Sudut pandang Aditya."Kalian masih kerja?" tanyaku, soalnya aku lihat mereka semua ada di resepsionis, termasuk Citra dan Alex yang sibuk tanya ini itu."Dengan semua yang terjadi dua hari terakhir, banyak hal yang harus dibereskan. Kami lagi atur jadwal pertemuan sama klien dan pemasok yang sempat dialihkan ke perusahaan bodongnya Jodi, juga dengan beberapa klien kita yang entah gimana sudah tahu kejadian ini dan punya banyak pertanyaan," jelas Citra."Aditya, aku sudah siapkan pernyataan resmi buat kamu kirim ke semua klien dan pemasok. Ini harus dikirim secepatnya. Nanti aku kirim ke email kamu dan Peter," kata Alex."Semakin cepat kalian setujui itu, semakin cepat juga bisa kami kirimkan," ujar Minda mengingatkan."Kalian harus istirahat dulu. Kamu juga, Alex." Aku memperingatkan mereka."Kami bakal istirahat begitu semuanya beres, bos," jawab Sekar. "Oh iya, aku sudah kosongkan jadwal kamu untuk sisa minggu ini.""Aku juga sudah kosongkan jadwalmu, berengsek!" sahut Minda ke Her
Sudut pandang Aditya."Sudah saatnya ngomong, Willi. Di mana si berengsek itu?" tanyaku yang sudah mulai capek dan suasana hati memburuk."Aku nggak bodoh, Aditya. Aku mau semuanya tertulis dan ditandatangani, yang menjamin bahwa aku nggak masuk penjara dan asetku serta aset keluargaku nggak disentuh." Willi jawab dengan muka paling sinis sedunia."Willi, pertama-tama, kamu nggak berhak minta-minta kayak gitu...""Kedua, kamu sebenarnya nggak punya aset apa-apa. Semua yang kamu kira milikmu itu, kamu curi dari aku. Jadi lupain aja. Ketiga, kamu nggak berhak kasih syarat di sini. Kamu ceritakan apa yang kamu tahu, nanti detektif yang putusin gimana caranya bikin hidupmu lebih baik." Aku bilang, pengen banget mukulin muka si kaki tangan setan itu."Ya udah, kalian aja yang cari sendiri." Willi jawab sambil menyilangkan tangan dengan senyum di mukanya."Nah, berarti kamu siap-siap dipenjara dua puluh tahun. Itu juga kalau kamu dapat keringanan karena berkelakuan baik. Aku nggak tahu kamu
Sudut pandang Aditya.Aku masuk ke ruang rapat, dan sudah banyak orang di sana. Di bagian belakang, beberapa karyawan duduk di kursi yang disusun berbaris. Aku kenal semua, termasuk direktur keuangan, penjualan, operasional, dan administrasi. Aku sudah tahu mereka semua terlibat dalam skema korupsi Jodi.Di sisi yang berlawanan, duduk di kursi dekat meja, ada karyawan yang sebenarnya kami rencanakan pakai untuk tangkap yang lain basah-basah. Tapi karena penculikan Panji dan Citra, kami harus lompat beberapa langkah dalam audit. Dia sempat salah langkah, mulai pamer gaya hidup mewah yang nggak sesuai dengan posisinya di perusahaan. Dia ambisius, ceroboh, dan terlalu banyak ngomong. Karena itulah kami bisa menangkap dia, tahu dia titik lemah di kelompok itu.Selain para karyawan, Alex dan Minda juga ada di ruangan itu, sama tiga orang dari tim Alex. Kepala inspektur lagi selidiki kematian orang tuaku, bareng kepala kepolisian anti korupsi dan lima polisi lainnya. Ruangan itu benar-benar
Sudut pandang Citra.Setelah menerima banyak pelukan dan berkali-kali mendengar bahwa semua orang senang dan lega karena aku dan Panji sudah ditemukan dengan selamat, Aditya membawaku ke kantor Peter.Aku membaringkan Panji yang masih tertidur pulas di salah satu ranjang yang masih ada di ruangan itu, lalu menyelimutinya. Tapi sebelum itu, aku melihat ada bekas tanda di pergelangan kaki kanannya. Aku nggak ngerti itu bekas apa."Aditya, ini bekas apa di kaki Panji?" tanyaku, berharap Aditya tahu lebih banyak karena dia yang mengikuti semua kejadian dari awal.Aditya menatap anak kami yang sedang tidur, lalu dengan lembut mengusap tanda itu dengan jarinya, seolah sentuhannya bisa menghapusnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengambil selimut, menutupi Panji lagi, lalu mencium keningnya. Setelah itu, dia menarikku ke sofa dan mendudukkanku di pangkuannya."Malaikatku, kondisi waktu Panji ditemukan itu parah banget. Kata Pak Hadi waktu nelepon aku, di tubuhnya nggak ada luka atau tanda-t
Sudut pandang Aditya.Aku mondar-mandir di dalam ruangan saat salah satu polisi menelponku melalui video call dan bilang detektif yang sedang cari Citra ingin bicara denganku. Jantungku berdetak kencang. Aku menelan ludah dan mengangkat telepon."Selamat malam, detektif." Aku menyapa sembari menunggu kabar."Tunggu sebentar, Pak. Santai dulu ya." Detektif itu bicara sambil ngobrol dengan seseorang, lalu dia keluar dari layar video. Saat itu, muncullah wajah Citra."Malaikatku! Kamu baik-baik saja?" Aku bertanya sambil berlinang air mata. "Semuanya, dia sudah ditemukan!" Semua orang di ruangan itu berteriak dan bertepuk tangan."Aku baik-baik saja, Aditya, maaf... tapi, anakku, apa mereka sudah menemukan Panji?" Suaranya bergetar dan dia menangis ketakutan."Malaikatku, Panji sudah ditemukan di Besana. Dia baik-baik saja dan sedang dalam penerbangan ke sini. Ibunya Fajar ikut dengannya." Aku melihat ekspresinya melunak, lega terpancar di wajah cantiknya."Syukurlah! Aditya, kabar yang
Sudut pandang Citra.Aku melirik ke celah jendela dan baru sadar kalau di luar sudah gelap. "Ya Tuhan, bagaimana kabar anakku sekarang?"Sepanjang hari aku cuma bisa berdoa, minta Tuhan lindungi anakku. Aditya pasti benci sama aku sekarang. Aku pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa. Tapi aku benar-benar panik waktu itu. Aku cuma mikirin anakku. Dan aku nggak tahu harus gimana.Setelah Desta masuk dan tinggalin roti isi itu, aku rasa mereka semua keluar, karena suasananya jadi sepi banget. Tapi terus aku dengar suara, ada pintu yang dibuka. Dan ada beberapa suara juga. Aku pikir mereka sudah balik. Ya Tuhan, lindungi aku."Makan malammu." Desta membuka pintu, menyerahkan satu bungkusan ke aku, lalu menutup pintu lagi.Aku menempelkan telingaku ke pintu, aku harus tahu apa yang mereka rencanakan."Doni, aku merasa aneh karena nggak bisa hubungi Carisa." Aku mendengar Desta bicara."Kamu mending buang saja ponsel itu." Doni menegurnya."Santai aja, mereka nggak akan bisa lacak nomor ini