“Aku tak mencintainya. Tapi entah kenapa, aku juga tak bisa membencinya.” Pernikahan ini bukan tentang cinta tapi tentang rahasia dua keluarga yang saling membungkam. Averine terpaksa menikah dengan Darian, pria dingin yang menyimpan lebih banyak dari yang terlihat. Di balik rumah yang sunyi dan masa lalu yang kelam, tumbuh rasa yang tak pernah mereka inginkan. Satu per satu luka lama terbuka dan di tengah semua itu, cinta hadir perlahan. Cinta yang lahir dari sangkar. Cinta yang tumbuh di atas rahasia.
View MorePagi itu. Butiran air menempel di kaca jendela kamar Averine, menari perlahan dalam lintasan tak tentu. Suara rintiknya seharusnya menenangkan seperti lagu lama yang mengantar tidur. Tapi kali ini, tidak. Ada yang mengganjal sejak tadi malam. Udara terasa terlalu senyap, dan pagi ini pun datang dengan ketegangan yang tak biasa.
Lalu, ketukan lembut di pintu membuyarkan diam itu. “Tuan besar ingin bertemu, Nona,” ujar pelayan wanita dari balik pintu, nada suaranya sopan tapi tak bisa menyembunyikan kehati-hatian. Averine tak bertanya. Ia hanya mengangguk pelan, meski tahu tak ada yang melihat. Ia sudah tahu ini bukan undangan biasa. Ia menanggalkan gaun tidurnya dan berganti dengan setelan putih gading. Rapi. Netral. Tak ada ruang untuk kelembutan hari ini. Ia menyisir rambutnya ke belakang, membiarkannya terikat sederhana. Wajahnya tampak tenang saat ia melangkah keluar kamar, tapi jemarinya yang saling menggenggam bercerita lain. Ruang kerja ayahnya selalu terasa terlalu rapi, terlalu tenang, terlalu jauh dari kata rumah. Langit langitnya menjulang dengan lampu gantung kristal yang menggantung seperti sisa kemewahan zaman lalu. Rak rak buku berdiri kaku di dinding, dipenuhi volume seni klasik yang lebih sering dijadikan pajangan daripada dibaca. Bau kulit tua dan wangi parfum mahal yang tertinggal di udara membuat ruangan itu seperti museum yang terlalu hidup untuk ditinggalkan, tapi terlalu mati untuk benar benar dihuni. Averine duduk di kursi kulit tua, tegak, anggun seperti biasa. Tapi jemarinya saling menggenggam erat, seperti ingin menahan gemetar yang tidak tampak. Gaun putih gading yang ia kenakan jatuh lembut sampai mata kaki, terlalu cantik untuk suasana yang terasa dingin seperti ruang rapat perusahaan. Sorot matanya tampak tenang, tapi dalam diamnya, ada ribuan bisikan yang tak bisa ia redam. Ia tahu, ayahnya bukan tipe pria yang mengundangnya bicara tanpa maksud yang besar. Bahkan napasnya saja terasa seperti bagian dari strategi. "Papa ingin bicara soal masa depanmu," kata Darren Almanda akhirnya, tanpa melihat langsung ke arahnya. Nada suaranya seperti biasa tegas, singkat, dan tanpa ruang untuk ditawar. Averine tidak menjawab. Ia hanya menunggu. Hatinya sudah belajar untuk tak terlalu berharap pada percakapan yang hangat, karena yang ada hanyalah keputusan yang perlu diterima. Darren membuka map cokelat di atas meja kerjanya, lalu mendorongnya pelan ke arah Averine. Ia bahkan tidak repot repot memulai dengan basa basi. "Perjodohan. Kita sudah sepakat dengan pihak keluarga Kieran," ucapnya datar. Kata itu menggema di kepalanya. Perjodohan. Seolah hidupnya adalah transaksi. Averine menatap map itu sejenak. Rasanya seperti melihat dokumen pembelian barang antik: resmi, mengikat, dingin. Bukan sesuatu yang seharusnya melibatkan perasaan. "Perjodohan? Dengan siapa?" tanyanya, suaranya pelan, tertahan. Matanya tidak lepas dari map itu, seolah takut isi di dalamnya akan berubah jika ia mengalihkan pandangan. "Darian Kieran. CEO Valente Auction House. Usianya tidak jauh darimu. Latar belakangnya bersih, reputasi baik. Ia tertarik." Tertarik. Kata itu menusuk seperti duri halus. Tertarik pada siapa? Pada dirinya? Atau pada nama Almanda yang sudah lama bersinar di dunia seni dan lelang Eropa? Averine mengangkat wajahnya, menatap ayahnya lurus. "Tertarik?" ulangnya dengan suara nyaris bergetar. "Papa bicara seolah aku sebuah lukisan mahal yang bisa menarik kolektor mana pun." Darren menghela napas, panjang dan berat, lalu menatapnya dengan ekspresi yang tak berubah. "Dunia kita tidak bergerak dengan cinta, Averine. Ini tentang reputasi. Nama besar. Kestabilan yang sudah kita bangun bertahun tahun." Averine mengangguk pelan. Bukan karena setuju, tapi karena tak ada gunanya melawan. Ia sudah tahu sejak kecil bahwa yang berlaku di keluarga ini adalah logika, bukan hati. Dalam sekejap, bayangan ibunya melintas di benaknya Camilla, dengan senyum tenangnya yang selalu menyembunyikan banyak hal. Jika ibunya masih hidup... apakah ia juga akan diam saja melihat ini? Atau justru ikut merancangnya? "Malam ini kamu akan bertemu dengannya. Makan malam pribadi. Di The Pavé." Ia menatap ayahnya lebih lama kali ini. Semua keputusan besar hidupnya selalu datang dari ruangan ini. Termasuk sekarang. Dan setiap kali ia keluar dari ruangan ini, selalu ada sesuatu dalam dirinya yang tertinggal entah percaya diri, entah mimpi. Ada sesuatu tentang nama Darian Kieran yang membuatnya gelisah. Ia belum pernah mendengar namanya, tapi rasanya... familiar. Pernah disebut dalam percakapan antik para kolektor, atau disebut samar dalam artikel seni yang penuh intrik. Atau mungkin... hanya intuisi. Tapi satu hal yang ia tahu, pria seperti itu tidak pernah muncul tanpa alasan. Restoran The Pavé terletak di lantai atas sebuah gedung tua bergaya art deco yang menghadap kanal. Dinding kacanya memantulkan cahaya lampu kota, menciptakan ilusi bahwa mereka sedang makan di atas permukaan air. Averine melangkah masuk dengan gaun satin biru tua dan mantel wol putih yang melingkupi bahunya. Rambutnya ditata sederhana, digulung ke belakang dengan beberapa helai yang sengaja dibiarkan jatuh menyentuh pipinya. Ia tidak mengenakan perhiasan berlebihan. hanya sepasang anting mutiara dan jam tangan ibunya yang sudah lama tak ia kenakan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin membawa kenangan itu malam ini, entah mengapa. Darian Kieran. Ia sudah mencoba mencari tahu tentang pria itu, namun informasi yang ia temukan terlalu bersih, terlalu terstruktur. Tidak ada rumor, tidak ada celah. Dan itu justru membuatnya makin curiga. Aroma lavender samar samar tercium, bercampur wangi kayu dari perapian kecil di sudut ruangan. Ruangan itu terasa tenang, tapi tidak nyaman. Seperti tempat yang terlalu sempurna untuk menyembunyikan percakapan yang tidak. Dan di sana, duduk dengan sikap santai dan jas hitam elegan, adalah pria itu. Ia berdiri ketika Averine masuk. Wajahnya bersih dan simetris, dengan garis rahang tegas dan tatapan yang... sulit dijelaskan. Mata abu abu gelap itu seakan tahu terlalu banyak, namun menyembunyikannya di balik ketenangan. "Selamat malam, Nona Almanda," ucapnya dengan suara rendah dan tenang. Averine membalas dengan anggukan kecil. "Selamat malam, Tuan Kieran." Mereka berjabat tangan cepat, sopan, nyaris tanpa sentuhan. Tapi bagi Averine, ada sesuatu dalam genggaman itu. Bukan kehangatan, bukan ketertarikan. Hanya... ketegangan. Seperti saling mengukur tanpa kata. Ia duduk, melepas mantel perlahan, lalu menyampirkannya di sandaran kursi. Darian memperhatikan, tidak dengan cara yang mengintimidasi, tapi cukup untuk membuatnya sadar. Pelayan menyajikan anggur putih dan menu pilihan. Percakapan tidak langsung dimulai. Hanya bunyi alat makan, aroma roti hangat yang baru dipanggang, dan alunan piano lembut dari pengeras suara tersembunyi yang mengisi ruang di antara mereka. Averine memainkan ujung serbet dengan jemarinya, mengatur napas. Ia tidak pernah menyukai pertemuan yang penuh basa basi. Tapi pria di hadapannya bukan tipikal yang bisa diajak berbasa basi. Dan itu yang membuat semuanya lebih rumit. Hingga akhirnya Darian bersuara. Dan kali ini ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya. "Apa kamu keberatan dengan semua ini?" Pertanyaannya sederhana, tapi cara ia mengatakannya membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih padat. Averine mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan masih turun tipis, dan lampu jalan menari di permukaan air kanal. "Apa pendapat saya akan mengubah sesuatu?" tanyanya balik, nadanya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam resah, kecewa, lelah. Ia tidak terdengar pahit. Hanya jujur. Dan itu jauh lebih sulit. Darian tidak langsung menjawab. Ia memutar gelas anggurnya perlahan, seolah sedang menimbang kata kata. "Bukan saya yang meminta ini," katanya akhirnya, pelan. "Tapi saya tidak menolaknya." Averine mengamati pria di hadapannya, mencoba menembus lapisan-lapisan tenang yang membungkusnya. "Karena kamu tertarik?" Darian mengangkat alis sedikit. "Ada banyak bentuk ketertarikan, Averine. Kadang bukan pada orangnya, tapi pada cerita di belakangnya." Kalimat itu membuat sesuatu dalam dada Averine mengencang. Ia merasa disentuh, tapi bukan dengan kelembutan melainkan dengan sesuatu yang mendekati ancaman. Ia menegakkan punggungnya, menjaga nada bicaranya tetap datar. "Cerita apa yang kamu pikir aku bawa?" Ada keheningan yang menekan. Darian tidak menjawab segera. Ia menunduk sedikit, menatap anggurnya seperti menatap kenangan yang tak ingin ia sentuh, lalu mengangkat pandangannya dan menatap Averine dengan mata yang tampak lebih gelap dari sebelumnya. "Cerita keluarga yang besar. Warisan yang tak selalu bersih. Nama yang ditakuti dan dipuja dalam satu waktu." Averine menahan napas sejenak. Ia mendengar kata kata itu seperti gema dari masa lalu. Ia tahu apa yang dibawa nama Almanda. Ia tahu beban dan luka yang tersembunyi di balik cat lukisan dan ruangan pameran. Tapi mendengarnya dari mulut orang asing orang yang baru dikenalnya namun berbicara seperti telah lama mengamatinya itu terasa seperti tamparan. "Dan kamu?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit lebih dingin dari sebelumnya. "Kamu membawa cerita seperti apa, Darian Kieran?" Darian tersenyum. Tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. "Saya hanya pria biasa yang tertarik pada keindahan... dan kebenaran."“Cal, malam ini papa bawain lagu baru, ya,” ucap Darian sambil menyetem gitar kecil di pangkuannya.Calia sudah setengah mengantuk di dalam boks kecilnya, matanya mengedip pelan-pelan.Averine duduk di pojok ruangan, diam. Tangannya masih memegang botol minyak telon, tapi perhatiannya penuh ke arah Darian. Darian mulai memetik pelan, lalu bernyanyi: “Tidurlah, bintang kecil Papa dan mama di sini Dunia bisa ribut nanti Tapi malam ini cuma ada kamu dan mimpi…” Averine menahan napas. Suara Darian pelan, nggak sempurna, tapi hangat. Calia perlahan menutup mata. Tangan mungilnya bergerak kecil, lalu diam. “Dia tidur?” bisik Averine. Darian mengangguk, menaruh gitarnya pelan. “Langsung nyerah. Kayak dia tahu lagu ini cuma buat dia.” Averine diam-diam mengambil ponselnya, memutar ulang video yang baru direkam. Malam makin larut. Averine duduk sendiri di ruang tengah, cahaya dari layar ponsel menerangi wajahnya. Ia menonton video tadi, lalu menonton lagi. Di detik ketiga kali nonton,
“Udah disimpen semua?” tanya Averine sambil melirik ke arah meja tempat ponsel mereka ditumpuk.“Udah. Nggak ada yang boleh ngintip ponsel sampai besok pagi,” jawab Darian, duduk santai di lantai.“Termasuk kamu, Ra,” ujar Averine setengah menggoda.“Aku? Hey! Aku yang ngusulin hari bebas ponsel, oke?” balas Eira dengan nada membela diri.“Justru itu. Biasanya yang usul paling susah tahan godaan.”“Yaudah, ayo mulai. Dunia tanpa ponsel dimulai… sekarang.”“Darian, kamu lupa bawa tikar pikniknya!” seru Averine sambil menahan tawa.“Serius? Aku pikir kamu yang—”“Nggak usah saling nyalahin. Duduk aja di rumput, toh juga nggak becek.” Kata-kata Averine diselingi tawa kecil. Hatinya ringan hari ini.“Calia kayaknya suka rumput, tuh. Lihat kakinya,” ujar Darian.“Dia baru pertama kali nyentuh rumput langsung, ya?” tanya Averine, suaranya terdengar lembut, penuh kekaguman.“Kayaknya iya. Lih
Sore itu, Eira sedang mencari charger kameranya yang entah disimpan di mana. Ia membuka salah satu laci kecil dekat rak buku ruang tengah, tempat Averine biasanya menyimpan barang-barang pribadi yang jarang disentuh. Di antara tumpukan map dan buku catatan, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Tanpa niat kepo, Eira membukanya, berharap charger terselip di dalam.Isinya bukan charger. Tapi tumpukan foto lama. Rata-rata foto keluarga, sebagian besar hitam putih, beberapa foto Averine waktu kecil, dan ada satu foto yang membuat Eira berhenti.Itu foto Averine dan Darian. Diambil dari jarak jauh, mereka berdiri di depan sebuah galeri, sama-sama menunduk melihat sesuatu di tangan Darian. Averine tampak mengenakan mantel panjang dan syal biru muda. Wajah mereka nggak terlalu jelas, tapi ekspresi Averine senyum kecil yang nggak diarahkan ke kamera jelas terlihat hangat. Momen itu seperti diam-diam dicuri kamera.Di balik fo
Hari itu, sejak pagi, Calia rewel terus. Entah kenapa, dia nggak mau ditaruh, maunya digendong, digendong, dan digendong. Averine yang dari subuh belum mandi, masih pakai kaus longgar dan rambut dicepol asal, mulai terlihat kelelahan. Dia sudah nyoba semua: nyanyiin lagu nina bobo, goyang pelan, sampai bawa Calia keliling ruang tamu. Tapi tetap saja, tangisnya nggak mau berhenti lebih dari lima menit. Siang hari, Averine akhirnya bisa duduk sebentar di dapur. Dia taruh Calia yang akhirnya ketiduran di bouncer kecil dekat kulkas. Tapi baru dua teguk teh, tangis Calia pecah lagi. Averine diam sebentar. Gelas tehnya masih di tangan, tapi tangannya gemetar. Dadanya sesak. Ia berdiri pelan, menutup matanya, lalu masuk ke dapur dan bersandar di meja. “Aku capek,” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. Eira, yang tadi di ruang tengah sedang beberes mainan, buru-buru datang begitu dengar suara tangis Calia lagi. Dia berhenti di pintu dapur, melihat
Pagi itu, Darian lagi nyari charger di laci dekat meja kerja Averine. Tapi bukannya nemu kabel, dia malah nemuin sebuah buku kecil berwarna coklat muda. Awalnya dia mau naruh lagi, tapi penasaran karena ada label kecil di sampulnya, Kalender Cinta.Darian ngebuka perlahan. Di dalamnya ada catatan harian pendek, satu kalimat per hari, ditulis dengan spidol warna-warni. Beberapa entri bahkan ada stiker kecil atau coretan hati.Hari ke-1: Dia ingetin aku minum air putih, padahal dia sendiri lupa.Hari ke-3: Dia cium tangan kiriku waktu aku lagi kesel. Keselku ilang, tapi nggak aku tunjukin.Hari ke-7: Dia nyuapin aku makan sisa roti panggang Calia karena aku keasikan lukis.Darian baca sambil senyum-senyum sendiri. Tapi senyumnya menghilang begitu suara Averine muncul dari pintu.“Kamu baca itu?”Darian langsung reflek nutup buku. “Maaf... aku cuma nyari charger. Terus aku nggak sengaja buka.”Averine nyilangin tangan di dada. “Itu kan rahasia.”Darian berdiri gugup. “Aku serius nggak ma
Pagi itu dimulai seperti biasanya. Calia bangun lebih awal dari alarm, dan Averine belum sempat menyelesaikan kopinya yang tinggal setengah. Rambutnya belum disisir, baju tidurnya udah belepotan susu, dan kantung matanya jelas terlihat.Calia, seperti biasa, nggak ngerti ibunya kurang tidur. Dia ketawa, menendang-nendang, dan minta digendong sambil teriak-teriak kecil.“Sayang, ibu belum sempet sikat gigi,” gumam Averine sambil tetap mengangkat Calia dan mengayun-ayunkannya ke dada. Darian muncul dari belakang sambil nahan ngantuk. Dia langsung bantu ambilkan botol susu dan nyiapin air hangat. “Kamu tidur cuma dua jam ya semalam?”Averine angguk pelan, “Tadi malam Calia drama... aku nggak tega ninggalin.”Darian mendekat dan mencium kening istrinya. “Makasih ya... buat terus kuat.”Averine senyum kecil, walau lelahnya masih keliatan jelas. Mereka lanjut rutinitas pagi: nyuapin Calia, beresin meja makan, dan beberes sedikit di ruang t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments