Sudut Pandang Aditya."Sekar, gimana kabar Citra?" tanyaku sembari berhenti di depan meja sekretarisku."Parah! Hancur! Kacau balau! Tapi Bu Mila sudah bikinkan teh untuknya dan itu sedikit menenangkannya. Sekarang aku sudah sibuk kerja, tapi karena dia juga sibuk dan nggak ada suara tangisan lagi, aku belum sempat cek ke dalam," jawab Sekar."Aku perlu bicara dengannya. Dia perlu mengerti kenapa aku lakukan hal gila ini," kataku sambil berjalan menuju kantor Citra"Aditya, jangan bikin dia makin hancur. Aku belum yakin apa semua kekacauan ini pantas dibela." Sekar memperingatkan."Maaf, tapi aku harus bicara dengannya," kataku sambil membuka pintu ruangannya.Saat kulihat ke dalam, Citra tertunduk di meja dengan mata tertutup. Aku mendekat, panggil namanya pelan, tapi nggak ada reaksi. Aku coba lagi, tapi nggak jawaban. Tanpa berpikir panjang, aku angkat tubuhnya ke dalam pelukanku. Dia tampak pingsan. Dengan cepat kubuka pintu ruang Peter. Ia sedang duduk di kursinya dan menatapku de
Sudut pandang Citra.Hari-hari berlalu begitu lambat, seolah waktu sengaja memperpanjang penderitaanku. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, dan setiap waktu luang yang kupunya kuhabiskan bersama putraku atau para temanku. Tapi tetap saja, malam-malamku diliputi kegelisahan. Tidurku tak pernah nyenyak. Kantung mata hitam di bawah mataku kini lebih menyerupai bayangan kelam yang tak mau pergi.Saat tiba di kantor pagi itu, aku langsung menyadari kehadiran sesuatu yang baru. Sebuah rangkaian tulip menghiasi meja kecil di sudut ruangan. Di sampingnya, sebuah kartu dengan tulisan tangan Aditya:[Aku rela mati untukmu, dan aku mulai kehilangan akal tanpamu. Aku akan lakukan apa pun agar kamu nggak menderita.]Aku menunduk, merasakan sesak di dada. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, pandanganku teralihkan oleh satu lagi rangkaian bunga di meja sebelah. Tapi kali ini berbeda. Buket itu tampak aneh... bunga-bunga muram yang biasa kulihat di pemakaman. Bunga ini terasa dingin, janggal
Sudut Pandang Aditya.Aku masih nggak percaya pada semua yang telah kulakukan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku di pesta perpisahan sialan itu? Kenapa aku begitu mabuk? Bahkan aku nggak bisa ingat apa pun yang terjadi malam itu. Dan sekarang, aku seperti dilempar langsung ke neraka, dipenjara bersama anjing neraka, tanpa tahu jalan keluar dari semua kekacauan ini.Sudah seminggu penuh aku coba cari solusi untuk bencana bernama Lastri yang kini ngaku hamil. Tapi mereka telah mendorongku ke batas terjauh kesabaranku, dan rasanya segalanya sangat parah."Aditya..." Kudengar Peter panggil aku."Di atas sini!" balasku cepat.Aku berada di atap apartemenku, memandang kota yang terhampar di bawah sana, berharap ada keajaiban dari Tuhan yang membuat semuanya lenyap. Aku hanya bisa berdiri di sana, tenggelam dalam pikiran-pikiran gelap tentang masalah yang menenggelamkanku hingga ke leher."Adit! Gimana kabarmu? Apa yang terjadi sampai kamu bilang ini darurat banget?" Peter merasa tertekan. S
"Citra, aku ingin bicara denganmu.""Kau benar-benar nggak tahu malu, dasar jalang. Berani-beraninya kamu datang ke sini ganggu temanku," bentak Sekar tajam dan langsung berdiri membela."Citra, kalau ini nggak penting, aku nggak akan datang cari kamu. Tapi tolong... dengarkan aku sebentar saja," ucap Lastri dengan suara bergetar, seperti nahan tangis, berusaha keras tampak ramah meski jelas itu bukan sifat aslinya."Nggak mungkin. Pergi dari sini dan jangan ganggu Citra lagi," kata Sekar dengan nadanya makin tinggi, dan dari sorot matanya, aku tahu dia sudah mau nerkam Lastri."Sekar, biarkan saja. Aku akan dengarkan apa yang dia mau bilang. Aku nggak mau dia menguntit aku ke mana-mana. Lebih baik selesaikan sekarang dan singkirkan gangguan ini," kataku sambil nahan emosi.Tanpa nunggu aba-aba, Lastri menarik kursi di sampingku dan duduk, seolah ia punya hak di situ."Dengar, Citra, aku bicara ini sebagai seorang ibu kepada ibu lainnya," katanya sambil meletakkan tangan di dadanya. "K
Akhir pekan itu terasa seperti kabut bagiku. Teman-temanku melakukan segalanya untuk menghiburku, bahkan berusaha meyakinkanku untuk nggak tinggalkan Aditya. Tapi aku nggak sanggup berdiri di antara dia dan anaknya. Aku tahu, perempuan itu akan ubah hidupku menjadi neraka. Aku nggak akan sanggup menanggungnya.Hari Senin pagi, saat aku tiba di kantor, aku langsung dicegat oleh Jodi di pintu masuk gedung."Ngapain kamu datang sini lagi, pelacur?" Dia berteriak sambil berdiri di depanku. Aku mencoba menghindarinya dan melangkah pergi, tapi dia hentikan langkahku dan mencengkeram lenganku. "Aku sedang tanya kamu, pelacur kecil!""Lepaskan aku!" Aku menarik lenganku dari cengkeramannya yang seperti cakar. "Aku kerja di sini!""Nggak, kamu nggak! Aku akan minta Aditya pecat kamu!" ujarnya dengan mata menyala penuh amarah."Silakan saja," kataku lalu berbalik pergi.Saat dia mencoba menghalangiku masuk ke perusahaan, petugas keamanan, Doni, segera melangkah masuk dan berdiri di antara kami.
Sudut Pandang Aditya.Aku duduk terpaku di sofa ruang tamu, dadaku rasanya seperti diremas oleh tangan nggak kasat mata, napasku terasa sesak, dan mataku panas, penuh dengan air mata yang nggak kunjung berhenti. Rasa ini… hanya satu kali pernah aku rasakan, yaitu waktu kedua orang tuaku meninggal dunia. Rasa kehilangan yang nggak tergantikan, rasa sakit yang buat jiwamu nyaris mati. Dan kini, aku sekarat tanpanya."Adit, perempuan itu dan ayahnya sedang tunggu di lobi. Aku tahu kamu hancur, tapi mereka nggak akan pergi," ujar Peter membuyarkan lamunanku."Peter, dia putus denganku. Katanya nggak ada jalan lagi. Dia nggak ingin rebut aku dari anakku, dan dia bilang akan kembali kerja dengan Heru," jawabku dengan suara putus asa."Tenang, Adit. Setidaknya satu masalah sudah beres, dia nggak keluar dari perusahaan," katanya dengan nada menenangkan. Aku menatap Peter, nggak ngerti apa yang dia maksud. "Mulai Senin, dia akan ada di bawah pengawasanku, dan Robin akan kerja langsung denganmu.