Tertipu
Pagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.
Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan.
“Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belokan.
Semua kembali sepi, seperti waktu-waktu sebelumnya. Aku menutup dan mengunci pintu rapat, agar aku tidak was-was dengan siapapun yang datang. Namun, tiba-tiba aku tersadar, masih ada satu makhluk lagi di rumah ini yang belum keluar dari tadi. Padahal, Mama dan Papa sudah pergi sebelum kepergian Mas Divo. Makhluk itu adalah Mas Dion. Mana dia?
Aku melangkah mencari keberadaannya? Kusisir semua tempat dari depan hingga belakang, tapi aku tak menemukannya. Kulihat ke kamarku siapa tahu ia memang berani kesana, tapi tetap tak ada. Aku mulai berpikir, di kamarnya kah? Ngapain? Tidur lagi?
Perlahan kuberanikan diri mendekati dan memanggil namanya untuk memastikan. “Mas Dion ...?” panggilku dengan nada pelan dan rasa was-was.
“Mas ...? Kuulangi sekali lagi sambil mendekat.
“Mas Dion, kamu dimana?” Langkahku terhenti. Sayup-sayup terdengar suara erangan dari dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka. Kurapatkan telinga ke pintu dan kupertajam pendengaranku. Erangan itu makin jelas tertangkap pendengaranku.
“Vi ....” Aku terkejut saat mendengar ia memanggil namaku.
“Vi, tolong ...!” Aku berdiri mematung di depan pintu kamarnya antara ragu dan sungkan.
“Tolong, Vi.! Tolong, Mas .. !” rintihnya lagi.
Aku benar-benar mendengar rintihan ia meminta tolong dan memanggil namaku. Aku tak mungkin membiarkan dan mengacuhkannya. Bagaimana kalau ia sedang sekarat? Kalau ia pingsan dan aku biarkan sendiri, tentunya aku akan disalahkan karena telah melalaikan nyawanya.
Tanpa pikir panjang lagi, kudorong pintu itu pelan hingga terbuka lebar. Ruangan itu gelap, tanpa cahaya. hanya biasan cahaya matahari yang merembes masuk melalui celah-celah yang terbuka. Namun, cukup membantu netraku melihat keadaan di dalam. Mas Dion terbaring di ranjang, meringkuk, mengerang dan bergerak ke kiri dan ke kanan.
Aku terkejut. Bergegas kucari saklar lampu dan menekannya, sehingga ruangan itu kini terang benderang. Mas Dion terbaring di ranjang dengan pakaian rapinya. Dan masih menggunakan sepatu Oxford di kakinya. Ia meringis sambil memegangi perutnya di ranjang yang terlihat kusut itu.
“Ada apa, Mas! Mas, kenapa?!” pekikku kaget demi melihat dirinya yang bermandikan keringat. Kuberanikan diri memegang keningnya untuk mengetahui keadaan suhu tubuhnya. Ia terus meringis sambil melipat tubuh dan memegangi perutnya.
“Aku panggil dokter dulu, ya, Mas?” ujarku kemudian sambil beranjak pergi.
“J-jangan Vi!” cekalnya kemudian sambil memegangi pergelangan tanganku. Aku terkejut dan berusaha melepaskan genggamannya. “Nggak u-usah! Obat m-mas m-masih a-da di l-lemari d-depan,” ringkihnya terbata-bata.
Tanpa menunggu aba-aba, aku berlari ke ruang depan mengubrak-abrik isi lemari kaca, mencari obat yang ia maksud. Kemudian kembali berlari ke dapur, mengambil air minum dan kembali ke kamar Mas Dion. Segera kubantu ia bangkit dan meminumkan obat itu padanya, hingga akhirnya ia sedikit tenang.
Terus terang aku jadi sangat mengkhawatirkannya. Takut kelalaianku membuat ia parah. Syukurlah! Sepertinya ia sudah mendingan. Aku masih terpaku melihat kondisinya sambil berdiri dengan raut wajah dalam kecemasan. Kugigit jemari yang terpangku di pinggang.
Namun, rasa khawatirku tiba-tiba berubah menjadi kebingungan. Kemudian berubah lagi menjadi kekesalan. Aku menyaksikan perubahan raut laki-laki itu yang tiba-tiba tersenyum. Kemudian ia menutup mulutnya sambil cekikikan menatapku. Aku menyipitkan mata. Serta merta hatiku geram. Tanganku mengepal, rahangpun serasa mengeras.
“Sudah kuduga, Viona! Kamu sangat peduli aku, ‘kan? Apalagi kalau lihat aku begini. Fix! kamu cinta aku, Viona?” celetuknya kemudian, sambil tersenyum penuh kemenangan.
Mataku membulat. Perlahan nafasku terasa sesak. Aku benar-benar benci dengan kelakuannya. Ia telah membuat aku bodoh dengan sandiwaranya. Aku telah masuk dalam perangkapnya. Ia menipuku. Dasar, bajingan kamu, Mas!
Namun, tak ada satu katapun yang bisa aku keluarkan selain tatapan yang berapi-api. Aku melangkah meninggalkannya yang masih menertawakan kebodohanku. Sungguh sangat memuakkan!
***
Sejak kejadian itu, aku semakin malas berada di dekat Mas Dion. Aku masih menyimpan dendam padanya, karena kelakuannya yang makin memuakkanku. Apalagi karena ia telah berhasil menipuku beberapa hari lalu. Sebisa mungkin aku menghindar darinya. Bila ia ada di rumah ini, aku akan berdiam di kamar saja. Bahkan, baru saja aku mendengar suaranya, aku sudah masuk ke kamarku.
Ingin rasanya aku menceritakan semua kelakuannya pada Mas Divo dan Mama. Namun, aku takut mereka bertengkar, dan mertuaku pasti syok jadinya. Juga aku takut, apakah mereka akan percaya, anak dan saudaranya berbuat seperti itu padaku? Apalagi keluarga ini terdidik dengan agama dan etika. Hufft!
Menahannya lebih lama juga pasti akan sulit bagiku. Bagaimana kalau ia makin berani? Aku takut perbuatannya makin gila. Aku juga benci tatapannya.
Hingga suatu hari ketika aku sedang bersama Mas Divo, aku merengek manja pada suamiku itu untuk cepat membawaku pindah dari rumah ini. Namun, membujuk Mas Divo dengan keputusan ini bukan perkara mudah.
“Mas, kapan aku bisa ikut denganmu? Sudah hampir tiga bulan lho, aku disini,” bisikku sambil bersandar di dada bidangnya.
“Kamu sudah nggak betah, ya? Ada masalah?”
“Nggak kok, Mas! Nggak ada masalah apa-apa kok, beneran. Aku cuma capek jauh dari kamu terus. Aku mulai merasa kesepian bila kamu pergi,” bujukku pada Mas Divo, berharap ia mengerti dan cepat mengeluarkkanku dari lingkaran jahat ini. Aku takut bila pertahanan yang selalu aku kokohkah pondasinya itu, roboh juga jadinya. Aku juga ngeri dengan kenekatan Mas Dion. Aku berharap tanpa harus kuberitahu alasanku yang sebenarnya, Mas Divo paham, kalau menyatukan dua orang berlawanan jenis yang bukan mahramnya itu dalam satu atap adalah keputusan yang salah.
Mas Divo membelai mesra rambutku yang menempel di dadanya. Kemudian tangannya merengkuh tubuhku lebih merapat padanya. Satu kecupan singgah di dahiku.
“Sabar ya, Sayang. Mas masih usaha. Kalau saat ini Mas bawa kamu kesana, hidup kamu pasti sengsara. Gaji Mas tak ‘kan memadai bila digunakan untuk hidup kita, beli peralatan rumah tangga, biaya Bayu. Belum lagi biaya Mas pribadi, dan biaya harian rumah tangga kita. Mas nggak mau nanti kamu kesusahan, Vi,” jawabnya berusaha memberiku pengertian. Aku terdiam sesaat dengan mulut mengeŕucut.
“Aku mau kog, Mas, kita mulai dari nol. Atau ... bagaimana kalau aku bekerja lagi?” cetusku riang seakan sedang menemukan pijaran bintang di kegelapan.
“Jangan! Mas fikir nggak usah dulu. Bayu masih kecil, Vi. Nanti ditinggal sama siapa? Lagian kamu pasti akan sangat repot jadinya.” Aku terdiam lesu. Ucapan Mas Divo ada benarnya. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan semua itu, disaat Bayu masih rempong begini? Hidup di perantauan tanpa sanak family pasti amat berat.
“Udah, kamu jangan mikir itu dulu! Yang penting Mas selalu pulang, ‘kan? Lagian katanya kamu cukup senang disini. Mama, Papa dan Mas Dion baik ‘kan sama kamu?' Kalau cuma masalah kita berjauhan, Mas harap kamu sabar dulu, ya? Suatu saat kita akan bersama-sama lagi,” lanjut Mas Divo kemudian.
Pikiranku menerawang, teringat kembali perilaku nakal Mas Dion beberapa waktu belakangan. Baik apanya? Lelaki itu malah membuatku takut dari hari ke hari. Sikapnya semakin berani. Ia sangat berubah! Dia tidak lagi lelaki jaim yang berwibawa seperti Mas Dion yang dulu amat aku santuni. Ia berubah nakal dengan gaya slengek’annya. Memangnya dia anggap aku ini siapa? Aku istrimu lho, Mas. Isteri adik kandungnya sendiri!
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd