Butuh waktu beberapa detik sampai Averine mengangguk. "Kita udah sejauh ini, masa mau mundur?"Mereka turun dari mobil. Batu kerikil berderak halus di bawah sepatu mereka. Pagar depan yang dulu berkarat, kini diganti jadi putih bersih. Taman kecil dipenuhi bunga lavender yang baru ditanam. Semua terlihat segar, tapi tetap terasa asing.Begitu pintu dibuka, aroma cat baru langsung menyeruak. Lantai kayu dipoles u
Pagi itu hujan turun tipis di Florence. Bukan hujan deras yang menghentak jendela, tapi yang lembut seperti bisikan mengalun pelan di sela-sela waktu.Averine duduk bersandar di kursi rotan di balkon, mengenakan kaus Darian yang kebesaran dan legging hitam. Tangan kirinya menggenggam secangkir cokelat hangat, sementara tangan kanan mengusap perutnya perlahan.Darian muncul dari balik pintu, rambut masih basah usai mandi, membawa sepiring croissant dan potongan apel. “Untuk ratu yang sedang bertarung dengan punggung pegal dan lapar tengah malam,” katanya, meletakkan piring di meja kecil.Averine menyambutnya dengan senyum kecil. “Punggungku rasanya kayak dipukul palu kecil setiap lima menit.”Darian duduk di hadapannya, menyeruput teh.“Waktu yang tepat untuk mulai mikirin nama bayi, gak sih?” tanyanya.Averine menoleh, setengah ragu. “Kamu yakin? Kita bahkan belum tahu dia laki-laki atau perempuan.”“Justru itu serunya.
Galeri Valente malam itu penuh sesak. Cahaya putih lembut memantul di dinding kaca, menyinari lukisan-lukisan besar bertema "Identitas dan Cacat yang Indah" pameran tunggal pertama Eira.Averine berdiri di balik meja registrasi, mengenakan gaun panjang berwarna gading dengan potongan longgar. Perutnya, yang mulai menonjol di trimester kedua, disembunyikan dengan cermat di balik luaran dan sudut panggung.“Checklist katalog udah lengkap?” tanya Eira, menghampirinya dengan clipboard di tangan.“Sudah. Media juga udah datang. Dan tamu kehormatan masuk lewat pintu belakang,” jawab Averine sambil tersenyum, meski wajahnya terlihat sedikit pucat. Eira mengernyit. “Kamu nggak perlu terlalu banyak berdiri. Aku bisa panggil staf buat gantiin.” Averine menggeleng cepat. “Nggak, aku mau tetap di sini. Ini malammu.”Eira menatapnya beberapa detik. Ia tahu Averine keras kepala. Tapi ia juga tahu, sejak kehamilan ini, tubuh Averine lebih cep
Pagi itu, aroma telur orak-arik yang setengah gosong memenuhi apartemen. Bukan hal yang biasa. Averine mengerjap dari tempat tidur, mual naik begitu saja tanpa aba-aba. “Oh tidak,” gumamnya, buru-buru bangkit dan setengah berlari ke kamar mandi. Darian yang ada di dapur mendengar suara langkah tergesa itu. Ia meletakkan spatula, melepas celemeknya, dan menyusul. “Averine?” serunya, setengah panik. Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Suara air keran dan napas berat terdengar dari dalam. “Aku di sini,” sahut Averine lemah. “Jangan masuk... belum cantik.” Darian nyaris tertawa meski khawatir. Ia bersandar di pintu, menunggu. “Yang gosong di dapur itu apa?” tanya Averine dari balik pintu. “Telur. Aku... belajar.” “Belajar ngeracunin istri hamil?” “Aku ikut kelas online. Judulnya ‘Sarapan untuk Suami Gugup’.” Averine tertawa k
“Aku harus pakai sepatu ini juga?” Averine menatap tinggi haknya, lalu memandang Darian yang berdiri di depan pintu sambil memegang mantel panjang miliknya.Darian mengangguk pelan, senyumnya penuh arti. “Cuma sekali dalam setahun. Anggap saja ini bagian dari pesta kejutan.”Averine mendesah, tapi tetap mengenakannya. Sepatunya mengeluarkan suara lembut saat ia melangkah ke luar apartemen, menggenggam lengan Darian yang kini sudah siap menuntunnya ke mobil hitam mereka.Perjalanan malam itu terasa berbeda. Jalanan kota yang biasa mereka lewati terlihat lebih tenang. Tidak ada obrolan tentang pekerjaan. Tidak ada ponsel menyala. Hanya musik lembut dari radio mobil, dan suara jari Darian yang mengetuk setir mengikuti irama.“Setidaknya beri petunjuk sedikit. Aku pakai gaun ini tanpa tahu mau ke mana,” kata Averine pelan sambil melirik gaun sutra biru gelap yang membalut tubuhnya.Darian tertawa kecil. “Petunjuk? Oke. Ini tempat pertama