Share

Part. 4

Tertipu

Pagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.

Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan.

 “Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belokan.

Semua kembali sepi, seperti waktu-waktu sebelumnya. Aku menutup dan mengunci pintu rapat, agar aku tidak was-was dengan siapapun yang datang. Namun, tiba-tiba aku tersadar, masih ada satu makhluk lagi di rumah ini yang belum keluar dari tadi. Padahal, Mama dan Papa sudah pergi sebelum kepergian Mas Divo. Makhluk itu adalah Mas Dion. Mana dia?

Aku melangkah mencari keberadaannya? Kusisir semua tempat dari depan hingga belakang, tapi aku tak menemukannya. Kulihat ke kamarku siapa tahu ia memang berani kesana, tapi tetap tak ada. Aku mulai berpikir, di kamarnya kah? Ngapain? Tidur lagi?

Perlahan kuberanikan diri mendekati dan memanggil namanya untuk memastikan. “Mas Dion ...?” panggilku dengan nada pelan dan rasa was-was.

“Mas ...? Kuulangi sekali lagi sambil mendekat.

 “Mas Dion, kamu dimana?” Langkahku terhenti. Sayup-sayup terdengar suara erangan dari dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka. Kurapatkan telinga ke pintu dan kupertajam pendengaranku. Erangan itu makin jelas tertangkap pendengaranku.

 “Vi ....” Aku terkejut saat mendengar ia memanggil namaku.

 “Vi, tolong ...!” Aku berdiri mematung di depan pintu kamarnya antara ragu dan sungkan.

 “Tolong, Vi.! Tolong, Mas .. !” rintihnya lagi.

Aku benar-benar mendengar rintihan ia meminta tolong dan memanggil namaku. Aku tak mungkin membiarkan dan mengacuhkannya. Bagaimana kalau ia sedang sekarat? Kalau ia pingsan dan aku biarkan sendiri, tentunya aku akan disalahkan karena telah melalaikan nyawanya.

Tanpa pikir panjang lagi, kudorong pintu itu pelan hingga terbuka lebar. Ruangan itu gelap, tanpa cahaya. hanya biasan cahaya matahari yang merembes masuk melalui celah-celah yang terbuka. Namun, cukup membantu netraku melihat keadaan di dalam. Mas Dion terbaring di ranjang, meringkuk, mengerang dan bergerak ke kiri dan ke kanan.

Aku terkejut. Bergegas kucari saklar lampu dan menekannya, sehingga ruangan itu kini terang benderang. Mas Dion terbaring di ranjang dengan pakaian rapinya. Dan masih menggunakan sepatu Oxford di kakinya. Ia meringis sambil memegangi perutnya di ranjang yang terlihat kusut itu.

“Ada apa, Mas! Mas, kenapa?!” pekikku kaget demi melihat dirinya yang bermandikan keringat. Kuberanikan diri memegang keningnya untuk mengetahui keadaan suhu tubuhnya. Ia terus meringis sambil melipat tubuh dan memegangi perutnya.

“Aku panggil dokter dulu, ya,  Mas?” ujarku kemudian sambil beranjak pergi.

 “J-jangan Vi!” cekalnya kemudian sambil memegangi pergelangan tanganku. Aku terkejut dan berusaha melepaskan genggamannya. “Nggak u-usah! Obat m-mas m-masih a-da di l-lemari d-depan,” ringkihnya terbata-bata.

Tanpa menunggu aba-aba, aku berlari ke ruang depan mengubrak-abrik isi lemari kaca, mencari obat yang ia maksud. Kemudian kembali berlari ke dapur, mengambil air minum dan kembali ke kamar Mas Dion. Segera kubantu ia bangkit dan meminumkan obat itu padanya, hingga akhirnya ia sedikit tenang.

Terus terang aku jadi sangat mengkhawatirkannya. Takut kelalaianku membuat ia parah. Syukurlah! Sepertinya ia sudah mendingan. Aku masih terpaku melihat kondisinya sambil berdiri dengan raut wajah dalam kecemasan. Kugigit jemari yang terpangku di pinggang.

Namun, rasa khawatirku tiba-tiba berubah menjadi kebingungan. Kemudian berubah lagi menjadi kekesalan. Aku menyaksikan perubahan raut laki-laki itu yang tiba-tiba tersenyum. Kemudian ia menutup mulutnya sambil cekikikan menatapku. Aku menyipitkan mata. Serta merta hatiku geram. Tanganku mengepal, rahangpun serasa mengeras.

“Sudah kuduga, Viona! Kamu sangat peduli aku, ‘kan? Apalagi kalau lihat aku begini. Fix! kamu cinta aku, Viona?” celetuknya kemudian, sambil tersenyum penuh kemenangan.

Mataku membulat. Perlahan nafasku terasa sesak. Aku benar-benar benci dengan kelakuannya. Ia telah membuat aku bodoh dengan sandiwaranya. Aku telah masuk dalam perangkapnya. Ia menipuku. Dasar, bajingan kamu, Mas!

Namun, tak ada satu katapun yang bisa aku keluarkan selain tatapan yang berapi-api. Aku melangkah meninggalkannya yang masih menertawakan kebodohanku. Sungguh sangat memuakkan!

***

Sejak kejadian itu, aku semakin malas berada di dekat Mas Dion. Aku masih menyimpan dendam padanya, karena kelakuannya yang makin memuakkanku. Apalagi karena ia telah berhasil menipuku beberapa hari lalu. Sebisa mungkin aku menghindar darinya. Bila ia ada di rumah ini, aku akan berdiam di kamar saja. Bahkan, baru saja aku mendengar suaranya, aku sudah masuk ke kamarku.

Ingin rasanya aku menceritakan semua kelakuannya pada Mas Divo dan Mama. Namun, aku takut mereka bertengkar, dan mertuaku pasti syok jadinya. Juga aku takut, apakah mereka akan percaya, anak dan saudaranya berbuat seperti itu padaku? Apalagi keluarga ini terdidik dengan agama dan etika. Hufft!

Menahannya lebih lama juga pasti akan sulit bagiku. Bagaimana kalau ia makin berani? Aku takut perbuatannya makin gila. Aku juga benci tatapannya.

Hingga suatu hari ketika aku sedang bersama Mas Divo, aku merengek manja pada suamiku itu untuk cepat membawaku pindah dari rumah ini. Namun, membujuk Mas Divo dengan keputusan ini bukan perkara mudah.

“Mas, kapan aku bisa ikut denganmu? Sudah hampir tiga bulan lho, aku disini,” bisikku sambil bersandar di dada bidangnya.

“Kamu sudah nggak betah, ya? Ada masalah?”

“Nggak kok, Mas! Nggak ada masalah apa-apa kok, beneran. Aku cuma capek jauh dari kamu terus. Aku mulai merasa kesepian bila kamu pergi,” bujukku pada Mas Divo, berharap ia mengerti dan cepat mengeluarkkanku dari lingkaran jahat ini. Aku takut bila pertahanan yang selalu aku kokohkah pondasinya itu, roboh juga jadinya. Aku juga ngeri dengan kenekatan Mas Dion. Aku berharap tanpa harus kuberitahu alasanku yang sebenarnya, Mas Divo paham, kalau menyatukan dua orang berlawanan jenis yang bukan mahramnya itu dalam satu atap adalah keputusan yang salah.

Mas Divo membelai mesra rambutku yang menempel di dadanya. Kemudian tangannya merengkuh tubuhku lebih merapat padanya. Satu kecupan singgah di dahiku.

“Sabar ya, Sayang. Mas masih usaha. Kalau saat ini Mas bawa kamu kesana, hidup kamu pasti sengsara. Gaji Mas tak ‘kan memadai bila digunakan untuk hidup kita, beli peralatan rumah tangga, biaya Bayu. Belum lagi biaya Mas pribadi, dan biaya harian rumah tangga kita. Mas nggak mau nanti kamu kesusahan, Vi,” jawabnya berusaha memberiku pengertian. Aku terdiam sesaat dengan mulut mengeŕucut.

“Aku mau kog, Mas, kita mulai dari nol. Atau ... bagaimana kalau aku bekerja lagi?” cetusku riang seakan sedang menemukan pijaran bintang di kegelapan.

“Jangan! Mas fikir nggak usah dulu. Bayu masih kecil, Vi. Nanti ditinggal sama siapa? Lagian kamu pasti akan sangat repot jadinya.” Aku terdiam lesu. Ucapan Mas Divo ada benarnya. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan semua itu, disaat Bayu masih rempong begini? Hidup di perantauan tanpa sanak family pasti amat berat.

“Udah, kamu jangan mikir itu dulu! Yang penting Mas selalu pulang, ‘kan? Lagian katanya kamu cukup senang disini. Mama, Papa dan Mas Dion baik ‘kan sama kamu?' Kalau cuma masalah kita berjauhan, Mas harap kamu sabar dulu, ya? Suatu saat kita akan bersama-sama lagi,” lanjut Mas Divo kemudian.

Pikiranku menerawang, teringat kembali perilaku nakal Mas Dion beberapa waktu belakangan. Baik apanya? Lelaki itu malah membuatku takut dari hari ke hari. Sikapnya semakin berani. Ia sangat berubah! Dia tidak lagi lelaki jaim yang berwibawa seperti Mas Dion yang dulu amat aku santuni. Ia berubah nakal dengan gaya slengek’annya. Memangnya dia anggap aku ini siapa? Aku istrimu lho, Mas. Isteri adik kandungnya sendiri!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heni Yanuati
wah mulai ada sinyal yg gak bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status