Dua jam berlalu, keduanya belum di ijinkan masuk ke dalam ruang ICU karena dokter dan juga perawat masih melakukan obeservasi. Terdengar suara langkah menggema di lorong yang terbilang sangat jarang sekali orang yang berlalu-lalang.
Wajah penuh duka di serta tangisan kecil terlihat jelas ketika Laudya sedang mendekat kepada Rio dan juga Anna.
"Ayah bagaimana bu?" tanya Laudya sambil mengatur nafas.
Dia segera bergerak menuju sebuah kaca kecil yang berada tepat di depan pintu ruang ICU, kedua matanya menyapu sekeliling untuk mencari keberadaan Robby. Laudya melihat ada beberapa orang sedang mengelilingi pria tua yang sedang berbaring di atas kasur.
"Maafkan aku ayah," dia meratapi kesalahannya, karena telah berani membentak Robby tadi malam.
Tak lama berselang, salah satu dokter yang berada di samping Robby kemudian mendekat ke arah pintu masuk. membuat Laudya harus segera berpindah dari tempatnya karena dia menghalangi jalannya.
"Ibu A
Perawat yang berada di sisi Robby membuka jalan untuk Rio agar bisa berada di samping sang ayah."Rio, tubuhku sudah tak lagi seperti kemarin,""Semua penyesalan yang keluar dari mulutku mungkin sudah tak lagi berguna, tetapi ada satu hal yang harus kau ketahui," sambung Robby terbata-bata."Maafkan aku ayah jika selama ini telah membuatmu seperti ini,""Aku yakin jika kau akan baik-baik saja," ucap Rio kemudian meminta semuanya untuk kembali melakukan pekerjaannya, kemudian Rio beranjak keluar ruangan.Rio kembali menemui Anna kemudian memberikan dekapan hangat agar sang ibu bisa lebih tenang menghadapi semuanya. Dia berjanji akan merubah sikapnya terhadap Robby jika masih di berikan kesempatan."Ibu harap kamu mengerti apa yang sedang dia lakukan terhadapmu nak!""Karena selama ini, pengorbanan ayahmu sudah terlalu besar untuk kalian berdua," kata Anna menatap kedua putranya.Rio mengangukkan kepalanya, sementara Laudya
Reynold terkesiap saat terlihat Andini sedang berdiri di depan pintu bersama dengan seorang pelayan di klub. Dia memasang wajah ketus karena Andini tidak menuruti permintaannya, padahal sebelumnya dia sudah memberi uang untuk mengganti denda yang di kenakan oleh Lucy."Maaf Kay, aku tinggal sebentar," kata Lucy langsung beranjak keluar menemui Andini.Kedua mata Kayla tak lepas menatap pintu yang ada di hadapannya, seolah ada rasa penasaran yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Sesaat kemudian Lucy pun masuk lagi ke dalam, lalu duduk kembali di samping Kayla."Siapa wanita itu?" tanya Kayla penasaran."Oh...dia Andini, anak buahku yang baru saja bekerja di tempat ini," jawab Lucy sambil menelan salivanya."Kenapa kau tak ajak dia kemari?" tanya Kayla kembali menatap Lucy.Lucy hanya tersenyum kemudian mengalihkan pembicaraan agar Kayla tidak terus membicarakan mengenai Andini.***"Mas aku tidak melihatmu bersama Reyno
Kedua mata Rio tak lepas memperhatikan wajah Kayla, dia mencoba untuk membaca apa yang tersirat di hati dan wajahnya. Perlahan Rio mendekat ke sisinya kemudian bertanya, "jika aku mengenalnya, apa yang ingin kau sampaikan kepada dia?"Kayla hanya tersenyum lalu menjawab, "ah syukurlah, kalau begitu kapan kau bisa kenalkan aku dengannya?"Bak pohon tua tiba-tiba roboh, hati Rio menjadi semakin tak karuan karena Kayla meminta dipertemukan dengan wanita yang dia sembunyikan di bagian lain hatinya."Maaf Kay, menurutku sebaiknya kau jelaskan dulu kepada Rio agar dia tak salah paham," sela Lucy mencoba untuk menenengkan Rio diam-diam."Astaga!""Aku lupa," ucap Kayla kemudian menepuk dahinya, lalu diamenjelaskan jika dirinya akan merintis agency baru bersama dengan Lucy dan juga Andrew."Sayang! bukankah kau sudah berjanji akan membantuku di perusahaan ini?" tanya Rio mulai sedikit lega karena ternyata apa yang dia pikirka
Rio hanya menaikkan sudut mulutnya, perlahan menggilir kedua bola matanya mendelik ke arah Andini."Apakah kamu mendengar kata perpisahan dari mulutku?" tanya Rio kemudian menuangkan minuman untuknya.Andini sudah tak mampu lagi berkata-kata, meskipun ini bukan pertemuan terakhirnya. Dia merasa jika hari-hari ke depan akan menjadi lebih berat karena tak bebas lagi berkomunikasi dengannya."Minumlah dulu, agar kamu lebih tenang," ucap Rio menggeser gelas ke hadapan Andini.Tanpa ragu Andini pun langsung menghabiskan cognac yang di tuangkan Rio, kemudian dia menuangkannya kembali."Percuma saja kamu minum sebanyak itu, karena lusa nanti Kayla akan menemuimu," papar Rio, hatinya mulai berkecamuk karena takut Andini tidak mau menemuinya."Apa maksudmu?" tanya Kayla sesaat setelah meneguk minuman keduanya."Kemarin Kayla melihatmu, dan dia ingin menjadikanmu sebagai model pertama di agency miliknya," jawab Rio menatap Andini penuh dengan k
"Wow wow wow....ada apa ini nona manis?" tanya Reynold terkejut karena di semprot oleh Andini."Andini!""Jaga sikapmu!" tegur Lucy karena dia tak menghargai tamunya.Andini langsung meninggalkan keduanya dengan langkah kesal, dia langsung melempar tasnya ke dalam loker saat dia sampai di ruang ganti."Dasar bodoh!""Wanita mana lagi yang akan kamu tiduri malam ini huh!" kesal Andini sambil menatap foto Rio yang terpajang di balik pintu lokernya."Andini!" terdengar suara Lucy dari balik pintu, dia langsung menutup loker tersebut dengan kencang karena tak mau ketahuan olehnya, karena diam-diam telah menyimpan foto Rio.Lucy meminta Andini untuk segera memakai pakaian kerja, karena sudah ada tamu yang menunggunya di ruang VIP. Dengan wajah murung, dia segera berganti pakaian dan tak ingin melewatkan kesempatan untuk memainkan drama romantis kepada pria hidung belang.Setelah selesai, dia langsung di bawa oleh Lucy menuju r
POV 8 TAHUN LALUPada malam itu Robby masih berada di kantor bersama dengan sekretarisnya yang bernama Alinda, keduanya sedang sibuk untuk mempersiapkan diri untuk melaju pada pentas politik, pemilihan senator di kota ini."Selamat malam Robby!" sapa seorang pria seumuran dengannya memasuki ruangan bersama dengan beberapa orang di belakangnya."Damien!" balas Robby menyapanya dengan kedua mata terbelalak, menatap orang yang memiliki pengaruh kuat di kota ini mendatangi dirinya."Akhirnya kau ikut bermain juga di sini," ucap Damien sambil melihat beberapa berkas yang ada di tangan Alinda."Terima kasih Damien,""Sebenarnya apa tujuan kedatanganmu kemari kawan?" tanya Robby kemudian beranjak dari atas sofa untuk membuatkan minuman hangat.Damien kemudian mengeluarkan sebuah foto dari dalam saku jasnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Sesaat kemudian Robby sadar jika ada sesuatu yang telah mengganggu diriny
Rio terkejut mendengar apa yang terucap dari mulut Robby, karena seingat dia Randu telah mencuri beberapa blueprint proyek besar miliknya. Karena ulahnya, Rio harus kembali memulainya dari awal, karena semua investor yang di dapat olehnya di bawa lari oleh Randu."Aku tau semua permasalahanmu dengannya Rio," kata Robby, "karena dia melakukan semuanya itu untukku," sambungnya.Rio langsung menyandarkan tubuhnya, memikirkan kembali semuanya namun dia masih belum percaya dengan semua perkataan Robby. Karena dari sejak awal, Robby memang tidak pernah suka jika Rio membangun usahanya sendiri.Beberapa jam kemudian, nampak seorang wanita berusia 40 tahun datang memasuki ruangan bersama dengan dua orang lainnya."Selamat siang tuan Robby," sapa Alinda, wanita yang pernah menjadi sekretarisnya di masa lalu."Maaf aku harus merepotkanmu kembali," ucap Robby kemudian mengangguk, memberi kode agar Alinda segera memberikan beberapa berkas yang sudah ada di tan
POV RANDU & REYNOLDMalam itu hujan cukup deras mengguyur kota, Randu berada sendiri di dalam kantor sambil memegangi kepala. Dia tak tahu harus berbuat apa karena surat yang ada di hadapannya kini harus segera di serahkan kepada Rio.Suara dentang dari bell yang ada di pintu mengejutkan dirinya, terlihat Reynold sedang memasuki kantor dengan pakaian kusut dan juga basah."Hujan malam ini cukup besar sekali brother!" kata Reynold sambil mengepak-ngepak tubuhnya.Dia langsung memutar bola matanya menatap Randu karena tidak mendengar jawaban darinya, perlahan Reynold mendekat sisinya."Surat apa itu?" tanya Reynold perlahan mengangkat selembar kertas yang berisikan pasal perjanjian serah terima."Kau gila!""Apa-apaan ini?" pekik Reynold setelah membaca semua isinya."Entahlah Rey, dari sejak tadi aku bingung harus berbuat apa!" jawab Randu meremas kepala dengan kedua tangannya. Kemudian dia menceritakan apa
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k